10. Redo-3
Heal Order
"Merawat bayi Biru (Baby Blue)"
Peraturan:
1. Rawatlah bayi Biru dengan penuh kasih sayang sebagaimana anak sendiri, maka dia akan bahagia dan naik level.
2. Setiap kenaikan level akan menghasilkan konsekuensi sendiri-sendiri.
3. Jika bayi Biru tidak dirawat dengan kasih sayang, levelnya akan turun. Meski demikian, bonus akan diperoleh.
4. Untuk menyelamatkan teman klien, naikkan level bayi Biru sampai lv.100 dengan batas waktu 30 hari. Jika setelah 30 hari tidak tercapai lv.100, bayi Biru akan kami tarik.
5. Bersenang-senanglah dan anggap ini sebagai hiburan semata!
###
Atmosfer bernada lembayung menyambut tatkala mata celik.
Manik cokelat hazel Redo berkedip lalu memicing. Bersama tiga indra, ia dituntut mengumpulkan informasi sebanyak-sebanyaknya. Tubuh remaja itu terbaring di kamar nan familier. Ada ranjang berpagar di dekat, seorang bayi yang dikenali terlelap bersama aroma serta dengkuran khas. Semua itu menjadi pertanda ini masih di kamar Biru versi berbeda.
Samar-samar, keping demi keping tersusun merupa bangun bagaikan mainan bongkar pasang. Memori Redo kian jelas manakala jalan terbentuk, kian terang ketika semua sudah terjawab atas bukti-bukti yang ada.
Pundaknya langsung tertarik, punggung menegak. Kedua tapak tangan meraba-raba karpet merah di lantai bagai mencari sesuatu, lalu beralih meninjau tubuh, kaki, wajah. Merasa semua aman, lantas ansietasnya menurun barang satu persen.
Hal pertama yang menurut Redo harus dilakukan—setelah terpaksa menerima fakta bahwa dirinya berubah—adalah mengecek barang-barang yang berada di dalam ranselnya. Wadah penyimpanan dari kain itu tergeletak di pinggir ruangan, di dekat peti plastik besar. Serta-merta Redo beringsut menghampirinya.
Selepas ritsleting terbuka, tangan si remaja satu demi satu mengeluarkan benda-benda dari tiap kantung. Terdapat kotak digital PokéDex yang hanya memuat Pokémon wilayah Kanto dan Johto. Ada pula berbagai macam item petualangan yang membuat Redo mengernyit. Selain itu, beberapa buah beri, juga obat-obatan, serta set kaset berisi Hidden Move dan Teach Move tidak lengkap.
Redo bergeming, bersila mengamati barang-barang yang dia geletakkan asal di atas karpet. Jemari telunjuk membilang acak, mata mempelajari dengan teliti. Terlihat tidak menemukan sesuatu, dua tangannya menumpu di belakang, kepala berputar ke atas, seraya terpejam menghela napas panjang.
Benda-benda itu bukan milik Redo di masa sekarang. Melainkan milik dirinya dahulu ketika tahap pertengahan menjadi pelatih Pokémon, puncak petualangannya hampir di depan mata.
Tak mau terlalu jauh tertarik, si remaja merangkak ke tepi lain tumpukan barang, lalu mengambil sebuah topi merah-putih dengan logo PokéBall. Dia pasangkan itu pada kepala, rambut hitam model pendeknya jadi terselubung sebagian. Tampak cocok sekali, kalau tidak begini bukan Redo namanya.
Matahari makin tertelan langit sore, manakala cahaya dari jendela beralih remang-remang. Di kepala Redo, tutur kata Pokémon burung hantu sebelumnya—Heal Order dan segala permasalahan—tebersit lebih kuat. Bagi Redo, dia merasa diberi beban tanggung jawab besar, terlihat dari seri muka yang tak terlalu senang. Namun, mau tidak mau, bukan? Semangat harus dipaksa lebih optimistis, demi Biru yang menanti di luar sana. Entah di mana, barangkali di depan pintu menuju ketiadaan.
Selain itu, pengecekan barang belum selesai. Yang sengaja diakhirkan, kotak persegi panjang warna platina dengan kunci di tengah, Redo bawa ke ribaan. Sesudah dibuka, tampak pada bagian atas gabus berlapis beledu hitam, bagian bawah juga sama, dengan enam lekukan yang semua terisi oleh PokéBall. Tak menunggu waktu lama, Redo bergegas mengecek keadaan keenam Pokémon di dalamnya.
Pikachu, Snorlax, Lapras, Venusaur, Blastoise, dan Charizard. Sebagai pelatih Pokémon, dia mengenali mereka, sebaliknya mereka pun juga mengakui dia. Namun, mendadak ekspresi yang senang itu berganti gelisah. Redo sadar para Pokémon tersebut tidak setangguh yang dia ingat. Akan tetapi, sehabis mimik risaunya pudar, Redo tahu betul mereka yang sekarang sudahlah terbilang kuat. Hanya butuh beberapa latihan, maka penyesuaian pun bisa kembali lagi.
Redo tampak hendak melakukan hal lain, tetapi urung saat suara seseorang terdengar dari ujung lorong rumah. Dari ruang tamu, derap terasa makin kuat.
"Redo! Biru! Aku pulang!"
Redo baru ingat bahwa dia bersaudara dengan Daisy (Kak Daisy?) dan Biru. Terlambat berpikir memang tidak baik.
Tunggu!
Dia memiringkan kepala, di atasnya muncul rumah serta 'Biru', simbol sama dengan, dan rumah serta 'Redo'. Jika begitu, bukankah ini berarti ... ?
