18. Damn Dad-1

Beraneka macam mainan tertata di sudut lantai. Yaitu mobil-mobilan tanpa roda, potongan-potongan bongkar pasang, bola kempes warna-warni. Beberapa jatuh terpisah dari wadah. Di situ juga tersusun barang-barang lain habis pakai.

Di atas, langit-langit putih mirip sirap, terpasang lampu kotak dengan tali menggantung. Di pinggir tembok, terdapat ranjang kecil berpagar kisi-kisi, keempat kaki kayunya menopang kuat. Mainan 'happy marry go round' bergelantung pada sisi ranjang, sedang diam tidak dinyalakan.

Pada jendela ayun yang terbuka, lonceng angin berbuai merdu. Sepoi-sepoi membuat pemukul kaca menari-nari, menumbuk cangkir terbalik motif bunga musim semi. Tiada keheningan syahdu selain waktu petang masa matahari tinggi di langit, terlihat samar di luar jendela.

Angin kemudian tanpa permisi masuk kamar. Di atas meja, botol plastik isi susu setengah wadah, berujung dot, terhempas menggelinding, menyusuri karpet merah marun yang bercorak natural. Botol itu berpapasan dengan barang-barang lain, mainan yang tergeletak, lalu berhenti ketika menabrak pipi seorang laki-laki yang terbaring. Tampak kesadarannya masih berkelana di alam mimpi.

Sontak terdengar suara perempuan dengan nada jengkel. "Tidur lagi?" serunya. "Bangun, Redo! Jangan sampai aku meminta Ibu memotong gajimu!"

Laki-laki itu refleks membuka mata dan bergegas bangkit ke posisi berselonjor. Dalam kegelisahan, dia buru-buru membereskan barang di karpet yang cukup berantakan, mengembalikan botol susu ke atas meja, menangkup jendela, menghela tali lampu. Di tengah aksinya, dia berhenti sebentar karena merasa ada yang sedikit aneh, tetapi acuh tak acuh dan lanjut merapikan kamar.

Di atas ranjang berpagar, dia melihat seorang bayi tengah terlelap nyenyak, mengisap jempol. Dia pandang sejenak bayi itu, mendorong matanya yang masih mengantuk untuk tidur lagi. Namun, keinginannya urung ketika seorang perempuan bertolak pinggang di ambang pintu dengan wajah bersungut-sungut.

Si laki-laki merasa tak ada yang salah, jadi dia balas perempuan itu dengan tatapan datar. Si perempuan pun berbalik menenteng tasnya, keluar melalui lorong sambil menggerutu.

"Benar-benar, duh! Gajinya itu terlalu banyak! Harusnya dipotong, duh!"

Raut si laki-laki diliputi kebingungan karena sedari tadi perempuan itu meributkan gaji. Mungkin gaji yang dimaksud porsi makan malam? Punggungnya pun bergidik. Jika tadi dia keterusan hanyut di alam mimpi, mungkin nanti malam piringnya hanya dapat seperdelapan porsi.

Redo menggeleng dan lanjut menyapu lantai kamar. Ketika kilatan cahaya memasuki indra penglihatan, kesadarannya pun pulih sepenuhnya. Di sinilah titik mula keadaan kaos kembali.

Redo menyadari dirinya berada di kamar Biru, tengah menatap nanar bayi Biru, dan gamang atas sikap kakak Biru.

Redo telah memutuskan dalam hatinya. Matanya mengilat, kepalan tangan terangkat di depan dada. Dagunya tertarik ke atas dan bibir pun seakan berkata siap.

Berbekal perintah dari Heal Order, Redo akan coba menyelamatkan Biru pada kesempatan kedua ini.

Saat makan malam tiba, dalam satu ruangan, ibu Biru dan Redo berseberangan dengan Daisy, semua duduk pada kursi. Di atas meja putih besar, tersedia menu makanan yang disajikan dengan piring serta mangkuk berbagai model. Santapan kali ini terdiri dari hidangan yang menggugah selera. Redo bernapas lega ternyata 'gaji'-nya tidak jadi dipotong.

Tidak ketika Daisy mengacungkan jari.

"Ibu! Ibu harus memotong gaji Redo! Tadi aku memergokinya tidur lagi seperti kemarin!"

Dua pemuda bertaut umur itu saling tatap, yang satu seperti orang dibodohi, satunya penuh resan. Redo mengesah dalam benak. Pantas Biru tidak pernah akrab dengan kakaknya ini. Sifat aslinya terbongkar sudah.

