15. Childhood-2

Malam perayaan sebelum Mew Day* meriah dengan balon dan kue-kue hangat. Suasana di pusat kota begitu ramai meski salju kecil turun. Ada banyak pohon hias berbaris sepanjang tepi jalan. Di sekeliling air mancur, orang-orang berkerumun. Syal melingkar di leher mereka dan jaket tebal membungkus tubuh-tubuh dingin.

(*Mew Day= Hari Natal)

Setelah hari gelap, bintang-bintang bersembunyi tergantikan butiran es yang jatuh ke bumi. Anak-anak di atas panggung berbaris rapi, menyanyikan refrein, 'Dan di sana ada petang, dan di sana ada fajar—pada hari pertama'.

Redo serta Biru tidak ikut dalam barisan, mereka baru saja tiba bersama keluarga. Dua anak itu mengenakan baju sweter dan mafela, telapak terbalut sarung tangan rajut. Tentu yang satu memakai topi merah-putih kesukaan yang warnanya senada dengan setelan.

Sembari mengamati pancaran air mancur yang berkilauan bagai kristal, mereka duduk di bangku taman dengan sekotak kue di antara keduanya.

"Redo, apa kau ingin jadi pelatih Pokémon?" tanya Biru yang lahap mengunyah makanan.

Redo bergeming mendengar pertanyaan tersebut, tangan kaku mendadak, berjeda di udara. Saat Biru meraba-raba isi kotak kue, jari mereka bersentuhan.

"Ah—" Biru melirik, mendapati kue telah habis dan Redo menggeleng.

Ibu kemudian datang membawa kotak kue kedua agar Daisy juga ikut serta walau sekarang dia bersama ayahnya. Biru pun berterima kasih lalu membuka kotak tersebut, hampir-hampir rakus sebelum Redo mengingatkannya untuk berbagi.

Di sela mengunyah, anak laki-laki itu pun melanjutkan obrolan. "Pak Tua mengatakan aku bisa menjadi pelatih Pokémon saat sedikit lebih tua, jadi aku harus menunggu sebentar lagi."

Anak pendengar angguk-angguk. Di bayangannya apabila dia dan kawannya menjadi pelatih Pokémon yang diinginkan, pasti akan makin seru.

"Ah, Ayah memanggil," tandas Biru, mengeratkan mafela balu di leher. Dia lalu turun dari bangku, berniat berlari sehabis berbalik dan mengajaknya. "Ayo, Redo!"

Di bagian dekat air mancur yang agak lengang, sesosok ayah tersenyum serta mengawai lengan. Ada Daisy di sampingnya yang juga berkial sama. Setelah Redo dan Biru bergabung, anggota keluarga lain yang lengkap pun berkumpul.

Tujuh orang dari dua keluarga berpose sukacita, bersyukur akan kenikmatan malam perayaan ini. Mereka menghadap kamera bipod panjang, dengan latar belakang air mancur berkelip serta orang-orang ceria.

Sebelum pemetik potret menyala, ayah Biru dengan bangga meneriakkan sesuatu. Sebaris kalimat yang menghiasi tajuk foto momen terbaik itu.

"Dua calon PokéTrainer terbaik se-Pallet Town!"

***

Redo ingat, siang itu hujan turun deras. Namun, bukan berarti tidak bisa bermain. Payung serta mantel sudah siap di sebelah. Hal yang membuat tak dapat bermain adalah menunggu. Anak itu duduk di ruang depan, kepala bertumpu ke meja.

Saat Ibu muncul dari ruangan lain, seperti mencarinya, dia bertanya, "Kamu menunggu siapa?"

Redo mengangkat kepala, tatap sejenak, lalu tidur lagi. Matanya melirik jari yang memainkan permukaan papan gim. Di luar, suara titik-titik air yang berjatuhan riuh rendah. Beberapa membentuk juluran-juluran pada jendela.

Tak tahan dengan sikap Redo yang mengundang gemas, si Ibu tersenyum iba.

"Dia sedang pergi untuk waktu yang lama. Katanya kita baru bisa bertemu dengannya awal bulan depan. Untuk itu, jadilah anak yang baik dan sambut dia nanti dengan hati senang, oke?"

Anak tersebut menegakkan punggung, mata berbinar. Angguk dan mesem semringah adalah balasan. Di benaknya, Biru yang biasa datang sambil tersenyum, semangat mengajak bermain. Di kesempatan berikutnya pasti dia akan bersama-sama menjadi pelatih Pokémon.

Sangat patetis. Seharusnya Redo mengetahui apa yang dialami Biru masa itu.

