7). Broken Home? Maybe

Semua orang pernah berada di titik terendah dalam hidup. Ibarat tercemplung ke dasar samudra—–ralat, kejauhan soalnya. Oke, gue ganti. Ibarat tercemplung ke dasar kolam renang—–ahhh, tapi... terlalu dangkal mah kalau kolam renang.

Muehehehe... iya-iya, gue serius sekarang. Kita pilih laut saja. Setuju nggak setuju, harus iya-in kayak lagunya Twice berjudul Yes or Yes. Lo nggak ada pilihan lain soalnya gue tokoh utama di sini.

Ibarat tenggelam ke dasar laut, lo sendirian. Nggak ada siapa pun yang nolongin lo, bahkan bisa jadi nggak ada yang tau kalau lo sedang berjuang untuk tetap hidup di dalam air.

Tangan lo menggelepar, tetapi lo nggak kuasa buat berenang ke permukaan. Seolah-olah di saat yang sama, ada yang menarik lo semakin ke bawah hingga lo merasa akan lebih membahagiakan kalau Tuhan merenggut nyawa lo saja.

Sama halnya ketika berada di titik terendah dalam hidup. Lo berusaha untuk lepas dari belenggu luka dan kesedihan, tetapi di saat yang sama, cobaan yang lo hadapi terlalu sulit untuk dihindari.

Manusia nggak bisa puas. Manusia itu tamak. Manusia selalu meminta lebih dan lebih, tetapi nggak mensyukuri apa yang dia punya. Kalau kata pepatah, 'Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri'.

Kalau kata pengalaman gue, 'Anak tetangga lebih jenius daripada anak sendiri'.

Jika kalian peka, kalian bakal mengerti kata-kata gue menjurus ke mana. Inget nggak sama pengungkapan tentang gue pernah terkenal pada masanya? Nilai gue sempurna sampai-sampai penampilan gue mendukung profil ke-kutubuku-an gue.

Gue pernah menjadi seperti Dave Anthony. Gue pernah mendapat sederet prestasi walau piala yang diperoleh nggak sebanyak Dave—–wajar dong, gue kan masih SD saat itu. Gue juga pernah menjadi anak idaman yang akan membuat siapa saja iri.

Nggak ada yang nggak kagum sama gue, tapi lo akan heran sendiri kalau penilaian orang tua gue berbeda. Ya, begitulah fakta dari pepatah yang sengaja gue pelesetin dari rumput hijau tadi.

Di mata mereka, rekor gue nggak pernah bisa memuaskan. Gue selalu saja dituntut lebih dan lebih seolah-olah gue robot yang bisa diatur sepuasnya. Padahal kalau mau menyangkut realisasi, jangankan manusia, robot saja bisa rusak jika dipaksakan beroperasi melebihi kemampuannya.

Seperti yang gue bilang tadi, manusia yang nggak pernah bisa mensyukuri apa yang dia punya, suatu saat akan merasakan kehilangan. Situasinya kayak lo menyia-nyiakan apa yang lo punya, jadi Tuhan merebut kembali apa yang udah lo abaikan.

Bisa kalian tebak apa yang terjadi seiring berjalannya waktu. Gue—–Baskara—–bukanlah diri gue yang dulu lagi. Lagi pula, impian bokap-nyokap udah terwujud, kan? Dave Anthony yang mereka puja-puja setengah mampus waktu itu, berhasil diangkat menjadi anak secara hukum.

Meski sayangnya, bokap gue nggak sempat merasakan itu karena udah telanjur dipanggil oleh Yang Mahakuasa.

Bisa dibilang, insiden itulah yang mendorong perubahan drastis gue. Semuanya terjadi secara beruntun tanpa ampun, sampai gue takjub sendiri karena nggak jadi gila padahal gue pernah berkali-kali berdoa biar dikabulkan.

Gue ngomong realistis. Andaikan gue benar-benar gila, gue nggak perlu mengingat masa lalu. Andaikan gue benar-benar gila, gue nggak perlu menghadapi cobaan hidup yang sangat-sangat melelahkan. Juga... andaikan gue benar-benar gila, gue nggak perlu capek-capek ke sekolah.

