Epilog

Sepanjang eksistensiku di dunia, aku belajar bahwa hidup tidak akan pernah sepaket dengan kata selamanya.

Cinta, mimpi, kenangan hingga waktu, semuanya bisa direnggut dalam sepersekian detik. Bahkan tanpa aba-aba sebelumnya.

Bisa dibilang, aku sudah kehilangan semuanya dalam satu waktu dan merasakan penyesalan sebagai bonusnya.

Aku pernah bertanya-tanya dalam hati--ah, tidak. Lebih tepatnya, aku selalu bertanya-tanya selagi bertahan dalam luka yang menggerogoti selayaknya kanker ganas; sebenarnya... berapa lama penderitaan ini? Berapa lama penyesalan yang harus aku rasakan? Dan berapa lama... aku harus berjuang menghadapi semua ini?

Seberapa jauh aku harus menanggung karma ini?

Sampai kata-kata Pak Yunus seolah-olah mencungkil di suatu tempat di dalam hati. Entah bagaimana caranya, yang jelas lagi-lagi aku menitikkan air mata.

"... Semua orang berhak melepas karakter yang buruk dan belajar untuk berubah. Semua orang berhak mengoreksi kesalahan. Semua juga berhak dimaafkan."

Sepertinya benar yang dikatakan orang-orang; biasanya kita lebih cepat terenyuh jika mendapat penghiburan dari orang yang usianya jauh di atas kita.

Secara otomatis, beliau mengingatkanku pada Papa yang belum lama pergi kira-kira dua tahun yang lalu.

"Na, jika ada yang harus menderita, Papa-lah orangnya. Biarkan semua orang menghujat Papa, Papa layak mendapatkannya. Berjanjilah, Nak. Kamu harus kuat. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, Pak Rio udah janji sama Papa supaya identitas kamu disembunyikan. Papa berterima kasih sekali sama beliau, yang udah mengerti dengan keadaan ini.

"Na... maafin Papa, ya? Papa tau ini mustahil, tapi Papa tetap mau bilang ini; andai aja Papa boleh mengajukan satu permintaan sebelum pergi, Papa lebih memilih kebahagiaan kamu daripada meminta supaya kamu nggak jadi anak Papa di kehidupan selanjutnya.

"... karena Papa berharap di kehidupan selanjutnya, Papa bisa menebus kesalahan dengan lebih menyayangi kamu. Izinkan Papa menjadi ayah kamu lagi. Mau, kan?

"Papa sayang Aiyana. Sekolah yang rajin, ya. Jangan pernah ngasih tau ke yang lain siapa nama asli kamu. Lupakan nama Maulana. Sehingga kalau ada yang menghina pun, itu karma untuk nama Papa.

"Kamu nggak salah, Nak. Kamu hanya terkena imbasnya."

Sebuah tepukan pelan di bahu membuatku tersentak kaget. Ah... aku baru sadar tengah berkelana dalam dunia sendiri sedari tadi.

Aku mengalihkan pandangan ke teman sebangku. Baskara Anthony, ya... dia adalah sumber penyesalanku.

Sejujurnya, aku masih belum percaya kalau dia sudah berlapang dada memaafkanku. Namun, melihat bagaimana dia balas menatap dengan kadar kegalakan yang berkurang jauh dari sebelumnya, aku sadar kalau Baskara tidak pernah sekali pun berubah.

Dia masih Baskara yang kukenal dulu, yang selalu tahu bagaimana cara membuatku nyaman berada di dekatnya.

Aku terhenyak lagi saat merasakan sentuhan di pipi. Tidak cukup di satu sisi, karena Baskara menghapus jejak air mataku dengan kedua ibu jarinya.

Tanpa kata, dia menangkup kedua sisi wajahku agar berfokus padanya.

Lantas begitu saja, dia tersenyum. Senyuman yang sarat akan makna penghiburan, mengisyaratkan bahwa aku tidak lagi sendiri.

Matanya jelas mengungkapkan kalau dia akan selalu ada untukku.

Perasaanku menghangat, seolah-olah ada yang mengobarkan api dari dalam. Herannya, efek panas itu secara ajaib menjalar ke netra, mendesak kelenjarnya memproduksi air mata lagi.