Remaja itu menengok keadaan bayi yang terlelap, baru bangkit, beranjak menemui Daisy. Dia nyalakan lampu ruang tamu, menampakkan batang hidung sehingga si pemudi sadar akan keberadaan dan menyapanya.
Pakaian masih rapi, tetapi rambut cokelat madu sedikit kusut mungkin akibat pengaruh luar. Saat dia duduk melepas sepatu, hela panjang keluar seraya mengaduh, tanda amat capai. Redo pun menajamkan nalar di posisi, siap jadi pendengar, dan Daisy mulai menceritakan permasalahannya.
"Hah! Sekolah profesi memang tidak semudah yang dibayangkan. Redo, besok ketika akan mendaftar, kamu harus benar-benar memikirkannya dengan matang, lo!"
Redo tersenyum.
Namun, tubuhnya bagaikan dialiri aliran listrik tegangan tinggi, jantung berdegap-degap seolah habis berlari puluhan kilometer, napas tersekat seakan duri menyumbat tenggorokan.
Bayangan entah waktu kapan, bernada hitam putih, laksana melihat pantulan dari genangan air. Kala itu Redo pergi menjauhinya, meninggalkan Biru yang sendirian berdiri, menyembunyikan wajahnya, seperti menunggu seseorang.
Angguk tak terlalu mengerti Redo berikan selepas sadar.
Pemudi lawan bicara mengulas bibir yang mengembang. "Bagaimana keadaan Biru manis?" Dia bertanya seiring berdiri, berjalan menuju kamar Biru.
Beberapa saat kemudian, teriakan kencang tercipta, membuat Redo tersentak, bergegas berlari. Tubuhnya hampir terjatuh saat stop mendadak di ambang pintu.
"Ya ampun, berantakan sekali!" sumpah Daisy menepukkan tapak tangan ke pipi. Lalu dia menoleh dengan wajah merah padam yang tetap jelita. "Aduh, kamu ini bagaimana? Kenapa tidak seperti yang biasanya? Bukankah selalu aku bilang ...."
Dan, dia berlanjut mengabsen kesalahan abece yang dilakukan Redo, yang padahal—menurut laki-laki itu—belum sehari jadi pramusiwa. Daisy ripuh ke sana-sini, membereskan barang-barang di atas karpet yang sebenarnya sudah bersih, kecuali perlengkapan milik Biru tidak pada tempat, lalu bertanya apa sebab gelap, dan ber-'oh' seraya menyalakan lampu, kemudian lanjut merapikan ini-itu sampai baju agak kotor dan rambut panjang berantakan.
Redo hanya bisa terbengong-bengong.
Selepas kegiatan beres-beres yang melelahkan, Daisy pun menyuruh Redo membersihkan rumah selagi pemudi itu mandi sore. Di giliran selanjutnya, Redo mengetahui pakaian di lemari kamar Biru miliknya, tampak kecil menurut benak sampai harus dia bandingkan di depan tubuh dahulu.
Selesai mandi, dua saudara itu membuat makan malam bersama. Redo yang memotong bahan, sedangkan Daisy sibuk meracik bumbu dan memasak. Di tengah aktivitas, bayi Biru terbangun, tetapi tidak menangis, tawanya disadari Daisy. Bajunya pun diganti, dipasangkan apron, anak itu didudukkan pada kursi khusus dengan meja tersambung. Kini mereka bertiga menikmati makan malam bersama di ruang tengah. Menu kali ini ialah sup miso dan ikan goreng, sedangkan si bayi bubur beri.
Malam pun tiba, waktunya istirahat. Sesudah membacakan dongeng pengantar tidur, Daisy pamit naik ke kamarnya. Tinggal Redo yang masih terjaga, mengawasi si bayi yang terlelap berbekal penerangan dari lampu tidur.
Ketika jarum jam hampir menunjuk angka terbesar, terdengar pintu depan rumah terbuka. Redo pun keluar untuk menilik, mendapati seorang wanita berambut pirang panjang bergelombang, meracau tentang beratnya hiruk pikuk seharian ini. Tubuhnya terhuyung sekejap lalu jatuh ke sofa ruang tamu, sampai tahu-tahu mendengkur. Redo pun menghampiri, memberi selimut tebal yang tampak hangat, menutupi tubuh dan kaki wanita itu, kemudian dia menekan tombol lampu ke putus dan mengunci pintu depan.
Di kamar Biru, Redo masih belum beristirahat, isi kepalanya masih terngiang akan perkataan Tuan Hoothoot tentang peraturan Heal Order.
"Mudah dipahami dan sederhana," ujarnya.
Mata mengilat, gigi bekertak.
Kalau ada Biru, mungkin bakal ditampik, 'Mana ada! Tidak sama sekali!', Namun, ini Redo, dan dia bukan orang seperti itu. Kebiasaannya bukan disebabkan lidah kelu ataupun gangguan komunikasi komunal, melainkan memang Redo bukanlah orang yang semacam itu.
Pada akhirnya Redo memperoleh ide, bak lampu bohlam menyembul dan tercerahkan. Remaja itu bergegas menyusun daftar rencana di kertas buku catatan, terleka di meja belajar sampai punggung gemeletuk, hingga larut malam. Lampu pun dimatikan, entah esok kejutan apa yang menantinya.
Saat tidak sengaja terlelap dalam posisi duduk, kepala diletakkan ke meja, miring menghadap ranjang bayi. Sayup-sayup matanya menangkap Sosok muram mirip Daisy berdiri di depan ranjang bayi, kepala menunduk bersembunyi di antara rambut gelap, mata memelotot, bibirnya bergerak-gerak cepat seperti berdoa tanpa suara.
###
Kudus, 5 Januari 2022
Kali ini nggak ada Pojokan Story dulu :"v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top