13). Let's Forgive Her
"Kalo dia baik-baik aja, trus kenapa pada buli Yana?" Gue mengajukan protes. Nada gue terdengar kayak melampiaskan gitu sih, tapi masa bodoh deh.
Juga, persetan sama puluhan pasang mata yang kepo di antara kami. Gue jadi penasaran apa tujuan cewek yang bernama Coral--eh, Carol ini.
Susah amat sih nyebut namanya? Heran gue, zaman now seneng banget kasih nama yang rumit-rumit.
"Karena dia dendam sama Yana. Gue nggak tau apa permasalahannya waktu dulu, tapi yang pasti setelah semua denger ceritanya, mereka jadi ke-trigger trus diam-diam ada oknum tertentu yang ikutan balas dendam." Berbeda jauh sama gue, Dave menjelaskan semua itu dengan kesabaran yang patut diacungkan jempol.
Kalau gue di posisi Dave, mungkin udah gue labrak satu-satu. Gue serius karena netra gue otomatis bereksplorasi ke semua yang jadi penonton di kelas, menyensor mereka satu per satu.
Kebanyakan pada segan sama gue, bahkan sampai ada yang gemetar hebat. Wajar sih, predikat gue kan preman sekolah yang paling disegani.
"Siapa pelakunya? Apa lo pelakunya?" Tatapan galak gue berakhir ke siswa paling kalem di kelas--Gio.
Agak tega sih gue, karena yang dihardik auto tergugu-gugu hingga tremor dadakan.
"Bu-bu-bu-bu... bu-bu-bu-bu-kan...."
Modelan macam dia mah nggak mungkin jadi pelakunya, tapi kayak ada rasa kepuasan tersendiri kalau ngelihat ada mental yang auto breakdance gegara hardikan gue.
"Jangan asal nuduh, Bas." Dave memperingatkan.
"Awas aja kalo ada yang berani-berani lakuin kayak gini lagi..." Gue misuh-misuh. Tak tanggung-tanggung, gue menunjukkan isyarat yang biasa dilakukan psikopat kalau mau ngasih ancaman; melayangkan kedua tangan di udara seolah-olah memegang sesuatu, lalu mematahkannya menjadi dua. "... gue patahin anunya."
"Patahin apa?" tanya sebuah suara lantang selagi kerumunan otomatis terbelah secara alamiah, membuka jalan bagi sumber suara. "Anunya siapa yang mau dipatahin?"
Pak Yunus rupanya. Gue baru ngeh bel masuk udah berdering sejak tadi. Trus sejauh yang gue perhatiin dari ekspresi teman-teman yang lain, mereka juga kayak baru nyadar kalau waktu sudah menunjukkan pukul tujuh.
Bagus juga udah waktunya bel, jadi yang pada julid sampai mata hampir bintitan bisa diminimalisir karena harus kembali ke kelas.
"Tau tuh, Pak. Tanyain aja siapa pelaku yang udah ngebuli Yana, biar saya bisa patahin anunya." Gue menjelaskan selagi Pak Yunus masuk lebih dalam dan berhenti di meja khusus guru.
"Bukannya kamu ngebuli Yana juga?" Pak Yunus malah balik bertanya ke gue. "Jangan sangka Bapak nggak tau. Kalo pelakunya kamu, Bapak lebih percaya. Sini, mau Bapak patahin anu kamu, tidak?"
Ini kenapa bahas anunya jadi keterusan, sih? Ck.
Pak Yunus memang mempunyai caranya sendiri untuk menghadapi perkara ke-tidaklaknat-an muridnya, sampai-sampai yang bersangkutan nggak bisa berkutik. Kalau yang ini, gue memang setuju meski lebih seringnya beliau kewalahan sama gue.
"Saya baru check-out dari rumah sakit, Pak Yunus." Gue menjelaskan dengan kesabaran walau ekspresi gue nggak sinkron. "Jadi pelakunya udah pasti bukan saya."
"Kembali lagi ke topik 'jangan asal nuduh', kan? Maka kesimpulannya, jangan sembarangan mau patahin anu sebelum ada bukti."
Anjir, malah disindir balik.
Ck.
"Oke, ini juga berlaku buat kalian semua, jadi dengerin. Siapa pun pelakunya, Bapak akan ngasih hukuman yang setimpal. Kalian tau sendiri kalau pembulian antar sesama murid nggak pernah diizinkan di sekolah," jelas Pak Yunus sembari menyoroti semua anak didiknya, termasuk mereka yang berada di sepanjang koridor untuk menyaksikan apa yang terjadi di dalam kelas. Ekspresi jenakanya jadi raib. Tentu, beliau sedang dalam mode serius. "Karena kita belum nemuin pelakunya, ayo bantuin Yana buat bersihin sampahnya. Sesama temen harus saling membantu, ya.
"Ck, seperti biasa Bapak memang bijak." Kembali lagi ke mode jenaka, Pak Yunus melanjutkan kata-katanya sembari tersenyum lebar. Nggak heran mayoritas pada memutar mata dengan jengah, termasuk gue.
Terserah lo deh, Pak. Terserah.
Meski pada lakuin dengan setengah hati, tetap aja mereka nggak punya pilihan selain menuruti kata-kata Pak Yunus. Gue yakin, beberapa di antara mereka pastilah ikut andil dalam konspirasi mengerjai Aiyana.
