4). Mysterious Yana
Ditilik dari cara berjalannya usai menyerahkan tas bekal pada Baskara Anthony, kentara sekali bagaimana cewek berkepang itu berusaha menutupi parasnya dengan menundukkan kepala sedalam yang bisa ia lakukan.
Ekspresinya muram, seolah-olah tidak ada yang diinginkannya selain menghilang dari bumi. Mungkin di antara murid yang berlalu-lalang di sepanjang koridor menuju kelas, hanya dia satu-satunya yang menunjukkan ketidaktertarikan pada keramaian. Bahkan saking tertutupnya, dia rela memutari lapangan basket di mana sinar matahari sedang terik-teriknya.
Peluh mulai bercucuran dari keningnya selagi melangkah, tetapi cewek yang bernama Yana tidak merasa keberatan. Baginya bagus, sebab dia tidak perlu berinteraksi langsung dengan siapa pun.
Termasuk berkontak mata.
Ya, kelihatan sekali bagaimana pasifnya Yana seolah-olah dia menderita gangguan kecemasan sosial.
Bisa jadi asumsi tersebut benar karena matanya membelalak ketakutan saat ujung sepatunya berhadapan dengan sepasang sepatu lain.
Jelas, pemilik sepatu yang mengilap itu sedang menunggunya.
Penampilan mereka sangat kontras. Jangankan dari segi penampilan, sepatu mereka saja sudah menunjukkan kasta masing-masing.
Tentu saja, cewek itu--yang name tag-nya terbordir nama Mira Lesmana--mewakili kasta 'langit' dan Yana adalah 'tanah'-nya.
Mira mempunyai dua kualifikasi utama untuk menjadi selebriti bahkan model asal dia mau; lekuk tubuh yang proporsional dan tinggi. Parasnya juga di atas rata-rata, sehingga tidak heran banyak yang percaya pada rumor kalau Dave yang sempurna tergila-gila padanya. Bibirnya dipoles lip tint dengan warna girly dan ada sapuan make up di wajah. Meskipun demikian, jatuhnya jadi alamiah alih-alih menor.
Yana lain lagi. Dia mungkin termasuk segelintir cewek yang tidak pernah tahu cara berdandan. Rambutnya dikepang asal dengan karet warna-warni, kesannya jadi seperti anak yang baru dilepas dari home schooling dan mencoba beradaptasi di sekolah baru. Ukuran seragamnya terlihat terlalu besar untuknya, bahkan panjang roknya melewati batas lutut.
Teknisnya, Yana lebih cocok menjadi murid di tahun pertama sekolah padahal dia juga seangkatan dengan Mira-Baskara-Dave; sama-sama di tahun terakhir SMA.
"Udah kasih ke Dave, kan?" tanya Mira dengan nada rendah pada Yana, sementara matanya berseliweran ke sana kemari untuk berjaga-jaga kalau ada penguping di antara mereka. "Dia bilang apa?"
Yana masih bungkam. Sepasang bahunya tampak gemetar dan sepertinya tidak ada yang ingin dia lakukan selain berubah menjadi bunglon agar eksistensinya tak lagi terlihat.
"Yana, kalo ditanya jawab dong!" desis Mira dengan ekspresi kesal, tetapi guratan di alisnya raib saat irisnya menangkap sosok Pak Yunus di belakang. Senyumannya terbit dalam waktu kurang dari sedetik selagi menyapa, "Pagi, Pak!"
"Pagi, Mira. Nggak terasa ya udah di tahun terakhir SMA. Kelas berapa, Mir? Mana tau Bapak yang jadi wali kelasmu, muehehehe...."
"XII IPA-3, Pak."
"Sekelas lagi sama Dave Anthony, dong. Wah-wah-wah, couple goals banget. Ditunggu pengumuman jadiannya, ya."
"Hehehe.... Trus Bapak gimana? Jadi wali kelas berapa, Pak?" tanya Mira. Obrolannya dengan Yana lantas terabaikan, tetapi cewek mungil itu masih bertahan pada posisinya berdiri seakan telah dipaku di tempat.
"XII IPA-4. Ck, jadi males. Ada si biang onar."
"Baskara, maksud Bapak? Nanti saya kasih tau biar nggak terlalu nakal ya, Pak?" hibur Mira dengan senyum manisnya.