Muehehehe.... Udah, udah. Nggak usah ikutan sedih. Biasa aja, keles.

"Muka kamu kenapa, Baskara?" tanya suara sopran yang udah gue hapal di luar kepala hingga tanpa menoleh pun, gue udah tau siapa yang bertanya.

Nyonya Anthony kalau kalian kepo. Beliau luar biasa senang kalau dipanggil dengan nama belakang baru yang sudah dibiasakan hampir setahun belakangan.

Bangga dong, ber-ibu-kan anak-sah-secara-hukum seperti Dave Anthony?

"BASKARA!" teriak Nyonya Anthony saking kesalnya karena gue mengabaikan beliau.

Ya iyalah. Sekali lagi, ber-ibu-kan anak-sah-secara-hukum seperti Dave Anthony, jadi gue nggak masalah setiap kali diabaikan. Seperti yang sudah-sudah, jadi buat apa sih berlagak perhatian?

"Apa?" tanya gue galak dengan mata besar gue, tetapi auto menciut ketika mendapat hadiah toyoran di kepala. "Ya ampun! Sakit, Nyonya Anthony!"

Tuh kan, gue bilang apa? Emak-emak yang gue panggil 'Nyonya Anthony' seketika terperangah mendengar panggilan itu.

Ck. Gini, loh. Kayak lo dipanggil dengan sebutan 'Istri Kim Sunwoo'. Merasa nggak layak, tapi nggak nolak di saat bersamaan.

Ngerti, kan? Udah. Jangan ngehalu dulu. Gue tau wajah gue seganteng dia, jadi biasa aja ekspresinya.

"Biasa aja, kali. Nggak usah 'Nyonya Anthony' segala."

Dih, padahal gue yang paling ngerti kalau nyokap gue memang seneng dipanggil dengan sebutan itu. Wong waktu official aja senengnya kayak menang lotre.

"Hm." Gue hanya merespons singkat. Mood gue kurang baik, soalnya. Ditambah rasa gatal yang masih sesekali kumat, ingin rasanya cepat-cepat menenggelamkan diri di bathtub sambil main gim.

Gue memang mau pamer kalau rumah yang gue tinggali memang setajir itu. Gue bahkan bisa sauna di rumah sendiri. Cowok idaman banget kan, gue?

"Makan apa jadi begini? Kan udah Mama bilang, jangan makan kacang-kacangan dan sejenisnya." Nyonya Anthony mulai mengomel dengan nada tinggi. Gue segera mundur selangkah demi menyelamatkan telinga gue beserta isinya.

"Nggak sengaja makan bekalnya Yana." Suara Dave menghalangi gue untuk menjelaskan.

Bagus deh, gue tinggal menutup bibir kembali. Hemat suara, emosi, dan pikiran. Komplit, kan?

"Yana? Siapa dia?" Tuh, tuh. Mulai kepo. Emang ya, kebiasaan wanita itu kalau nggak kepo, ya julid-in orang. Udah sepaket gitu, deh. Gue tebak, nggak lama lagi pasti mau sok kenal sama Aiyana.

"Dia itu—–"

"MANA OBATNYA, SINI KASIH KE GUE!" Ck. Dasar Dave mulut ember. Buat apa sih ngasih tau Nyonya Anthony siapa Yana?

Gue bukan ngelindungin Yana. Hanya aja, gue masih mau menikmati momen santai sebelum ngasih kejutan ke semua orang.

Gue harap pada saat itu... Yana syok sampai pingsan. Itu bakal jadi pembalasan dendam yang deserve to remember.

Lagian, gue masih ragu sang nyonya udah lupain tragedi itu.

Tragedi yang ada kaitannya sama keluarga Aiyana Maulana.

Meski sempat heran karena gue tiba-tiba ngegas, toh akhirnya Dave menyerahkan obat yang dia pegang sedari tadi ke gue. Lantas, gue bergerak menuju tangga tetapi dicegat oleh ibunda tercinta.

Ck. Sepertinya gue pernah mengaku kalau gue benci menjelaskan, kan? Dari bahasa tubuh gue yang sengaja mengabaikan, seharusnya Nyonya Anthony lebih dari mengerti apa arti tindakan gue.

