9). Witness or Savior?
Peringatan ⚠️
Part ini tersirat makna mengintimidasi. Mohon maaf jika ada kata-kata Baskara yang tidak mengenakkan hati ya karena berhubung menggunakan sudut pandang pertama, jadi pasti akan ada ucapan yang subjektif.
Mohon bijak dalam membaca 🙏.
Sebagai pengulangan informasi, sudah saya sertakan peringatan ini di bagian deskripsi cerita.
Terima kasih atas perhatiannya.
Happy reading ❤️
*****
Percaya deh, nggak ada yang lebih memuaskan selain balas dendam sama orang. Saking puasnya sampai-sampai berasa candu.
Bikin nagih.
Nggak percaya? Yaaa... terserah, sih. Gue nggak pernah maksa siapa pun buat meneladani gue, tapi percaya deh, akan tiba waktunya ketika lo harus membalaskan dendam ke seseorang.
Dan pembalasan tersebut nggak cukup terobati dengan satu kata 'maaf' doang.
Ini bukan masalah beri pipi kanan setelah pipi kiri ditampar--sori demi sori, gue nggak punya hati sesuci itu, melainkan ini masalah mata ganti mata atau hidung ganti hidung. Apa yang lo tanam bakal lo panen suatu hari.
Lagian setelah dipikir-pikir, tindakan gue malah mulia. Gitu-gitu gue bantuin tugas malaikat yang mencatat amal buruk manusia. Bukankah semakin cepat kapoknya, bakalan semakin dikit urusan catat-mencatat ini?
Itulah sebabnya, gue bangga membalaskan dendam pada Aiyana Maulana.
Gue udah cerita belum kalau dia udah gue request buat duduk di sebelah gue?
Pak Yunus nggak keberatan. Malahan, ekspresi beliau seolah menganggap eksistensi Aiyana bakal memberikan efek positif buat gue, berhubung prestasinya memang sebagus itu.
Berasa nostalgia gegara jadi teman sebangkunya sih, tetapi di sisi lain, gue jadi semakin termotivasi untuk membuatnya menderita.
Minimal... membuatnya merasakan seperti apa jadi posisi gue di masa lalu.
"Heh, Babu! Catetin semuanya, jangan ada yang kelewatan!"
"Yang rapi, loh! Heh, Babu! Lama amat nulisnya?"
"Gue lagi mager. Beliin minuman ya, wahai Babu!"
"Lama amat, sih? Babu sih babu, tapi bukan berarti lo bisa sengaja lamban kan?"
Begitulah beberapa perintah gue ke Aiyana sedari pagi menjelang siang. Sesenang itu menistakan dia, tapi kalaupun ada yang kurang... gue rasa kalemnya kelewatan.
Tingkahnya terlalu manut, padahal gue berharap dia sedikit berontak biar gue bisa perlakuin dia lebih kasar.
Ah, tapi... nggak apa-apa, deh. Anggap aja simulasi. Mana tau dia pingsan saking syoknya kalau gue terlalu berlebihan. Lagian, seperti yang pernah gue tebak di awal-awal, dia itu kayak punya semacam fobia atau anti sosial gitu.
Dia selalu menghindar kalau beradu tatap sama gue, yang tadinya gue sangka dia salah tingkah dengan tatapan gue yang intens. Ahhh... ternyata nggak. Sama yang lain juga demikian.
Kenapa, ya? Apa ini ada hubungannya sama masa lalu dia? Terakhir gue denger sebelum pindah sekolah, banyak yang mengucilkan dia bahkan beberapa siswa yang dulunya pernah menjadi korban buli Aiyana, menjadi pelaku utamanya.
Tuh kan, gue bilang apa? Pembalasan dendam itu memang bikin nagih. Sekali lo lakuin, selanjutnya lo bakal mengulang sampai puas.
Gue sendiri nggak tahu kapan batas kepuasan gue tiba. Hmm... jalanin aja dulu, ya?
Ngomong-ngomong, ini udah lewat seminggu di awal tahun ajaran baru tetapi Aiyana masih saja belum menunjukkan sikap berontaknya.
Ternyata dia bisa sabar juga.
Apa gue harus ngasih dia efek kejut yang bikin syok? Mungkin... sekadar ngasih tau dia kalau gue udah tau siapa dia yang sebenarnya?
Sejujurnya gue nggak ada niatan beginian, tapi sepertinya apa yang gue lakuin menjadi spontanitas saat lensa mata gue menangkap pemandangan yang tidak biasa.
Gue memang berada cukup jauh dari jarak pandang, tetapi mata elang gue bisa menangkap ekspresi Aiyana yang sedang mengulum senyum saat melihat Dave dari jauh. Lebih tepatnya, gue memandang dari percabangan koridor. Posisi ini jadi menguntungkan karena ada pilar besar yang menutup eksistensi gue dengan sangat baik.
Gue bisa menatap mereka bebas tanpa perlu menyelinap kayak om-om mesum kalau lagi ngintip cewek mandi.
Aiyana? Woah... lo suka sama Dave rupanya? Plot twist banget, plis deh!
Lantas, gue merasakan sesuatu yang familier. Rasanya kayak dejavu di satu sisi, tetapi terasa menyakitkan di sisi lain hingga membuat gue sesak.
Awalnya gue kira gue bisa mengabaikan, seenteng keacuhan gue seperti biasa, tapi... mengapa gue jadi ngerasa benci?
"You know that girl, right?" tanya suara di belakang gue.
Suara cewek. Tanpa embel-embel nama dalam setiap percakapan dengan nada angkuh, gue tahu siapa dia.
Mira Lesmana.