Ahhh... sudah lama sekali sejak aku mendapat penghiburan dari orang selain keluarga.

"Baskara, Bapak tau kamu mau hibur Aiyana. Ya tapi jangan di kelas juga, dong." Terdengar suara Pak Yunus menegur tanpa aba-aba sebelumnya, membuat tautan mata kami terputus.

Aku baru sadar kalau kami menjadi pusat perhatian sekarang. Aku bahkan lupa kami berada di kelas yang isinya puluhan siswa.

"Oh iya, ya." Baskara menunjukkan gestur mawas diri, tetapi matanya tersirat tatapan jenaka. "Kirain lagi dalam dunia milik sendiri, Pak."

"Ck, mentang-mentang Bapak lagi jomblo."

*****

Sesuai yang dikatakan Pak Yunus, kasus yang sempat ditutupi benar-benar diungkapkan oleh Pak Rio ke semua orang, tepatnya di Ruang Auditorium keesokan harinya.

Banyak yang antusias dan berhubung aku adalah headline utamanya, tentu tidak ada yang ingin melewatkan kesempatan untuk mengata-ngatai, bahkan tidak sedikit yang menginterogasiku secara langsung.

Aku jadi seleb dadakan, tapi aku sama sekali tidak senang akan situasi ini.

Sama seperti yang sering terjadi sebelumnya, aku fobia dengan kerumunan. Aku pernah didiagnosa mengalami gangguan kecemasan sosial, terutama ketakutan itu meningkat sejak Papa meninggal.

Saat itu aku diharuskan berjuang sendiri seolah-olah aku yang mengemban nama Maulana di pundak, padahal namaku sudah disepakati berubah menjadi Yana. Hari-hariku tidak pernah tenang, aku selalu takut ada yang menyerangku seperti di masa SMP.

Kemudian, aku ingat ketakutan itu secara bertahap teralihkan sewaktu memandang sosok familier yang ternyata satu sekolah denganku.

Dave Anthony. Dia pasti lupa karena penampilanku sudah berubah drastis. Meskipun demikian, entah kenapa hanya padanya aku merasa lebih tenang.

Aku juga tidak keberatan jika harus berbaris dengan yang lain untuk menyaksikan dia berjalan di sepanjang koridor, seakan ada karpet merah tak tampak yang mempersilakannya melangkah dengan keren.

Memandang Dave adalah satu-satunya cara untuk mengalihkan apa yang aku takutkan dalam pikiran.

Sekarang juga demikian meski kalau ada yang menjadi pembedanya, kali ini Dave sudah mengenalku sebagai Aiyana Maulana yang dulu, teman SMP-nya.

"Yana, kamu ikut aku aja ya?" Dave berkata usai masuk ke dalam kerumunan yang menjadikan aku sebagai pusat. "Jangan takut, aku bakal nemanin kamu."

Tidak berapa lama, kerumunan yang baru saja didesak lepas oleh Dave, lantas terpencar lagi oleh kedatangan Baskara.

Netranya menyorot tidak senang pada saudara tirinya. "Kepsek nyariin lo, jadi biar gue yang nganter Aiyana aja."

Alih-alih balas menatap tak suka, Dave malah tersenyum lebar. "Gue baru dari ruang kepsek kok."

Baskara tampak terkesiap, ekspresinya seperti sedang diciduk melakukan kesalahan. "Oh ya? Tau tuh, gue disuruh buat kasih tau lo."

"Begitu. Oke, deh. Titip Yana, ya."

"Lo kira nitip barang, apa? Ck."

Dave lagi-lagi tersenyum sebelum mengayunkan lenganku ke arah Baskara. Bagiku, situasi ini cukup aneh. Anggapannya jadi seperti seolah-olah aku adalah anak kecil yang tidak boleh dibiarkan lepas.

Herannya lagi, Baskara mau-mau saja menyambut lenganku--tidak, ralat. Menggenggam tanganku langsung.

Bahkan berani mengisi sekat-sekat kosong di antara jemariku dengan ekspresi yang menyebalkan sekaligus....