"Kamu murid idaman sekali. Nggak apa-apa, Mir, Bapak udah terbiasa berhadapan sama troublemaker sekolah. Terakhir yang melegenda--duo laknat Gara Arganta sama Vico Anderson--bisa Bapak hadapi. Tahun ini biangnya cuma satu, kecilll mahhh...." Pak Yunus menjentikkan jemarinya sebagai isyarat sesimpel apa seorang Baskara Anthony di mata beliau. "Jadi keinget juga sama Virga Aditya, yang jago menyeletuk di kelas kayak burung pelatuk."
"Woah... kayaknya Bapak khusus menangani kelas yang nakalnya melegenda, ya."
"Woya jelas, tapi Bapak beruntung karena selalu aja ada yang bantuin jadi nggak parah-parah amatlah. Nanti kita lihat deh siapa penolong Bapak untuk Baskara ini. Ya sudah... kamu lagi ngomong sama temen, kan? Lanjutkan saja. Bapak duluan, ya?"
"Eh, iya. Sampai ketemu lagi ya, Pak Yunus."
"Iya, Mira Lesmana. See you when I see you." Pak Yunus memaksimalkan senyuman hingga menerbitkan sepasang lesung di pipi sebelum meneruskan langkah di area koridor.
"Oke, balik ke topik kita." Mira membalikkan tubuh sementara Pak Yunus sudah berbelok ke jurusan lain. Cewek itu menyorot Yana seperti sensor hidup, tetapi sayangnya yang ditatap lebih suka menatap sepatunya. "Lo belum jawab pertanyaan gue.
"Heh! Gue nggak suka diabaikan loh ya, asal lo tau aja." Mira melanjutkan dengan nada berbahaya, berhasil membuat Yana tersentak kaget.
"Hmm... s-saya ngasih ke... ke Bas-bas...."
"Bas-bis-bus-bes-bos! Lo nggak lagi belajar pelafalan kata, kan?" sindir Mira. "Ngomong yang jelas, dong!"
Terdengar helaan napas panjang Yana. Kentara sekali bagaimana sulitnya dia merangkai kalimat hanya untuk sebuah penjelasan. "Sa-saya... ngasihnya ke... hmm... Baskara...."
"Hah?" Mira tercengang sampai mulutnya terbuka lebar meski visualnya masih tak terbantahkan. Namanya juga cantik, bagaimanapun tetap saja cantik. "Ngasihnya ke Baskara? Sejak kapan lo nggak bisa bedain yang mana Dave sama Baskara? Nama belakang mereka mungkin sama, tapi mereka bukan kembar loh!"
"S-saya...."
"Keburu bel kalo nunggu lo selesai jelasin. Ck, nyesel gue. Kenapa gue minta tolongnya ke elo, ya? Tau gini mendingan gue delivery aja, kali!
"Heh! Denger ya, Yana! Bukan berarti lo bisa pura-pura bego! Sampai kapan pun, lo itu..." Mira sengaja menggantung kata-kata dan beringsut mendekat untuk berbisik ke telinga Yana, "... tetap Aiyana Maulana yang sangat gue ketahui masa lalunya dengan baik. Jadi kalo lo nggak mau jadi bulan-bulanan anak-anak SMA Berdikari, lo harus menuruti kata-kata gue! Ngerti nggak, lo?"
Sepertinya ancaman Mira benar-benar berdampak serius pada Yana karena matanya kini membelalak ngeri. Dia juga mengangguk-anggukkan kepala dengan terlalu cepat, kesannya jadi seperti robot rusak.
Terlihat menyedihkan, tetapi menjadi semacam penghiburan bagi Mira karena cewek itu melebarkan senyumannya.
"Bagus. Sekarang ayo balik ke kelas. Lo sekelas sama Baskara rupanya, gue udah bantu cek nama lo di mading."
*****
Yana tahu dia tidak mempunyai pilihan selain menuruti kata-kata Mira, tetapi di sisi lain dia juga cemas.
Rasa cemasnya berbeda dari yang lain--dia tahu itu. Bagaimana tidak? Dia sudah divonis mengidap gangguan kecemasan sosial sejak beberapa tahun terakhir ini.
Yana berkali-kali mengecek name tag yang tersemat di seragamnya dan di saat yang sama pula terdengar desahan lega.
