2). Bento
Peringatan ⚠️
Part ini tersirat makna mengintimidasi. Mohon maaf jika ada kata-kata Baskara yang tidak mengenakkan hati. Berhubung menggunakan sudut pandang pertama, jadi pasti akan ada ucapan yang subjektif.
Mohon bijak dalam membaca 🙏.
Sebagai pengulangan informasi, sudah saya sertakan peringatan ini di bagian deskripsi cerita.
Terima kasih atas perhatiannya.
Happy reading ❤️
*****
'Kesan pertama selalu menjadi tolok ukur seseorang dalam menilai.'
Ada yang salah dengan pernyataan itu? Oh, tentu tidak. Gue juga setuju meski penampilan gue selalu berhasil membuat orang dewasa mana pun mengelus dada.
Lihat saja. Pak Yunus sampai menunjukkan ekspresi masam ke arah gue, kayak sepet-sepet habis makan salak mentah gitu, loh.
Nggak cuma beliau yang berekspresi demikian. Mostly, tanpa kata, kesan pertama akan tergambar jelas dari mimik wajah orang-orang. Siapa pun itu.
Berpenampilan menarik, beretiket baik, serta berprestasi adalah tiga hal yang harus dipenuhi jika ingin mendapat kesan baik di mata orang. Sekali pandang, lo bakal tahu apakah lo bakal 'diterima' apa nggak.
Itulah sebabnya mengapa gue nggak pernah respek sama orang karena semua manusia itu sama; selalu mengambil kesimpulan tanpa menyelami sifat orang terlebih dahulu.
Gue pernah ngakak sampai mengalami kram perut pas SMP. Waktu itu, Bendahara Kelas--sebut saja A karena gue lupa namanya--teriak absurd trus tiba-tiba nangis. Setelah ditanya dengan susah payah, akhirnya dia ngaku kalau dana kas hilang.
Seisi kelas yang awalnya anteng, spontan langsung ribut. Saat itu sedang jam pergantian kelas dan guru berikutnya belum masuk. Semua pada panik. Selain jumlah kas yang udah menyentuh jutaan (belum sampai dua digit kok, tenang aja), dana tersebut harus segera diserahkan pada Wali Kelas.
So, bisa dibayangkan seberapa paniknya, 'kan? Emang iya, ada yang mau talangin duit sebesar itu?
Yahhh... walau sebenarnya gue punya unlimited card yang bisa langsung gesek tanpa khawatir habis, tetap saja... gue nggak merasa penting hingga mau capek-capek membantu.
Yang ada... gue malah dituduh sebagai pelaku yang mencuri dana kas.
Lucu, nggak? Bikin ngakak, nggak? Nggak? B aja? Kalau nggak, ya udah. Gue, kan, cuman nanya.
Oke, balik lagi ke pemikiran gue. Jujur, saat itu gue merasa konyol bin aneh. Begitulah manusia, nggak pernah berpikir dulu sebelum menuduh. Selalu sesenang itu mengambinghitamkan oknum tertentu.
Gue akui sedari awal masuk SMP, gue udah jago memberi perintah dan menggertak selayaknya seorang bullier. Walau belum se-pro sekarang, tapi dulu gue udah jadi biang nakal di sekolah.
But... being a thief for some money? Hei, are you kidding me? Dengan kehidupan gue yang berke-lebih-an, menurut lo?
Tapi ya sudahlah, ya. Gue ikutin aja kemauan mereka. Toh nggak ada gunanya kalau gue menyangkal, 'kan? Percayalah, sekalinya lo membela diri, semuanya tetap berakhir sia-sia. Lebih tepatnya... siapa, sih, yang bisa mengalahkan argumen orang-orang yang udah teracuni otaknya dengan persepsi yang telanjur tercemar sejak awal?
Sekalinya kesan lo jelek di mata orang, lo akan terus-terusan di-judge semerdekanya.
Begitulah gue di mata mereka. Lantas, gue dipaksa mengeluarkan isi tas, termasuk membuka loker. Berhubung bukan gue pelakunya, ya... gue pede-pede aja menuruti semua keinginan itu.
"Baskara, lo sembunyiin uangnya, 'kan? Mending lo ngaku sebelum Pak Harto masuk, jadi hukuman lo nggak perlu ditambah."
Udah gue bilang, 'kan? Jangankan membela diri, tanpa kepastian bukti aja, gue udah fix dituduh sebagai pelakunya.
Sesuai dugaan dan pengalaman yang sudah-sudah; First impression is everything for human.
Apakah pelaku selalu merujuk pada oknum nakal seperti gue? Apakah harus gue yang menjadi satu-satunya tersangka, hanya karena gaya hidup gue yang bebas dan tidak taat aturan?
Seharusnya tidak. Bagaimana dengan pemeran film antagonis yang bersembunyi di balik wajah innocent?
Gue nggak bisa menahan tawa ketika akhirnya terungkap siapa pelakunya. Tepatnya, ternyata si A yang lalai menyimpan uang tersebut. Tahu-tahu dana yang dia masukkan ke dalam amplop, tidak sengaja diselipkan ke halaman buku paket.
Apa layak disebut tidak sengaja? Gue juga nggak tahu. Yang pasti, semua yang sempat menuduh gue tahu-tahu mendekat dan mengatai si A habis-habisan.
"Sebenarnya gue sempat curiga, cuma gue pikir... masa iya?"
"Ih, gue jadi parno deh. Gimana, ya, kalo dia sebenarnya sengaja biar kita ngeluarin duit lagi? Lo nggak lihat ekspresi dia?"