Kenapa visualnya jadi glowing begini?

Aku merasakan ada yang menggelitik di dalam perut, bersamaan dengan perasaan seolah didorong dari ketinggian tanpa aba-aba sebelumnya.

Kini, kecemasan sosialku menjadi-jadi walau konteksnya telah berganti. Aku jadi cemas ditatap oleh banyak orang karena malu.

Aku juga salah tingkah hebat saat ditatap intens oleh Baskara.

Jujur, aku jadi merasa risih. Rasanya ingin segera melarikan diri atau berharap ada kekuatan teleportasi untuk berpindah tempat.

Baskara menarikku ke arahnya, membuatku teringat pada insiden terakhir kali di tengah kerumunan. Entah tenagaku yang terlalu lemah atau Baskara mengeluarkan energi terlalu banyak--aku tidak tahu. Yang jelas begitu jarak kami mendekati nol karena aku hampir memeluknya, aku yakin rona di wajah sudah merambat ke telinga dan leher.

"Kenapa tegang begitu?" tanya Baskara lugas. Ternyata ada untungnya berada di pusat keramaian karena bisa menutupi bunyi degup jantungku yang melebihi batas normal.

Aku yakin jika kami berada di ruangan yang sepi, Baskara bisa mendengarnya.

"Hng...."

"Tenang, lo punya gue. Jadi kalo lo nggak mau jadi bulan-bulanan mereka, lo nggak diizinkan jauh-jauh dari gue."

Aura Baskara jadi berbeda dari biasanya. Entahlah, jadi seperti... senang melakukan kontak fisik. Mulai dari mengaitkan jemari kami hingga menyandarkan lengannya ke sekeliling bahuku selagi melangkah beriringan.

Teriakan di sepanjang koridor sama sekali tidak diindahkan oleh Baskara. Dia seolah menikmatinya, bertingkah seperti seorang idola yang disambut oleh ribuan fans; menjaga image sembari memasang tampang keren.

Aku tidak tahu harus merespons apa, itulah sebabnya aku memilih pasrah berada di sisinya. Juga, aku cenderung menatap ke bawah alih-alih beradu pandang dengan orang lain.

Kami terus melangkah hingga Baskara berhenti secara tiba-tiba. Berhubung lengannya masih bergantung di pundakku, otomatis gerakanku juga ikut tertahan.

Aku menegakkan kepala dan di hadapanku berdiri Mira Lesmana dan Carol.

Ditilik dari cara mereka mendekat, aku jadi paham kalau mereka berteman.

Aku bisa merasakan kerumunan yang semula hampir bubar, jadi bersemangat untuk berkumpul kembali.

"Mira." Baskara memanggil, lantas menaikkan kepalanya sedikit.

Tentu, itu adalah ciri khasnya kalau menunjukkan ekspresi songong.

"Gue cuma mau bilang kalo...." Mira bergerak semakin dekat, mempersempit jarak di antara kami. Ekspresi Carol tidak terbaca, tetapi aku yakin dia juga mau mengutarakan sesuatu.

Suasana mulai memanas, apalagi ekspresi Mira seolah-olah mengajak tawuran.

Aku menundukkan kepala lagi, tetapi rangkulan yang mengerat di pundak seolah mengingatkan kembali kalau aku tidak sendiri.

Apakah aku benar-benar diizinkan untuk 'bersandar' pada Baskara?

"Kita lagi otw ke Ruang Auditorium, jadi mendingan lo nggak usah cari gara-gara, Mira." Aku mendengar ketegasan dalam suara Baskara. "Emangnya lo nggak takut Dave makin ilfil sama lo?"

"Diem." Gantian Mira mengingatkan, meski suaranya berupa bisikan. "Gue ada perlu sama Yana. Ada yang mau gue omongin."

"Alahhh... pasti mau ajak gelut, kan? Gue udah bertekad buat lindungin Yana, jadi mendingan lo mundur."

"Cuma ngomong doang, elah! Lo pacarnya aja bukan!" protes Mira. Nada suaranya masih bertahan dalam bisikan. Tentu saja dia tidak berharap sisi lainnya diketahui oleh yang lain. "Lagian sejujurnya yang mau ngomong tuh Carol. Gue cuma nemenin dia."

