6). Revenge
Selayaknya adegan klimaks dalam cerita, gue memandang Aiyana dengan tatapan paling jahat yang bisa gue tunjukkan. Oh ya, jangan lupa tambah embel-embel 'ganteng' di belakangnya.
Kejam nan tampan. Jelas, julukan itu cocok buat gue.
"Gue nggak akan lepasin lo, camkan itu!" Gue menghadiahkannya seringai dalam, lengkap dengan menaikkan sebelah alis tetapi sialnya rasa gatal di wajah dan leher gue aktif kembali.
Ah, sialan. Baru aja lagi asyik-asyiknya mendalami peran berandal yang lebih fenomenal dari sinetron Ganteng Ganteng Serigala dari balik layar kaca televisi lokal, gue harus mengakhiri semua itu dengan garukan akibat rasa gatal di wajah gue.
Jatuhnya jadi berkurang kan kerennya?
Ah, tapi... beruntung koridor lagi sepi, jadi gaya gue nggak mati-mati amat.
Oke, balik lagi ke topik utama. Aiyana diem aja, tapi gue tau pikirannya sedang berkelana ke mana-mana. Meskipun demikian, dia belum tahu fakta tentang gue udah menguping pembicaraannya dengan Dave tadi. Dia pasti mikir, kekejaman gue hanya sebatas menuntut pertanggungjawabannya gegara bekal yang dia buat.
Gue nggak salah sama sekali, plis ya. Bekal itu teknisnya memang buat Dave, tapi siapa suruh nitipnya ke gue?
Andaikan dia nggak samperin gue, mana mungkin kan gue berakhir kayak gini? Lagian nih ya, dari segala jenis makanan enak, kenapa sih dia harus masak pake minyak wijen?
For your information, gue ini alergi segala jenis kacang-kacangan yang mana mencakup biji wijen. Gejalanya bisa sampai kejang-kejang dan pembengkakan di wajah. Beruntung, bento ala-ala yang gue makan tadi hanya sebatas minyaknya doang.
Gue spontan menaikkan sebelah alis sewaktu mendapati Aiyana memutuskan kontak mata hanya untuk menundukkan kepala. Memandang kakinya sendiri ternyata jauh lebih menarik daripada beradu tatap dengan gue.
Oke, mungkin dia nggak tahan sama tatapan tajam gue. Gue udah biasa. Inget filosofi nama depan gue, kan? See? Gue bilang juga apa.
Lantas, gue menggunakan kesempatan untuk memperhatikan cewek itu lebih detail. Ditambah fakta gue udah tau siapa dia yang sebenarnya, gue jadi refleks membandingkan dia dengan Aiyana waktu masih bocah.
Tepat seperti yang diasumsikan oleh Dave sebelumnya, memang benar, gue kayak bertukar jiwa sama Aiyana yang dulu.
Kami berdua pernah terkenal pada masanya. Prestasi gue sempurna hingga dijuluki sebagai kutu buku karena penampilan gue juga mendukung--berkacamata tebal dan poni depan gue dipotong rata. Saat itu gue belum kenalan sama hair styling gel, jadi ya... modelan gue memang culun banget.
Sebaliknya, Aiyana dikenal satu sekolah gegara karakter liarnya yang senang menindas orang. Penampilannya jelas berbeda jauh dari yang sekarang. Gue bahkan masih ingat caranya 'berontak' dengan berbagai versi agar eksistensinya diperhatikan.
Ya, semiris itu. Lantas setelah melihat wujudnya yang sekarang, kesan itu berubah menjadi menyedihkan.
It's about life, Dude, and its turned out for all you've done. Kayak bumerang, apa yang lo lempar akan berbalik kembali.
Gue tau itu berlaku sama buat gue, tapi gue rasa hidup gue nggak se-menyedihkan Aiyana.
Setidaknya, gue nggak pernah lakuin physical bullying. Setidaknya, gue nggak pernah menjadikan korban buli sebagai bahan tertawaan. Dan setidaknya, gue nggak pernah menyerang mental orang.
Gue pakai jalur cerdas dengan cara mencuci otak semua orang. Strategi ini benar-benar efektif, mereka bahkan nggak perlu mikir dua kali setiap gue ngasih ultimatum.
Jenius, bukan? Alright, I know I'm that awesome.
Kembali ke cewek itu. Bisa dibilang, Aiyana dapet ganjarannya sekarang. Gue jadi inget salah satu kutipan tentang karma; kalau lo beruntung, lo bisa menyaksikannya dengan mata kepala lo sendiri.
Oleh karena itu, gue akan menikmatinya. Gue bakal pastiin, Aiyana Maulana nggak pernah bisa hidup tenang mulai detik ini. Seumpama predator yang menyerang mangsa hingga tewas secara perlahan, gue juga demikian.
Kejam, ya? Woya jelas. Oh ya, jangan lupa tambah embel-embel 'ganteng' di belakangnya.
Ah, sialan. Baru aja lagi asyik-asyiknya menghayati peran antagonis, derap langkah Dave menghancurkan ekspektasi gue.
Ck.
"Gue beliin minum, ya." Dave berkata setelah menyerahkan satu strip kemasan berbahan aluminium foil ke gue. Biasa... itu adalah satu papan berisi obat anti alergi, meski dominan sudah berlubang dan koyak di sana-sini.