"Iya, sih. Dia kayak kaget kalo uangnya ternyata ada di dalem buku paket. Kayak gimana, ya... ahhh, gue nggak tau deh jelasinnya gimana."
"Bisa aja, ya, pake cara ginian? Dana kas kita lumayan loh untuk ukuran anak SMP, udah masuk golongan juta, tau!"
"Makanya gue panik banget waktu denger dana sebanyak itu hilang! Nggak lucu, kan, kalo satu kelas dihukum semua gegara masalah ini?"
See? Semua jadi auto kelar. Bahkan tanpa perlu minta maaf, lo bisa bersikap seolah-olah nggak ada yang terjadi padahal beberapa menit yang lalu, lo sempat menuduh orang yang tak bersalah.
Perlakuan menghakimi, menuduh, bahkan memandang sebelah mata sudah sangat sangat sangat gampang untuk dilakukan.
Jangankan di dunia sekolah, dalam dunia maya saja sudah bukan kasus baru lagi. Tanpa harus bertatap muka dan mengenal korban yang dikambinghitamkan, siapa saja bisa menghakimi dan menjatuhkan.
Manusia memang serendah itu. Itulah sebabnya, gue nggak pernah mempunyai teman. Alih-alih teman, gue lebih suka mengoleksi beberapa pesuruh.
Pesuruh--orang yang gue suruh-suruh. Bener, kan?
Tenang aja, gue nggak pernah lakuin physical bullying, kok. Palingan selama ini... verbal doang.
Nggak ada yang tahu gue aslinya seperti apa. Selama ini mereka kira gue benar-benar preman yang sebelas dua belas kayak mafia sampai punya geng motor sendiri. Selama ini mereka kira ke-berandal-an gue nggak ada bedanya macam psikopat yang bakal ngamuk sampai level nggak wajar kalau dibantah. Selama ini mereka kira gue mirip-mirip rentenir kelas kakap yang nggak akan membiarkan mereka hidup tenang kalau berani memberontak.
Lagi-lagi seperti yang gue bilang, kan? Nggak ada yang bisa mengalahkan argumen orang-orang yang sudah teracuni otaknya dengan persepsi yang telanjur tercemar sedari awal.
Bisa dibilang, gue berhasil meracuni mereka dengan sangat baik.
Bangga? Tentu. Lagian, gue lebih suka dengan fakta demikian, jadi nggak bakal ada yang berani mendekat.
Seperti matahari, nggak ada yang berani mendekat. Lo hanya bisa memandang gue dari jauh selayaknya idola-idola Kpop yang lo kagumi.
Gue bisa rasain itu semua. Lihat saja, seumpama berjalan di atas karpet merah, yang mandangin gue pada terpukau sama gue. Gue memang seganteng itu. Ahhh... andai aja--
"Baskara."
"Hm?" Gue tersenyum lebar. Apa lagi kali ini? Mau ngasih gue cokelat? Surat cinta? Atau....
"Boleh minta tolong, nggak? Maaf, ya, kalo saya lancang." Cewek itu menundukkan kepala dengan khusyuk, seolah-olah gue adalah tetua.
Oh, ya. Dia pasti mau ngasih gue sesuatu karena di salah satu tangan yang sedang menjinjing totebag, gue bisa melihat ada wadah plastik berwarna cerah.
Kayak bento, gitu. Gue yakin dia mau ngasih gue makanan. Lumayan... gue, kan, belom sarapan.
Ih, tau aja kamu.
"Apa?" tanya gue galak. Sengaja, dong. Gue, kan, preman nggak berakhlak di mata mereka.
"Saya mau ngasih i-ini--" Tangannya lantas terangkat untuk menyerahkan tas itu ke gue, membuat seringai di bibir gue semakin tercetak dalam.
"Oh, ya? O-oke--"
"--ke Dave. Tolong saya kasihkan ke dia, ya?"
Berasa ada geledek yang bergemuruh secara dramatis di dalam dada, gue auto kesal.
YAEYALAH, KIRAIN KASIH KE GUE!
"Kasih aja sendiri!" respons gue kesal.
"Hmm... saya nggak berani. S-saya...."
"Oh, jadi lo beraninya ke gue?" Dipikir-pikir, gue baru nyadar. Selama ini nggak pernah ada yang jadiin gue perantara buat sampaikan ke Dave. Trus, apa-apaan cewek ini?
Gue mulai memperhatikan wujudnya. Nggak buruk; dia punya wajah cantik--lebih ke imut sebenarnya karena mempunyai postur tubuh yang pendek. Hmm... masih tinggian Mira, lah. Apalagi, rambutnya dikucir dua trus dikepang gitu. Mungkin itu ciri khas dia soalnya udah lama gue nggak lihat gaya rambut cewek yang begituan lagi sejak zaman SD. Rata-rata cewek sekarang sukanya menggerai rambut atau ikat ekor kuda saat olahraga.
"Bu-bukan gitu, soalnya saya nggak tau lagi mesti kasih ke siapa. Maaf, ya, udah repotin kamu."
Lantas tanpa mengatakan apa-apa lagi, cewek itu mengambil sebelah tangan gue untuk mengaitkan totebag tersebut sebelum menjauh.
Cewek yang aneh. Ahhh, tapi... berhubung dia memaksa ngasih ini ke gue....
Yesss! Gue dapet sarapan gratis! Persetan ngasih ke Dave. Orang dia nyerahin ke gue, pakai paksa lagi!
Rezeki nggak boleh ditolak! Dosa, tau!
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top