11). Admit and Treat

"... Situasi pasien mirip dengan gejala amnesia disosiatif. Bedanya, amnesia tipe disosiatif lebih menjurus ke gangguan mental. Sedangkan terkhusus kasus Baskara, mengingat usianya saat itu masih muda, terjadi secara alamiah. Itulah sebabnya pada beberapa kasus, situasi ini tidak ter-notice oleh yang lain.

"Kasus terberat biasanya terjadi pada sejumlah anak yang mengalami kekerasan seksual, yang mana memberikan pengaruh besar pada area amigdala--yang berfungsi untuk merekam pengalaman emosional--dan area hippocampus dalam otak. Hippocampus berfungsi untuk mengingat memori dalam jangka panjang. Asumsi saya, Baskara juga demikian. Jadi, ketika seorang anak mengingat memori yang terlalu emosional, bagian amigdala akan meningkat sementara hippocampus semakin mengecil. Alhasil, efek trauma tersebut menurunkan daya ingat dan seiring berjalannya waktu, pasien jadi lupa dengan hal-hal yang telah dia lalui...."

Aiyana bisa mendengar kata demi kata yang disampaikan oleh dokter, padahal posisinya berada di balik tembok.

Entahlah, apakah karena ruang dalam rumah sakit memang sesuram itu hingga bisa memantulkan suara? Aiyana tidak tahu, yang jelas menurutnya, rumah sakit identik dengan mereka yang akan berpulang.

Namanya rumah sakit, adalah tempat untuk memulihkan kesehatan atau bahasa lugasnya adalah berusaha memperpanjang hidup.

Jika usaha demi usaha gagal, maka berpulang adalah destinasi terakhir.

Aiyana tidak tahu berapa kali mengunjungi rumah sakit, entah untuk menjadi pembesuk atau dibesuk. Soal ditinggalkan, dia pernah merasakan bagaimana sakitnya ditinggalkan neneknya.

Lantas, soal meninggalkan? Berkali-kali Aiyana ingin cepat-cepat berpulang meski dia tahu sesakit apa perasaan yang ditinggalkan.

Pastinya pihak yang ditinggalkan adalah yang paling menderita karena harus merasakan kehilangan untuk selamanya.

Tidak ada yang bersifat permanen, Aiyana tahu itu. Namun, mengapa tingkat kecemasannya bertambah saat mendapati Baskara belum kunjung sadarkan diri?

Cewek itu merasa... dia belum siap jika Baskara sampai kenapa-kenapa. Bukannya ada perasaan khusus pada cowok itu--sejujurnya dia belum berpikir ke arah sana, melainkan dia merasa bersalah karena semua bermula dari dirinya.

Berawal dari sifat manjanya yang berlanjut ke dalam hidup Baskara, mempengaruhinya, lantas memperlakukan cowok itu dengan semena-mena. Bahkan perlakuannya lebih kejam daripada sikapnya pada korban buli lain.

Aiyana kemudian mengalihkan fokus ke Baskara yang masih berbaring di atas brankar. Selayaknya pasien lain yang membutuhkan cairan pengganti, ada tali infus yang tersemat di salah satu lengannya.

Baskara masih terpejam. Aktivitas tidurnya tampak tenang. Sama seperti terakhir kali, situasinya lebih cocok disebut sebagai tidur nyenyak, alih-alih pingsan. Jika saja tidak ada bunyi konstan yang terdengar dari monitor di dekat kepala ranjang, suasananya mungkin tidak akan ada bedanya dengan suasana di area kuburan.

Baskara tertidur, lebih tepatnya sedang bermimpi. Lagi-lagi, dia melihat banyak sekelebatan memori yang terlampau banyak, tetapi seperti yang sudah-sudah, dia sadar kalau itu semua adalah ingatan yang sudah dia lupakan selama enam tahun terakhir.

Ada keinginan yang terlampau besar untuk keluar dari zona yang menyesakkan karena pada saat bersamaan, ada sekumpulan rasa sakit yang seolah-olah tidak akan berakhir semudah yang dia inginkan untuk berhenti; kepalanya serasa ditancap oleh ribuan duri, mendorongnya lebih jauh ke dalam lautan memori. Akan tetapi di sisi lain, dia tahu kalau dia tidak mempunyai pilihan selain pasrah.