Isinya sisa satu yang belum dibuka. Ngepas banget, sih. Lantas sebagai biang laknat yang tingkat keisengannya bernilai valid, gue auto mikir. Gimana ya kalau gue sengaja jatuhin isinya trus nyuruh Dave ambil lagi?
Ah... dipikir-pikir, jangan deh. Mampus dong gue kalau obatnya habis.
"Lo tanggung jawab, jadi lo yang beli." Gue nyolot ke Yana. Nggak tanggung-tanggung, jari telunjuk gue ikut andil dalam melengkapi sikap bossy gue.
"Gue yang beli aja, lebih cepet." Dave melerai.
"Lo beli. Cepetan!" Gue sengaja mengabaikan Dave seolah-olah dia bagian dari tembok. Tatapan membunuh gue nggak main-main karena Yana menurut dan dia segera berbalik, tetapi Dave lagi-lagi merusak rencana gue.
"Lo nggak pernah buli cewek. Biasa juga lo nyuruh gue." Dave menjelaskan dengan kalem. Tangannya masih mengunci pergelangan tangan Yana, sekaligus memberi isyarat kalau dia nggak mengizinkan gue membuli cewek itu.
Ahhh... kesel banget, tapi gue nggak peduli. Nggak ada yang bisa ngatur-ngatur gue, sekali pun Dave yang namanya bergabung bersama gue dalam satu Kartu Keluarga.
"Lo yang beli karena lo udah jadi babu gue. Bukain juga," perintah gue sembari menyerahkan obat yang tinggal satu-satunya ke Yana.
Cewek itu tentu tidak bisa menolak. Jelaslah, gue kan berandal kelas kakap. Meski dia udah tahu gue Baskara si culun, gue yakin dia nggak bakalan bisa berbalik menyerang.
Siapa yang lebih rugi? Tentu dia. Nggak kebayang deh gimana reaksi anak-anak setelah tau modelannya seperti apa di masa lampau. Lagian setelah gue teliti bahasa tubuh sama gerak-geriknya, gue punya firasat dia kayak punya sindrom ketakutan yang berlebihan.
Gue harap dia punya trauma. Bagus, jadi gue bisa nakut-nakutin dia sampai pingsan.
"BUKA, CEPETAN!" Gue mulai beraksi, sengaja menghardiknya dengan intonasi nada yang berlebihan.
Lantas... mau tau apa yang terjadi?
Kenapa sih hari ini berbeda banget dari biasanya?
Gue berharap amukan gue bisa membuat Yana ketakutan sampai nangis, tetapi prediksi gue salah. Yang benar, saking kagetnya dia, dia refleks membuka kemasan obat itu hingga isinya mengalami gravitasi yang dramatis; awalnya terempas keluar ke atas seperti melayang terbang, sebelum berakhir menyedihkan di suatu tempat.
Tempat itu adalah kubangan parit.
Mulut gue melebar, nggak percaya dengan fakta ini.
"HEH, KENAPA LO BUANG?" tanya gue dengan nada yang lebih tepat disebut menuduh.
Yana sudah ketakutan, gue yakin mentalnya sudah sampai level breakdown. Dengan upaya yang hakiki, cewek itu berkata lirih, "Ma-maaf. S-saya am... ambil la-lagi."
"Kebetulan stok di UKS tinggal yang tadi." Dave menjawab kalem setelah menghela napas panjang, lantas beralih ke gue yang masih terbengong-bengong.
Wajah gue masih ganteng kok, tenang aja.
"Beruntung bekal Yana tadi cuma minyak wijen, jadi cuma gatel biasa aja. Gue yang belikan aja ya pas pulang sekolah nanti?" Dave lanjut menawarkan.
Fix, gue jadi curiga. Kayaknya kesialan gue berawal dari cewek berkepang satu ini. Mulai dari makan bekalnya sampai terkena alergi, sampai obat gue harus terbuang juga gegara dia.
Heh, Yana! Yang kena sial itu seharusnya elo, bukan gue loh ya!
"Lo yang beli, jangan bantah!" Sekali lagi, gue menuding Yana.
"I-iya."
"Kelas berapa lo?"
"Sekelas sama lo." Alih-alih Yana, Dave yang menjawab. Kali ini gue setuju karena gue rada malas sama orang yang jawabnya tersendat-sendat kayak BAB yang kurang lancar.
"Bagus. Lo ikut gue." Gue menyeringai jahat, lantas melepas tautan Dave yang masih membelenggu tangan Yana untuk beralih peran.
Gue menarik tangan Yana semerdekanya tanpa izin. Sebenarnya gue rada risih bersentuhan kayak gini, tapi baiklah sekali ini aja gue ngasih toleransi. Lagian, gue nggak yakin dia bakal bisa mengimbangi langkah gue. Wong ngomongnya aja susah payah gitu.
Pertama-tama, gue bakal nunjukin kalo gue nggak akan kecipratan sialnya dia. Soal insiden tadi, gue yakin itu cuma kebetulan.
Buktinya, gue udah tau siapa Yana yang sebenarnya kan? Tanpa acara bekal dan alergi, gue nggak mungkin tau siapa dia.
Yana pasrah aja ditarik-tarik sementara Dave setia mengekor dari belakang. Ahhh... persetan sama cowok berprestasi itu. Sekarang fokus gue tertuju sama cewek ini.
Aiyana Maulana alias Yana. Bersiaplah menderita!
(1.307 words)
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top