Teruntuk Mira, gue memang kelihatan lebih akrab sama dia padahal lo nggak tau aja aslinya kita kayak gimana.
"Is it important?" Gue bertanya dengan nada yang tak kalah songongnya.
Woya jelas, lo kira orang yang punya aura sama bakalan bisa cocok satu sama lain?
Katanya pilih pasangan aja mesti beda karakter, jadi menurut lo?
Noted, bacanya plis dengan nada menyebalkan juga biar geregetnya nambah.
"Menurut lo, apa gue bakal bertanya kalo nggak penting?" tanya Mira tanpa berniat untuk mengalah.
Ck, mentang-mentang koridor lagi sepi. Baiklah, kalo itu mau lo.
"Bagi gue nggak penting."
"Ck." Mira mendecakkan lidah, tetapi itu baru setengah perjalanan karena ada sesuatu yang membuatnya menyeringai saat meneliti ekspresi wajah gue. "Kayaknya gue udah tau jawabannya."
"Apa?" Gue menantang balik, tetapi sepertinya untuk kali ini gue lengah.
Entahlah, pemandangan tadi seperti membuka luka lama meski gue nggak mengerti apa tepatnya. Gimana ya, serasa ada yang kosong. Kayak gue tahu gue pernah mengalaminya, tapi gue nggak bisa kilas balik.
Gue yakin ada sesuatu yang gue lupain, mungkin saja tersimpan di alam bawah sadar, dan sedang menunggu untuk di-reveal suatu saat.
Mengapa gue bisa mengatakan demikian? Karena gue pernah menangkap ekspresi yang tidak biasa dari Nyonya Anthony, tidak terkecuali Dave.
"Mau tau?" tanya Mira, seringai di bibirnya semakin tercetak dalam. "Saksikan aja sendiri."
Andai ini cuplikan sinetron, gue pengen banget momen ini dijadikan momen bersambung ditambah ada backsound yang menggelegar untuk menambah suasana gereget, tapi gue tahu ini belum saatnya.
Berhubung gue jadi kepo sama aksi Mira. Cewek itu meneruskan langkah, mendekati zona duo Aiyana dan Dave.
Ditilik dari bahasa tubuh keduanya, Dave-lah yang mengajak berbicara. Kesannya lebih cocok jadi menghibur karena sepaket dengan elusan lembut di salah satu pundak Aiyana.
Cih, kenapa nggak sekalian peluk aja sih? Setidaknya yang lain bakal menganggap Dave sebagai player, biar kesempurnaannya mengalami sedikit keretakan.
"Aiyana." Mira memanggil, membuat atensi gue berpaling ke sumber suara dalam waktu sepersekian detik. Fokus gue jadi terasa sia-sia karena langkahnya sudah menjauh dan tinggal beberapa langkah lagi sampai ke posisi di mana Aiyana berdiri.
Gue tahu bukan cuman gue yang cemas, melainkan Aiyana juga. Saat itulah ekor matanya beralih ke gue. Secara nggak sengaja sih karena Mira mendekat dari arah yang bersumber dari gue.
Tanpa kata, lewat sorotan mata kami yang saling terkunci secara dramatis, seolah-olah memberi kejelasan atas semuanya.
Mungkin ini definisi dari cara membaca kejujuran lewat tatapan mata. Dari dia, gue tahu dia terluka. Entah bagaimana caranya, dia berhasil menyampaikan ke gue sebesar apa rasa putus asanya dia, seakan-akan meminta bantuan.
"Mira." Terdengar teguran dari Dave.
Mira tersenyum manis bak ratu iklan. "Ada yang salah? Namanya memang Aiyana. Ya kan, Ai?"
"Cukup, Mira."
"Hei, gue jadi ngerasa jahat. Emangnya kenapa kalo aku nyebutin nama asli dia, hm? Dave, kenapa emangnya? Emang dulu Aiyana lakuin hal kriminal apa sampai-sampai harus menutupi nama aslinya?"
Kini, sejumlah murid yang berlalu-lalang mulai kepo dan dalam waktu yang super singkat, terbentuk kerumunan dengan Mira-Aiyana-Dave sebagai pusatnya.
Aiyana tidak lagi menatap ke gue, mungkin dia beranggapan lebih baik menganggap eksistensi gue tidak lagi berwujud.
Atau bisa jadi... dia sedang berusaha untuk mempertahankan diri. Gue bisa melihat bagaimana setiap inci tubuhnya gemetaran seolah-olah baru saja keluar dari bak berisi air es. Dari sini gue juga bisa memperhatikan bagaimana bibir bawahnya bergetar dan tangannya mengalami tremor hebat.
Kasihan sekali nasib lo, Aiyana. Sekarang gue mulai paham asal muasal fobia lo bersumber dari apa.
Lantas yang menjadi pertanyaan; apa yang harus gue lakukan?
Membiarkan dia menjadi tontonan publik tentu akan menjadi pembalasan dendam yang hakiki karena gue yakin nggak lama lagi dia akan pingsan saking syoknya.
Aiyana spontan mengangkat kedua tangan untuk melindungi sepasang telinganya dan menundukkan kepala dengan ketakutan.
Satu menit, Baskara. Cukup untuk menyaksikan bagaimana dia jatuh.
Namun di saat yang sama, retina gue juga menangkap bayangan Dave yang mulai menunjukkan tanda-tanda mau bersikap heroik.
Oke. Kini pertanyaannya gue revisi; antara gue sama Dave, siapa yang tergerak untuk nyelamatin Aiyana?
Eitsss... momen bersambung sudah tiba. Jeng jeng jeng jenggggggggg.... See you on next chapter, guys.
(1.227 words)
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top