"Emang dasar ya cewek. Ke mana-mana selalu berdua. Ke WC aja berdua! Dikira bakal diculik kali ya kalo independen."

"Independen tuh apa?" Aku mendengar suara Carol bertanya.

"Independen--mandiri, sendiri, merdeka, berdaulat, bebas, solo, tidak bergantung. Apa lagi, ya? Masih belum paham juga?" sindir Baskara. "Atau ibarat pasangan, independen ya jomblo."

"Iya-iya. Gue tau. Kalo gitu, gue mau ngomong sama Yana. Boleh, kan?"

"Ngomong aja di sini. Kalo mojok, gue yakin lo pasti ngajak gelut."

"Nggak akan."

"Pasti iya."

"Nggak bakal."

"Udah pasti iya."

"Udah dibilang nggak, ya nggak."

"Sama. Udah gue bilang iya, ya iya. Masa ya iya, dong?"

"Ck."

"Ck."

"Ini kenapa jadi debat gini, sih?" tanya Mira menengahi. "Udah deh, Bas. Carol cuma mau menyampaikan sesuatu. Lo juga, Car. Nggak usah privasi-privasi, deh. Jangankan ajak ngomong berdua, begini aja si Yana udah gemetaran loh."

"Oke-oke. Gue cuma mau bilang...." Carol menggantung kata-katanya. Otakku sudah berkelana entah ke mana karena aku sudah memikirkan yang tidak-tidak.

Aku merasakan keringat dingin mulai mengaliri bagian tepi wajahku. Kepalaku semakin ditundukkan ke bawah.

Ya, aku masih takut menghadapi mereka semua. Rangkulan Baskara ternyata belum cukup memompa keberanianku.

Ini memang nggak mudah. Aku yakin fobiaku tidak akan secepat itu untuk sembuh.

Namun, kepalaku otomatis terangkat saat mendengar ucapan Carol selanjutnya.

"Aku minta maaf."

Aku hanya bisa diam, tetapi setidaknya aku refleks beradu tatap dengan Carol.

Entahlah, apakah mendengar kata maaf sesederhana memberikan efek 'penyembuhan'?

Mulutku menganga lebar saking tidak percayanya.

"Aku bilang, 'aku minta maaf'." Carol mengulangi. Sepertinya dia benar-benar tulus mengatakannya meski ekspresi canggung lebih dominan.

"Nggak mau respons, nih?" Terdengar suara Mira, disusul senggolan kecil pada lengan atasku. "Kaget, nih? Udah kudugong."

"Kudugong tuh apa?" Carol bertanya polos, berhasil membuat Baskara terbahak.

"Untung ye, nama lo bukan Coral. Kalo iya, udah gue lempar ke laut biar satu famili sama batu."

Terdengar gaplokan keras setelahnya. Sayangnya, pukulan itu ditujukan ke kepala Baskara.

"ARGGGH! SAKIT, SIALAN LO!"

"HEH, BERANI LO PUKUL CEWEK?"

"LO BUKAN CEWEK! LO ITU BATU KARANG!"

"HEH, KOK MALAH BERANTEM?" tanya Mira, ikut ngegas karena suasana jadi heboh.

Seketika, aku terabaikan. Sejujurnya ini bagus untukku karena aku tidak perlu memikirkan apa yang harus aku katakan sebagai wujud respons.

Tapi... waktu menyaksikan interaksi mereka seperti ini... kenapa aku jadi merasa tidak asing? Kayak... seolah-olah aku kembali ke kenangan lama, di mana aku sering terlibat dalam suasana seperti ini; heboh dan ramai, yang seringkali diwarnai dengan aksi gelut.

"Loh, kenapa ini? Yana, kamu nggak apa-apa kan?" Tahu-tahu Dave masuk dalam kerumunan dan menarik lenganku agar berfokus padanya. Tarikan lenganku yang lain lantas menegaskan kalau Baskara masih belum melepaskanku.