"Sudah, sudah, Daisy. Ibu tahu kau sibuk dengan sekolah profesimu. Tapi, jangan malah melampiaskan kekesalanmu itu kepada Redo. Bukankah kau jadi tambah merepotkan ibunya juga?"

Redo menoleh, senang dibela. Gantian dia yang menyerang sekarang. Ekspresi ria merasa menang pun dipamerkan.

Daisy agak cemberut, tetapi mendengar kalimat terakhir rasanya dia tidak enak.

"Ya ... kalau begitu, ya sudah, lah."

Si laki-laki mengangguk maklum. Dia coba beri kesan ramah kepada ibu Biru walau merasa kentara kakunya.

Usai menikmati hidangan, Redo mendorong kursi makan mundur, kemudian berdiri dan merapikan wadah-wadah di atas meja. Setelah itu, dia mencuci di wastafel, meletakkan piring-piring pada rak. Ketika dirasa beres semua, Redo beranjak ke ruangan lain.

Ibu Biru yang membaca koran di ruang tengah tersadar lalu menoleh. "Ah, sudah mau pulang?"

Redo bingung. Apakah ke kamar Biru sama dengan pulang? Tak mau berpikir lebih lanjut, dia pun asal mengangguk.

"Kalau begitu, titip salam buat ibumu, ya! Terima kasih untuk hari ini!"

Seampai di kamar, laki-laki itu masih mencerna ucapan ibu Biru. Juga keluhan Daisy. Semua ada kaitan atas jawaban situasi yang terjadi.

Kala mata menangkap tasnya di atas meja belajar, isi di dalam tertata rapi dengan ritsleting terbuka. Dia pun mengerjap. Ah, begitu, ya.

Pikirannya baru terhubung.

Redo memang masih jadi pramusiwa bayi Biru. Namun, itu bukan kewajiban sebagai saudara, melainkan volunter dengan insentif tertentu. Akhirnya pahamlah apa 'gaji' yang dimaksud. Raut muka Redo terlihat lelah memikirkan hal ini.

Di depan teras rumah keluarga Biru, Redo menutup pintu dan menghela napas. Langit menghitam, pandangan di kejauhan terbatas akibat kegelapan. Matanya melirik rumah di sebelah. Di situ senyap sekali walau lampu luar menyala. Hanya suara Pokémon serangga juga burung malam yang menemani langkah kecilnya.

Redo agak sungkan, sejujurnya, tetapi karena telanjur, dia putuskan untuk masuk saja. Daun pintu diketuk tiga kali, belum ada respons. Matanya melihat sekeliling. Ada beberapa pasang alas kaki bagus, di atas karpet bertulis 'welcome' dalam huruf kapital. Beberapa pot tanaman hias berbaris rapi di bagian muka rumah.

Redo cek gagang pintu. Saat diturunkan, ternyata berbunyi ceklek. Tangan pun memberi tenaga ke depan, daun pintu terbuka lebar.

Lorong ruang tamu temaram, mungkin karena telah larut. Ada cahaya dari ruangan lain, beserta suara samar percakapan. Redo melepas sepatu merah bertali, lalu melangkah masuk pelan-pelan bagaikan mengendap-endap.

Di ruang tengah yang terang, dua orang terlihat mengobrol. Satu wanita paruh baya, mengenakan celemek. Rambut cokelat kelabunya diikat tinggi. Wajahnya tampak bersahaja. Dia ripuh lalu-lalang membereskan meja makan. Satu lagi ialah pria yang duduk membelakangi, menikmati santapan. Terlihat punggungnya, berbalut kemeja putih bergaris-garis.

Saat derap memasuki ruangan, keduanya serasi menoleh.

"Ah," ucap mereka bersamaan, "okaeri*, Redo!"

Pria itu memiliki wajah yang terbilang mulus dengan pipi tirus, rambut pendek, dan alis tebal menukik seperti Redo. Air mukanya cukup senang.

Redo terpaku di ambang, menunduk. Dua anak sungai tahu-tahu mengalir dari pelupuk matanya. Ingin dia sembunyikan wajah di tempat.

Si wanita pun bingung, bergegas menghampiri dan menanyakan. Si pria turut berdiri, menepuk-nepuk pundaknya dan menatap dengan wajah mengerti.

"Anak ini pasti rindu ditinggal ayahnya selama seminggu!" kelakarnya.

Redo membuka mata, kedua maniknya mengerling ke kiri. Keluar dari keping ingatan memang sama melelahkan dengan menahan diri.

###

*Okaeri= welcome home (bingung bahasa Indonesianya apa qwq)

Kudus, 20 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top