Jadi, seperti inilah rasanya mengingat kembali memori yang terlupakan atau lebih tepatnya, memaksakan mentalnya untuk mengingat kenangan itu.

Ibarat film yang dipercepat dan berhenti ke titik yang dikehendaki, dia bisa menyaksikan Baskara Febrian--si bocah berkacamata tebal dengan potongan rambut mangkok terbalik--sedang duduk culun di sebelah Aiyana Maulana, sang perkasa sekolah.

Keduanya tengah berada di halaman belakang sekolah. Tanpa tambahan keterangan atau subtitle pun, Baskara mengerti situasinya. Saat itu, hubungan mereka sudah layak dikategorikan sebagai teman yang bukan sekadar angin lalu, melainkan teman yang benar-benar teman.

"Nih." Aiyana menyodorkan totebag berisi bekal makanan.

"..."

"Kok diem? Tenang aja, nggak ada racun kok walau aku kepengen banget masukin ekor cecak. Muehehehe--elah! Takut beneran, kamu? Cemen banget, sih!"

Bekal tersebut akhirnya berhasil dipindahtangankan meski dalam mode yang super lambat karena gerakan Baskara yang super lamban.

"Hmm... Aiyana...."

"Apa?" tanya Aiyana tanpa menoleh karena sedang asyik menggesek-gesekkan rumput liar dengan sol sepatunya.

"I-ini... banyak banget ya kacangnya?" tanya Baskara balik dengan nada yang terlampau pelan hingga kesannya berbisik.

"Kenapa? Bagus dong banyak kacang. Denger-denger kacang impor, eh nggak tau juga sih. Pokoknya kacang ya kacang. Enak, kali!"

"Hmm... bu-bukan gitu...."

"Trus apa?"

"Sebenarnya aku... aku...."

"Apaaa? Ish, jadi cowok kok lembek banget, sih? Apa nggak malu sama aku yang pemberani ini?"

"Hng... aku se-sebenarnya nggak boleh makan kacang."

"Oh ya? Takut jerawatan? Kata Mama sih gitu kalo kacang itu bisa bikin jerawatan, makanya aku udah lama nggak makan kacang padahal demen banget."

"Alergi."

"Hah?"

"Aku... alergi. Bisa gatal-gatal sama susah napas."

"Oh, gitu ya? Kok bisa? Sejak kapan makan kacang bisa bikin orang mati?"

"Hng...."

"Lupain. Ngomong sama kamu itu susah kelar. Oke, aku bakal inget kamu nggak boleh makan kacang. Lumayan kan bisa ngancem kamu kalo suatu saat membantah?

"Oh ya, aku baru tau papa kamu kerja di kantor yang sama dengan papa aku. Kamu tau?" Aiyana melanjutkan selagi memperhatikan Baskara yang sibuk menyingkirkan kacang-kacang ke tepian bekal.

"Hah?" tanya Baskara clueless gegara terlalu fokus dengan aktivitasnya. "Kenapa dengan papa aku?"

"Papa kamu kerja sama papa aku, hmm... apa ya istilahnya... aku lupa... sama artinya jadi babu kayak mereka yang kerja di rumah aku."

"Babu?"

"Iya, babu. Apa yang salah dengan itu? Babu kan sebutan untuk mereka yang kerja sama papa aku."

"Namanya karyawan, bukan babu."

"Bodo amat. Babu lebih gampang ngomongnya daripada karya... karya apa, sih? Tuh, kan. Susah ngomongnya. Panjang lagi jumlah suku katanya."

Baskara cuma bisa diam dan melanjutkan aktivitas yang sempat terhenti.

Pertanyaan Baskara saat ini; apakah hubungan pertemanan akan sungguh-sungguh berubah menjadi persahabatan jika keduanya tidak tahu-menahu tentang fakta papa mereka adalah atasan dan bawahan?

Baskara ingin menjawab, tetapi ada penglihatan lain yang menghalanginya berpikir. Situasinya berganti, kali ini kenangan membawanya ke rumah lama. Tepatnya, itu adalah rumah milik mamanya.