Aku melihat Baskara, tetapi matanya mengarah ke Mira. Tatapannya penuh arti karena dibalas anggukan ringan oleh cewek itu.

"Dave." Mira memanggil usai mendekat dan menarik lengan Dave yang bebas. "Ikut aku aja."

"Loh?" Dave bertanya bingung.

"Nah, itu baru betul. Jadi, Yana ikut gue." Baskara menarik lenganku hingga tautan dari Dave segera lepas.

"Lah, gue gimana?" Carol ikut nimbrung. "Siapa yang narik gue?"

"Nggak ada." Baskara menjawab sinis sebelum bergerak. Lagi-lagi aku merasakan efek kesetrum saat jemarinya ditautkan di antara jari-jariku.

"Yana, kita belum selesai ngomong." Carol mengalihkan fokusnya ke arahku.

"Kita ke auditorium dulu. Udah disuruh masuk, nih." Baskara menatap Carol dengan tatapan penuh celaan. "Lagian intinya lo mau minta maaf sama Yana, kan? Nah, udah tuh."

"Udah apa?"

"Dimaafin. Bener kan, Na?"

"Hah?" Aku refleks kaget karena Baskara memanggilku dengan 'Na'. Selama sepersekian detik aku jadi teringat sama Papa.

"Lo maafin Coral, kan?"

"Heh, nama gue Carol!"

"Hng... i-iya."

"Tuh, udah selesai kan?" Baskara bertanya ke Carol.

"Hmm... iya, sih. Intinya kayak... mata gue terbuka setelah denger wejangan Pak Yunus sama guru BK. Semua orang bisa berubah, gue nggak berhak nge-judge orang. Lagian, amit-amit kalo ngebayangin gue bakal mendapat ganjaran atas perbuatan jahat."

"Mungkin karena kepala lo udah kebentur, jadi otak lo udah bergeser ke posisi yang bener." Baskara tersenyum miring. "Harusnya lo berterima kasih sama gue."

"Sialan, lo! Nggak nyangka aja ya Baskara yang culun modelannya jadi begini! HEH! KALO GUE MATI, LO BAKAL GUE GENTAYANGIN SAMPE MAMPUS!"

"Buktinya nggak mati beneran, kan? Heran deh, cewek-cewek seneng banget sih ngomongin hal yang nggak terjadi? Dikira cenayang, apa?"

"Cenayang?"

"Iya, cenayang. Lo nggak tau cenayang tuh apa? Berasal dari planet mana, sih? Tadi nggak tau independen, sekarang--"

"Iya, iya. Gue tau. Maksud gue, masa iya cenayang ngomongin hal yang nggak terjadi? Bukannya cenayang itu ngomongin yang akan terjadi?"

Aku hanya bisa mengekor dari belakang dengan kepala yang tertunduk lagi, meski teknisnya tanganku dan tangan Baskara masih bergelantungan erat.

Saking eratnya genggaman itu, aku merasakan telapak tanganku mulai basah karena keringat.

Rasanya kurang nyaman. Aku yakin dia juga merasakan situasi yang sama karena tangannya terus bergerak, seolah mencari posisi yang nyaman untuk terus menautkan jemari kami.

"Ah, bodo amat!" Lantas, Baskara berpaling ke belakang, ke arahku. Aku bisa mengetahuinya karena langkah kami sudah sampai ke ambang pintu gigantis Ruang Auditorium dan aku harus mendongak untuk mencari tempat duduk.

Alih-alih masuk ke dalam, Baskara malah berputar haluan.

"Hng... ki-kita ke mana?" Akhirnya aku bertanya setelah lama kutunggu tidak ada penjelasan dari Baskara. Dia terus berjalan sambil menarikku untuk ikut dengannya.

Langkahnya terhenti seketika, lalu membalikkan tubuh dengan seringai khas di bibir.

Posisinya berdiri persis di ujung koridor yang berlatarbelakangkan cahaya mentari, menyorot sisi tubuh Baskara sedemikian rupa hingga visualnya optimal.

Ya, aku akui nama Baskara cocok untuknya.