Sebuah dojo yang terbilang luas dengan banyak bangunan tradisional berdiri. Berlokasi di pegunungan alam, udara segar memenuhi atmosfer sehingga membuat suasana hati relaks.

Di tengah-tengah kompleks, terdapat rumah besar yang digunakan sebagai tempat latihan sejumlah remaja berbagai usia yang berpakaian kendogi. Seorang pria kendoka yang tampak ahli tengah membimbing mereka.

Salah satu lelaki di antara barisan ialah Biru. Dengan atasan putih dan bawahan merah, anak itu mengayunkan pedang bambu sesuai arahan. Gerakannya terlihat cepat lagi penuh keseimbangan, selaras anak-anak terlatih lainnya yang beberapa terkesima menyaksikan. Bahkan jika boleh dibilang, gayanyalah yang paling baik di antara mereka semua.

Dia begitu mencolok sampai pria kendoka yang dipanggil Sensei menaruh perhatian kepadanya.

"Kau adalah calon anak emas," puji Sensei.

"Haik!"

Biru tersungkur. Tanah berlapis batu cukup menyebabkan lecet di dahi dan lengan. Lorong sempit yang tersembunyi di luar bangunan cocok menjadi tempat mereka melakukannya. Ialah anak-anak senior yang tadi latihan bersama, tetapi dari ekspresi mereka, tidak ingin bersama.

Tidak ingin Biru ada di sana.

"Padahal anak baru, kok sudah sok sekali? Rasakan itu!"

"Haha, mampus kau, dasar sombong!"

Anak yang jatuh tertiarap itu, meski sekujur tubuh gemetar dan tak kuasa berdiri, matanya memberi lirikan kepada anak-anak perisak yang berdiri di belakang. Cahaya matahari yang terik menyebabkan kerlingnya mengilat kuat.

Lantas mereka tak terima, teragitasi untuk memberi respons superioritas atas hasutan tersebut.

"Tatapan apa itu, hah?"

"Sepertinya kita harus memberinya 'pelajaran' lebih lagi," usul salah seorang berbadan bongsor.

Maka tiga sampai empat kendoka yang lebih besar perawakannya mengerubungi si anak yang sudah tak berdaya, menginjak kuat-kuat alas kaki kayu terhadap tubuh tiarap yang merintih kesakitan. Walau anak yang mereka rundung mengaduh, para perisak tetap melayangkan tendangan dan pukulan. Tidak akan berhenti sampai benar-benar babak belur.

Wajah Biru biru lebam, lecet serta bengkak di tangan dan kaki. Debu kotor memenuhi pakaiannya yang tampak masih baru. Sebelah alas kaki lepas beberapa meter. Air tangis merembes pada pelupuk. Air liur terbatuk-batuk keluar saat tendangan besar mengenai perut.

Redo tak suka hanya bisa menonton. Kedua tangan mengepal hingga kulit memerah. Gigi bergeretak, mata begitu nyalang. Napas terembus kasar seiring wajah berubah merah padam. Tawa anak-anak perisak kian mengguncangkan hatinya.

Namun, Redo seketika tercengung.

Setelah mereka pergi, Biru tertinggal sendirian. Anak itu berusaha menggerakkan tangan meski kesulitan. Rasa sakit tampak berdenyut di sekujur badan, mulutnya mengerang.

Wajah sudah babak belur, darah mengucur dari hidung serta gusi. Cairan merah juga mengalir dari luka lecet pada lengan dan betis. Jari-jemarinya gemetar, punggungnya menggigil. Napas melemah ketika denyut nadi terguncang hebat.

Setelah Biru bisa duduk menyandar tembok, dia menyeringai. Anak itu cekikikan dengan pundak naik turun, geleng-geleng kepala.

Saat itulah, laksana kejatuhan ilham, sebuah misi datang dengan sendirinya di kepala Redo. Entah mengapa, tetapi remaja itu merasa memperoleh misi penting guna menyelamatkannya.

Guna memperbaiki kehidupan Biru.

###

Kudus, 15 Januari 2022

Catatan:

Dojo= Tempat latihan berbagai cabang seni bela diri Jepang, seperti judo, karate, kendo, dan lain-lain.

Kendo= Olahraga anggar tradisional Jepang; bentuk ilmu berpedang secara filosofis.

Kendogi= Pakaian khusus yang digunakan dalam latihan atau pertandingan kendo.

Kendoka= Pemain olahraga kendo.

I don't know mendadak pengin masukin kendo ke cerita ini (padahal gak mudeng sama sekali). Though di manganya disebutin kalau Green (Blue) pas kecil pernah berlatih di dojo (buat melatih Pokémon) sampai pinter 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top