Yana. Simpel, padat, tetapi tidak jelas bagi orang-orang yang mengenalnya dengan nama itu karena berbeda dari teman-temannya yang lain, hanya dia sendiri yang tidak mempunyai nama belakang.
Tidak. Sampai kapan pun, dia terlalu takut untuk menyebut nama aslinya.
Jika ibu peri nyata di dunia, Yana ingin sekali mengajukan permohonan sederhana. Tidak perlu permintaan yang muluk-muluk seperti kekayaan atau semacamnya. Juga, tidak perlu sampai tiga permohonan. Cewek itu hanya menginginkan satu hal. Cukup satu hal.
Yana ingin hidup tenang.
Mirisnya, cewek itu sadar kalau sampai kapan pun, dia tidak akan mempunyai kesempatan itu.
BRUK!
"Baskara!"
Yana ikut mengalihkan atensinya bersama semua murid di kelas. Entahlah, padahal biasanya dia tidak pernah perhatian pada kehebohan seperti ini.
Apakah karena dia mendengar suara Dave memanggil nama Baskara? Apakah karena dia melihat Baskara jatuh pingsan? Atau... apakah karena dia menyadari esensi terpenting dari semua itu?
Sepertinya yang ketiga karena cewek itu mengingat sesuatu selagi melihat wadah bekal miliknya yang tergeletak di dekat tas Baskara.
Jika asumsinya benar, Baskara yang menghabiskan makanan di bekal tersebut.
Itu berarti....
"Baskara kenapa?"
"Kok bisa pingsan?"
"Dave, lo tau nggak dia kenapa?"
"Dave, perlu gue bantuin nggak?"
"Kayak sinetron azab di TV bukan, sih?"
"Heh! Kalo Baskara bangun, mampus lo!"
"Eh, bukan gitu maksud gue."
"Serius, sih. Lo bener. Kebanyakan budak kayaknya."
"Astaga! Gue juga punya, sih. Bakal kena azab nggak ya, gue ini?"
"Hah? Emang ada?"
"Ada, dong. Budak cinta. Budak juga, kan?"
"Ck."
"Eh-eh-eh... Dave, jadi lo bawa ke UKS, nih? Gue bantu, ya?"
"Ya ampun, gue juga mau pingsan biar bisa dipapah sama Dave juga."
"Hayuk! Pingsan barengan, ya? Satu, dua--"
"Ada apa ini?" tanya Pak Yunus selagi melangkah ke tengah kelas. "Kenapa kamu di sini, Dave?"
"Baskara pingsan, Pak. Saya yakin karena alergi makanan...."
Yana memutar lehernya ke belakang terlalu cepat. Keputusan yang tidak bijak karena kepala Dave otomatis terarah padanya dan mereka saling pandang selama beberapa saat.
Cewek itu hendak membuang muka, tetapi urung dia lakukan saat melihat senyuman penuh makna dari Dave.
Kemudian, matanya refleks membelalak ke ukuran maksimal saat mendengar kelanjutan kata-kata Dave.
"Saya minta tolong Yana temani saya papah Baskara ke UKS ya, Pak?" Dave meminta izin pada Pak Yunus.
"Boleh. Yang lain harap tenang, semuanya kembali ke bangku masing-masing. Dave, kalo urgent banget, kamu bisa langsung ke ruang Kepala Sekolah, ya. Kebetulan ruangannya deket sama UKS."
"Iya, Pak." Dave merangkul sebelah lengan Baskara ke sekeliling lehernya, lantas memapah cowok itu dari samping.
Menurut Yana, seharusnya Dave lebih dari mampu untuk mengantar Baskara ke UKS seorang diri. Lantas, mengapa cowok itu melibatkan dirinya?
"Yuk, Yana." Tatapan penuh arti masih bersarang di sepasang netra milik Dave.
Sekarang pertanyaannya; apakah Yana mempunyai pilihan lain?
(1449 words)
Bersambung
Pak Yunus (cameo) adalah guru di SMA Berdikari khusus angkatan kelas tiga. Disebut sebagai guru favorit sekaligus killer karena bisa diajak bercanda dan serius pada saat bersamaan. Temukan cameo ini di cerita The Pretty You dan I'm Down For You.
Vico Anderson dan Gara Arganta. Duo laknat biang keributan di kelasnya Pak Yunus. Baca kebobrokan mereka di The Pretty You. Dijamin kamu bakal bengek karena didominasi genre komedi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top