"Akhirnya lo mau bertanya. Tadinya gue sengaja narik lo terus. Kalo lo diem aja, gue rencana lanjut sampai gedung barat. Hitung-hitung sekalian olahraga sehat.

"Masih diem? Ya udah, jalan lagi." Baskara lanjut menarik tanganku, tetapi kali ini aku melawan.

"Hmm... se-semua udah masuk... udah masuk ke Ruang Auditorium."

"Nah, gitu dong. Yuk, balik."

"Ha?"

"Kenapa? Mau lanjut jalan? Ya udah, yuk. Gue sih mau-mau aja."

"Bu-bukan gitu."

"Trus?"

"Hng...." Kepala gue tertunduk dalam lagi, tetapi tidak berlangsung lama karena ada tangan yang mengelus pucuk kepalaku.

"Yana, mulai sekarang jangan memendam semuanya sendiri ya. Lo punya gue sekarang."

Aku kembali bungkam, lagi-lagi tidak tahu harus berkata apa. Aku yakin tidak lama lagi Baskara akan bosan dan menyerah dengan sikap pasifku yang berlebihan.

Itu... mungkin itu lebih baik daripada dia capek-capek berusaha.

"Gue tau itu nggak gampang, tapi gue yakin lo bisa sembuh dari fobia itu. Setelah Pak Rio ceritain semuanya ke teman-teman, gue yakin mereka bakal ngerti dengan sikap lo yang dulu. Sama seperti gue.

"Lo nggak salah, Aiyana. Lo nggak jahat. Perlu lo ketahui, nggak ada orang jahat di dunia ini kecuali terjepit oleh keadaan atau dunia yang menginginkannya demikian. Udah saatnya lo nyari kebahagiaan lo sendiri.

"Gue bersedia kok, diujicobakan buat konten kebahagiaan lo." Baskara tersenyum maksimal hingga kedua matanya melengkung. Dia sedang dalam mode terlalu pede sebenarnya, tetapi aku malah merasa dia layak bertingkah seperti itu.

Sesuai namanya; Baskara.

"Kok nggak jawab? Gue udah ngomong panjang kali lebar begini, loh. Lo harus jawab."

Merasa tidak enak, aku mengangguk terpatah sementara senyum Baskara berubah menjadi seringai.

"Bagus. Jawabannya cuma dua; yes or yes. Kayak lagunya Twice, muehehehe...."

"Hng...."

"Nggak ada pilihan selain 'iya'. Lo kan masih jadi babu gue."

Mendengar kata 'babu' berhasil membuatku refleks bergidik ngeri. Ya, kata itu memberikan damage tersendiri untukku.

"Babu hati gue maksudnya. Ck, pokoknya nggak ada penolakan. Lo itu milik gue, jadi nggak ada yang bisa semena-mena sama lo selain gue.

Makanya... gue perlu pengesahan." Baskara lanjut berbicara, membuatku menegakkan kepala lagi.

"Pe-pengesahan?"

"Iya, ibarat kata kayak kontrak kan ada tempel materai atau stempel. Lah kita juga harus dong."

"Hng... caranya?"

Tadinya aku mengira Baskara akan memintaku melakukan hal yang di luar nalar demi pemenuhan keabsahan, sehingga pikiranku secara otomatis berseliweran ke mana-mana. Lantas, begitu saja selama sepersekian detik, insidennya berlangsung terlalu cepat. Kepala Baskara mendekat dan siapa sangka dia mendaratkan bibirnya ke pipi kananku.

Cup.

A-apa?

Aku ingin bertanya, tetapi tak kuasa melakukannya karena terlalu kaget akan fakta ini.

Baskara cengengesan sampai menjauh beberapa langkah sebelum kembali lagi dan menengadahkan telapak tangannya ke arahku.

"Yuk, kita masuk ke dalam."

Aku masih bergeming seakan dipaku di tempat. Pikiranku masih kacau, seakan banyak kupu-kupu yang terbang acak.

"Oh, mau gue cium lagi?"

Seolah-olah ada yang menyetrum, aku segera terhenyak dan mendekat untuk menerima uluran tangannya.

Tidak ada pilihan selain 'iya'.

(2.840 words)

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top