Gue harus nemuin sumbernya. Itulah sebabnya, ibarat pendemo yang mengajukan petisi, gue berunjuk rasa ke Pak Yunus. "Pak, Bapak udah denger kan soal saya nggak sengaja dorong Co--eh Carol di tangga?"
"Iya, semua yang berwewenang udah sepakat kalo kamu nggak sengaja. Kepala Sekolah juga udah nerima hasil analisa dari dokter. Soal korban--Carol, untungnya nggak ada komplikasi dari benturan di kepalanya, jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Pak, saya denger dulu Yana suka buli teman-temannya di sekolah." Tiba-tiba ada yang menyeletuk dari depan bangku, mengalahkan aksi lanjutan gue.
Padahal gue lagi gencar-gencarnya mancing Pak Yunus.
"Kata Carol, nama aslinya Aiyana Maulana. Kenapa identitasnya disembunyikan, Pak?"
"Iya nih. Kalo nama belakangnya Maulana, berarti anak dari pengusaha populer yang di-PHK itu kan, Pak? Saya langsung familier waktu denger nama Maulana," lanjut teman di sebelahnya.
"Ah iya, udah agak lama kan? Sempat viral itu. Bapak pasti tau, kan?"
"Denger-denger Carol salah satu korban bulinya, Pak. Dia ngaku sendiri kemaren."
"Saya satu SMP sama dia, Pak. Baskara juga, kan?"
"Hah? Masa? Aku baru tau, loh."
"Baskara, kamu yang dulu itu kan? Yang pake kacamata? Waktu tau Yana itu si Aiyana yang dulu itu, aku langsung inget sama kamu. Dulu kalian deket, kan?"
Tunggu. Kenapa jadi begini, sih?
"Tunggu dulu, Anak-anak. Dengerin Bapak--"
Gue udah nggak bisa denger lagi siapa saja yang ngomong karena semuanya pada bersahut-sahutan sampai kelas jadi heboh.
Pak Yunus sampai kewalahan. Gue sempat bayangin, untung aje ye aksi ribut ini nggak diperparah oleh murid dari kelas lain. Andaikan bel masuk belum berdering, mungkin saja gempanya udah mencapai gedung baru di sebelah Barat.
Pak Yunus menggebrak meja untuk menenangkan anak didiknya. Bisa dibilang, tindakan beliau berhasil karena keributan seketika mereda.
Kalau kata gue, semuanya pada kicep sekaligus pada pasang muka sepet--itu loh, mirip jeruk purut yang dijual di pasar.
Gue auto beralih fokus ke Aiyana yang sedari tadi terpekur di bangku sebelah. Kasihan dia, gue jadi iba.
Keberanian Yana seolah-olah sudah raib entah ke mana. Kalau dulu pembawaannya tuh kayak lagu nasional berjudul Maju Tak Gentar--bedanya dia nggak pernah membela yang benar. Yang ada, dia membela diri sendiri untuk menang.
Namanya juga preman rasa bocah.
Ya iyalah. Aiyana yang dulu kan masih bocah. Kalo gue yang sekarang, lebih cocok disebut sebagai preman rasa gebetan.
Oke, bagian gue skip dulu. Gue tahu gue ganteng, gue cuma susah menahan diri kalau topiknya tentang memuji diri sendiri.
Intinya, Aiyana yang sekarang benar-benar terbalik dengan Aiyana yang dulu. Dia yang sekarang benar-benar anti sosial dan kayaknya lebih parah dari mereka yang umumnya mempunyai sifat introver.
Lihat aja, Aiyana terlihat gemetaran lagi.
Untung saja Pak Yunus bisa mengendalikan situasi dan tahu bagaimana cara menyikapinya.
Jujur aja, gue jadi respek banget sama bapak-bapak satu ini.
"Oke, berhubung sebagian besar udah pada tahu dan Bapak rasa nggak ada gunanya ditutup-tutupi lagi karena yang ada kalian akan semakin kepo, lantas bisa jadi... kalian malah salah sasaran atau memicu masalah lain yang mungkin lebih rumit. Bapak nggak mau hal itu terjadi, tapi karena ini masih jam pelajaran, Bapak bakal ceritain secara singkat. Sisanya? Bapak akan konsultasikan ke Pak Rio--Kepala Sekolah kita, supaya kasus ini diperjelas secara terbuka dan transparan agar tidak ada lagi yang seenaknya berasumsi atau bahkan mengambil kesimpulan yang salah.
"Oke, memang benar kalau Yana yang kalian kenal adalah Aiyana Maulana yang udah disepakati oleh pihak internal sekolah untuk dirahasiakan," lanjut Pak Yunus dengan tatapan serius sementara situasi sudah anteng sedari tadi, ikut-ikutan menyimak dengan serius. "Alasannya? Nggak ada orang yang bersih di dunia ini. Bahkan Bapak nggak bisa mengklaim kalo Bapak suci dan nggak pernah melakukan kesalahan. Nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini, lantas ketika ada teman yang mau berubah, apa hak kita untuk memaafkannya atau tidak? Semua orang berhak melepas karakter yang buruk dan belajar untuk berubah. Semua orang berhak mengoreksi kesalahan. Semua juga berhak dimaafkan."
Kesunyian bertahan cukup lama usai mendengar Pak Yunus memberikan wejangan. Yang dibilang beliau memang benar, yang lantas mendukung gue secara penuh untuk memaafkan Aiyana.
Gue bersyukur karena udah melakukannya duluan sebelum kata-kata bijak dari sang wali kelas.
(1.329 words)
Bersambung ke Epilog
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top