Benar, bahkan dari segi harta saja, Bastian Febrian kalah jauh dari istrinya sendiri.

"Aku emang miskin. Menikah sama kamu memang nggak layak karena kamu berasal dari keluarga kaya, tapi mau sampai kapan kamu merendahkan aku? Mau sampai kapan keluarga kamu memandang aku sebelah mata? Mau sampai kapan... MAU SAMPAI KAPAN AKU DIHINA SEENAK JIDAT KALIAN? BAHKAN AKU JUGA DIHINA SAMA ATASAN AKU SENDIRI!" teriak Bastian. Urat di pelipisnya segera berkedut tegang, menunjukkan seberapa besar emosinya.

Bastian kemudian menarik lengan atas Baskara kecil ke arahnya dengan kasar, mengabaikan keluhan atas rasa sakit yang menyusul. "BASKARA, denger ya. Kalo kamu mau uang jajanmu tambah, kamu harus naikkan ranking satu! Kalo nggak, kamu juga bakal Papa hukum seharian di WC! Ngerti nggak, kamu?"

"..."

"JAWAB!"

Baskara hanya bisa menganggukkan kepalanya berkali-kali dengan sekujur tubuh yang gemetar hebat seolah-olah baru keluar dari bak berisi air es.

"Naikkan prestasimu jadi nomor satu. Ngerti, nggak?"

Alih-alih menjawab, tremor menjadi jawaban atas pertanyaan sang ayah.

"NGERTI, NGGAK?"

"LEPASIN BASKARA!" teriak Paramitha yang ikutan emosi. "DIA BUKAN ROBOT YANG BISA KAMU--"

"KAMU JUGA SAMA BUSUKNYA, PARAMITHA!" potong Bastian dengan ekspresi seperti kesurupan. Tanpa sadar, pria itu mendorong Baskara dengan kasar hanya untuk mendekati istrinya. "Kamu pikir aku nggak tau? Kamu diem-diem ada affair sama Farhan, kan?"

"A-apa? Affair apa? Mana mungkin aku sama papa Dave--"

"Aku udah tau semuanya. Aku tau dia pria yang dijodohkan orang tua kamu! Kamu nolak karena udah milih aku waktu itu, tapi sekarang setelah semuanya jadi kayak gini... kamu nyesel, kan? Jika saja semua bisa terulang kembali, kamu pasti bakal nerima perjodohan itu, kan?"

"Bastian!" tegur Paramitha. "Kamu seharusnya tau kalo aku bukan tipikal demikian! Ke mana akal sehatmu? Kalo aku memang sekejam itu, kenapa aku harus nikah sama kamu? Kenapa aku harus menghabiskan waktu belasan tahun untuk berada di sisi kamu?"

Namun alih-alih tersentuh, Bastian menyeringai sinis. "Waktu dia kembali, istrinya udah pergi. Artinya jelas, dia udah rencanakan ini sedari awal. Kamu juga, kan? Kalian pasti lagi lakuin semacam konspirasi buat jatuhkan aku juga, kan?"

"..."

"JAWAB AKU, PARAMITHA!"

"Nggak ada gunanya debat sama kamu. Kamu terlalu peduli sama gunjingan orang daripada keluarga kamu sendiri! Aku kecewa sama kamu."

"Apa kamu bilang? Coba ulangi sekali lagi!" tantang Febrian. Saat ini fokus mereka berpusat pada satu sama lain; Bastian membelenggu istrinya ke tembok sementara yang ditahan sedang berusaha melepaskan diri.

"Lepasin, Bastian! Kenapa kamu jadi kasar begini?"

"KENAPA? KAGET? TRUS MAU CERAI SAMA AKU, IYA? COBA AJA!"

"BASTIAN!"

Lantas, tidak ada yang sadar kalau Baskara tengah mendekat dengan kecepatan penuh untuk membantu Paramitha lepas dari Bastian.

Sayangnya, spontanitas yang bisa dia lakukan adalah mendorong sang papa jauh-jauh tanpa melihat kalau posisi ketiganya berada di dekat tangga.

"ARGHHH!"

"BASTIANNN!"

"Baskara! Baskara! Plis, bangun!" Ada yang menepuk-nepuk dua sisi wajah Baskara.