Memang, ya. Sifat manusia selalu senang melanggar aturan. Apa pun itu. Hal yang ditetapkan untuk dilarang, spontan menjadi perintah untuk dilaksanakan.

"Nilaimu makin turun, Baskara."

"Trus?" Gue berbalik menghadap orang tua tunggal yang berbagi darah sama gue.

"Mau sampai kapan kamu begini?" tanya Paramitha. Nadanya terdengar lelah, berbeda dari biasanya yang selalu ngegas.

Tumben. Ahhh... tapi gue nggak peduli. Maybe she tries another way to control me.

Jadi inget sama lirik lagu Let It Go, soundtrack-nya film Frozen. Cocok banget sih mewakili gue.

"... No right, no wrong, no rules for me...."

"BASKARA!"

"Iya-iya. Cuma nyanyi doang, ya elah!" Gue auto protes, lengkap dengan ekspresi gue yang memberengut. Sengaja sih, biar mendramatisir.

Dave nggak punya pilihan selain menyimak. Bagus, jadilah anak yang baik sampai akhir. Awas aja kalau berani ngompor-ngomporin. Tak bakal—–

"Nilaimu turun, Baskara." Nyonya Anthony mengulang dingin.

"Masih 60 besar kok, tenang aja." Gue menjawab santai.

"Tapi—–"

"Mama udah punya Dave, jadi nggak usah peduli sama aku." Jujur, baru kali ini gue menjawab frontal dan membawa-bawa nama Dave, padahal biasanya gue nggak pernah menyebut nama dia.

Entahlah, mungkin bosan dengan pertanyaan klise sejak bokap meninggal? Mungkin sensitif karena alergi gue yang lagi kambuh? Atau mungkin capek ditanya-tanya?

Bisa jadi semuanya. Gue bahkan ikut menyorot dengan tatapan dingin, seenggaknya berharap beliau memilih untuk mengalah saja.

"Kamu juga anak Mama." Ternyata harapan gue harus pupus. Kayaknya debat ini nggak akan selesai secepat yang gue kira. "Mau sampai kapan kamu begini? Dulu kamu—–"

"Nggak usah bahas yang dulu lagi."

"Kalo gitu tunjukkan akhlak kamu yang benar, jadi Mama nggak usah bahas masa lalu lagi!"

"Papa juga udah pergi," balas gue dengan nada nyolot. Tadinya gue mau berlaku sopan sampai akhir, tetapi rasanya gue harus sarkas biar debat ini cepat selesai. "Udah ada suami baru, kan? Bahkan sepaket sama Dave yang sempurna—–"

Plakkk! Ck, sialan. Kenapa sih harus ditampar di saat kulit wajah gue lagi gatal-gatalnya?

"Auk ah! Terserah Mama aja!" Gue menghardik kesal, tetapi malah mendapat pukulan di punggung tanpa aba-aba. "AWW! SAKIT, NYONYA ANTHONY!"

"Kayaknya masih kurang. Sini, kamu! Mama-udah-capek-sama-kamu-yang-kekanakan-kayak-gini!" Nyonya Anthony memukul bertubi-tubi pada setiap lekuk tubuh yang bisa beliau capai; mulai dari kepala, dada, lengan, hingga ke bokong tepat di saat gue berbalik untuk menghindar.

Sakit? Nggak usah ditanya. Dari pekikan yang menyusul, lo bisa tau sesakit apa rasanya. Beruntung, gue bisa kabur di saat-saat terakhir dan melesat ke tangga dengan kecepatan menyaingi tokoh heroik Flash.

Nggak, deng. Ya kali gue punya kekuatan super kayak gitu. Yang benar, sayup-sayup gue bisa mendengar celetukan Dave ke mama-sah-secara-hukum.

"Sabar ya, Ma. Biar Dave aja yang hadapi Baskara. Mama tenangin diri dulu...."

Dave... Dave... Ckckck.... Lo pasti mau libatin Aiyana, kan? Nggak akan segampang itu, wahai saudara tiriku yang terkasih.

(1.476 words)

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top