5). Being Spilled
Pendapat Yana benar; Dave tidak membutuhkan bantuan untuk memapah Baskara ke UKS. Malahan, dia merasa jadi seperti pengiring yang membuntuti keduanya dari belakang.
Alih-alih protes, Yana menundukkan kepala selagi berjalan seolah-olah kebiasaan tersebut sudah menjadi default. Terdengar embusan napas lega di koridor yang sudah sepi hingga menciptakan gema, berhubung semua murid telah masuk ke kelas masing-masing.
"Yana--eh, kaget ya? Maaf." Dave buru-buru mengucap maaf sewaktu melihat ekspresi Yana. Cewek itu mengangkat kepala terlalu cepat, diiringi pelototan seakan-akan baru saja dihardik tanpa alasan.
Dave lantas menghentikan langkah dan menunggu. Rupanya, dia melakukan itu agar bisa berhadapan dengan Yana sementara Baskara yang bersandar sepenuhnya di pelukan saudara tirinya, lebih cocok disebut sedang tidur pulas daripada pingsan.
Yana tidak menyukai situasi ini. Jujur, dia lebih suka diabaikan daripada berhadapan dengan orang-orang. Siapa pun itu.
Termasuk Dave yang sudah lama dia kenal sejak SD.
Benar. Dave Anthony juga seperti Mira yang pernah eksis dalam masa lalunya. Itulah sebabnya, ada alasan khusus mengapa dia memilih untuk menyerahkan bekal ke Baskara ketimbang pada Dave.
Persepsi Yana berbeda. Entahlah, dia sendiri tidak mengerti padahal dia sadar sepenuhnya kalau Dave itu spesial.
Hanya Dave satu-satunya yang bisa mengalihkan rasa cemasnya dari keramaian. Setiap melihat cowok itu berjalan dari ujung koridor menuju kelas, seolah-olah ada karpet merah yang memberinya akses untuk melangkah dengan elegan, Yana tidak merasa keberatan berada di antara keramaian hanya untuk memperhatikannya.
Sama seperti para fans yang mengagumi dari jauh, Yana juga demikian, tetapi rasa ketakutan mulai timbul saat dia mendapat misi dari Mira untuk memasak dan menyerahkan bekal pada Dave.
Memasak bisa saja dilakukannya dengan sepenuh hati, tetapi berhadapan dan memberikan hasil masakannya pada Dave? Bagi Yana, itu sama saja dengan memaksanya berenang tanpa belajar terlebih dahulu.
Selain takut berhadapan dengan orang secara langsung, Yana juga khawatir kalau Dave mulai mengingat siapa dia yang sebenarnya.
Tidak. Jangan. Kalau bisa, Yana berharap Dave adalah orang terakhir yang mengetahui masa lalunya.
"Yana... lo nggak apa-apa, kan?" tanya Dave cemas, berusaha menjangkau Yana dengan salah satu tangannya yang bebas tetapi cewek itu menjauh dengan impulsif.
Perlu diketahui, jika Yana takut didekati, maka berkontak fisik adalah sesuatu yang mengerikan bagi cewek itu.
"S-saya... saya nggak apa-apa."
"Yakin kamu nggak apa-apa? Kamu baik-baik aja?"
Kepala Yana terangkat lagi. Kali ini bukan karena tersentuh atas perhatian kecil dari Dave, melainkan karena menyadari perubahan format panggilan Dave.
Plis... jangan bilang....
Yana tahu sekembalinya dia ke Jakarta tentu berisiko, yang mana ada kemungkinan dia dipertemukan kembali dengan beberapa teman yang pernah satu sekolah dengannya dulu.
Yana menelan salivanya dengan susah payah saat melihat ekspresi Dave. Sekarang dia sudah mengerti apa sebab cowok itu memberinya tatapan penuh arti dan senyuman di kelas barusan.
Dave sudah mengenalinya.
"Aiyana...."
"Saya bukan dia!" Lagi-lagi keputusan yang ceroboh karena Yana menjawab terlalu cepat.
"Benar, itu kamu. Aku mulai curiga sejak lihat Mira sering interaksi sama kamu. Wajah kamu juga nggak banyak berubah--"
"Saya bukan dia." Kali ini Yana menyorot dingin. "Saya bukan Aiyana."
"Yana, tentang alerginya Baskara... aku tau kamu udah ngerti alasan dia pingsan, kan? Kamu yang buat bekal itu, jadi kamu lebih dari tau makanan apa yang membuat Baskara kayak gini."
"K-kok bisa? Kenapa kamu bisa tau saya yang buat bekal itu?" Yana mendelik horor.
Plis... jangan bilang....
"Awalnya seperti aku bilang, aku mulai curiga waktu lihat Mira deketin kamu di saat dia nggak pernah sekali pun menunjukkan ketertarikan sama kamu sebelumnya. Lalu... semuanya terjadi gitu aja. Lama-lama aku paham kenapa kamu pake nama Yana, bukannya Aiyana Maulana.
"Tenang aja, Yana, walau aku sering dilibatkan sama Mira, aku nggak mungkin lukai kamu. Aku malah... mau minta tolong sama kamu," lanjut Dave, lagi-lagi dengan nada bicara yang dipercepat seolah-olah khawatir kalau Yana akan berbuat hal nekat. "Aku baru sadar, kamu sama Baskara itu sama."
Yana tidak menjawab. Lebih tepatnya terlihat sedang menguasai diri dan bertahan untuk tidak ambruk. Sejuta pertanyaan berseliweran dalam benaknya selagi dia berusaha menenangkan bibir yang gemetar dengan melipatnya ke dalam mulutnya.
Lantas ketika keduanya sedang dalam mode serius, tidak ada yang sadar kalau salah satu tangan Baskara mulai bergerak, menunjukkan tanda-tanda akan siuman. Pendengarannya tentu yang pertama berfungsi di saat dia berusaha membuka mata.
Seolah-olah telah direncanakan oleh semesta, posisi Baskara jadi menguntungkan karena tidak ada yang bisa melihat bola matanya bergerak selama beberapa detik sebelum kelopak matanya beralih peran untuk membuka secara perlahan.
"Sejak insiden waktu itu... kamu sama Baskara kayak bertukar jiwa. Karakter kalian jadi bertolak belakang. Makanya, aku udah rencanain buat pertemukan kalian lagi.
"Bekal itu... jujur, itu ide aku." Dave melanjutkan. Kejujuran itu rupanya sedikit banyak membantu sindrom kecemasan Yana untuk lebih tenang, tetapi ekspresinya kini berubah menjadi syok hingga mulutnya terbuka setengah. "Habis Baskara bangun, dia pasti bakal nyari perhitungan dan aku udah pastiin kalo kamu yang bakal jadi targetnya dia.
"Enam tahun lalu... walau nggak bisa diulang lagi, setidaknya aku berharap bisa memperbaiki semuanya. Aku sadar ini nggak bakal sempurna, tapi aku udah janji sama diri aku sendiri untuk sembuhin inner child kalian.
"Tau inner child?" Dave lanjut bertanya, seolah-olah mengerti kalau Yana bukan sengaja tidak mau bersuara, tetapi dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Di sisi lain, dia memang masih syok atas apa yang sudah direncanakan Dave di saat identitasnya telah terungkap.
Dave tersenyum, lagi-lagi memahami kalau cewek yang masih mematung di hadapannya tidak akan merespons. "Aku pernah baca di artikel tentang kesehatan mental. Katanya, inner child itu sisi kepribadian seseorang yang terbentuk dari pengalaman masa kecil. Dari kata child, bisa diartikan sebagai sosok anak kecil masih melekat dalam diri kita yang akan terbawa sampai dewasa.
"Soal insiden enam tahun lalu... kamu dan Baskara sama-sama punya luka inner child yang belum terselesaikan sampai sekarang." Kalimat terakhir Dave sengaja disampaikan dengan perlahan, meski sepasang matanya menatap tajam ke arah Yana seolah-olah ingin menunjukkan sebesar apa keyakinannya pada hipotesa yang dia utarakan.
Baskara tahu dia tidak bisa selamanya tetap dalam keadaan pingsan. Lagi pula, dia juga merasa risih jika harus terus-terusan berada dalam posisi dipeluk oleh Dave yang notabenenya sejenis.
Oleh karenanya, cowok itu berpura-pura baru sadar meski itu semua dilakukannya dengan setengah hati hingga kesannya tidak alamiah. Baskara hanya merenggangkan lengan ke atas sementara duo Dave dan Yana menatapnya kaget.
"Ngomongin apa, sih? Serius amat." Baskara menggaruk wajahnya yang sudah memerah. Gara-gara alergi, parasnya kini sudah tidak semulus biasanya karena didominasi oleh bintik-bintik merah.
Yana jadi teringat akan sepotong masa lalunya saat melihat Baskara yang bersemangat menggaruk pipinya, tetapi segera mengeluh ketika merasakan perih pada kulitnya.
"Sial. Padahal udah lama gue nggak kena alergi. Oh iya, ini semua gara-gara lo!" omel Baskara, menuding ke arah Yana tetapi tidak lama karena dia menggunakannya untuk menggaruk lehernya yang ikut memerah.
"Gue ambilin obat, ya. Lo tunggu di sini aja." Dave menawarkan dan dia segera berlalu sampai berlari kecil untuk menjangkau Ruang UKS, meninggalkan Baskara dan Yana yang masih saja belum bersuara.
Keduanya bungkam, tetapi masing-masing manik mata mereka saling bertautan, lantas terkunci dalam waktu yang lama.
Mereka bisa saja diam seribu bahasa, tetapi pikiran mereka kusut layaknya benang yang dikumpulkan secara sembarangan. Mereka seolah-olah saling berbagi telepati, meski semuanya itu tidak akan mungkin tersampaikan.
Ternyata lo... Aiyana Maulana.
Ah iya, kamu Baskara yang itu. Si kacamata tebal berambut mangkok.
Gue nggak akan lupa sama apa yang lo lakuin ke gue.
Apa kamu benar-benar berubah karena aku?
Lo kira, gue akan melunak sama lo setelah enam tahun terlewat? NGGAK!
Aku hanya minta satu hal... aku mau hidup tenang. Apa bisa?
Kita lihat aja, hidup lo akan lebih menderita dari ini. Bagus juga gue makan umpannya Dave. Inner child? Gue baik-baik aja, kok. Gue cuma mau menagih pembayaran atas apa yang lo lakuin ke gue.
Aku bukan diriku yg dulu lagi. Aku nggak pernah tidur tenang sejak saat itu. Hidupku udah hancur sebelum aku sadar. Aku hanya berharap bisa hidup lebih tenang setelah ini. Plis, biarkan aku melalui semua ini tanpa hambatan. Biarkan aku menebus kesalahan secara diam-diam.
Gue nggak akan lepasin lo. Camkan itu!
(1.341 words)
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top