Tepukan tersebut tidak keras, tetapi sejujurnya situasi yang berhasil membuatnya membuka mata adalah suara Aiyana.

Kenangan barusan lenyap, berganti dengan dunia nyata masa kini yang segala isinya didominasi oleh warna putih.

Tentu, Baskara menjadi pasien di salah satu rumah sakit, terbukti dari setelan piyama khusus yang dikenakannya termasuk satu set infus yang tertancap pada salah satu lengan.

"Kamu... baik-baik aja?" Aiyana bertanya. Meski intonasi nadanya pelan seperti biasa, Baskara merasa inisiatif cewek itu sudah jauh lebih baik.

Setidaknya setelah mereka dipertemukan kembali, Aiyana berani mengajukan pertanyaan yang mengacu ke personal.

Baskara mematung saat menyaksikan air mata Aiyana menetes ke pipi, yang berawal turun satu-satu sebelum berubah menjadi deras hingga sesenggukan.

"Kok nangis? Harusnya gue yang nangis, kan?" Baskara melongo usai mendapati ada jejak air mata juga di pipinya.

Lantas pada detik berikutnya, dia baru menyadari posisi Aiyana juga sama meski dalam pemahaman yang berbeda. Jika Baskara tertekan karena hinaan dari luar hingga berakhir pada tragedi yang tragis, Aiyana menderita karena penyesalan yang belum terselesaikan hingga sekarang.

"Maaf... sa-saya minta maaf...."

Aiyana sesenggukan parah hingga sulit berbicara. Hidungnya juga berair, yang seketika selama beberapa saat berhasil menulari Baskara sedemikian rupa hingga matanya turut berkaca-kaca.

Siapa sih yang bisa bertahan melihat orang menangis sepilu itu? Padahal tadinya, Baskara juga ingin menangisi memori yang baru bisa diingatnya setelah lewat enam tahun berlalu, tetapi semua jadi meluap saat mendengar tangisan Aiyana yang seolah-olah mewakili dan menggambarkan sebesar apa penyesalannya.

Saking kasihannya sampai-sampai Baskara menahan tangisnya dan berlapang dada memaafkannya.

Ya. Aiyana Maulana memang pemicu atas apa yang terjadi pada keluarganya, tetapi bukankah semuanya telah digariskan?

Terlepas dari apa yang terjadi ke depannya, toh tidak akan bisa menghidupkan papanya kembali.

Pun pada situasi keluarga barunya sekarang.

Nggak lucu kan kalo gue nyuruh Mama bercerai.

"Udahan nangisnya." Baskara sengaja membuang pandang ke arah jendela supaya acara tangis Aiyana tidak terlalu memberikan pengaruh. "Gue baik-baik aja, jadi lo udah gue izinkan untuk lepasin penyesalan itu."

"Sa--"

"Gue pernah baca ini di suatu tempat, 'luka nggak akan pernah bisa dihilangkan, tapi seenggaknya ada satu hal yang bisa lo lakuin yaitu menerima dan mengakui luka tersebut'.

"'Saat lo mengakui luka, pengobatan lo udah dimulai'." Baskara melanjutkan, tetapi suaranya jadi sengau karena entah kenapa ada sesuatu yang tercekat di dalam tenggorokannya seperti ada pisau kecil yang tersangkut di dalamnya. "Kita sama-sama punya luka, jadi udah saatnya kita...."

"Baskara... kamu... ka-kamu baik... baik-baik aja, kan?" Seperti meledak, suara Aiyana terisak keras di akhir kalimat. "Saya... saya benar-benar... benar-benar...."

"Udah, Yana. Udah." Baskara memaksakan diri untuk melawan rasa sakit yang kini merambah ke dada hingga terasa sesak. Tatapannya masih saja terarah pada jendela yang terbuka, tetapi pandangannya telah mengabur sejak tadi.

Faktanya, tidak ada satu keindahan pun yang dia perhatikan di luar sana.

"Baskara...."

"Gue nggak baik-baik aja, puas?" Baskara menantang, tetapi kesannya jadi tidak efektif karena ledakan air mata tumpah begitu saja, yang berhasil mendorong Baskara ke titik terendah.

Baskara sukses tertular oleh sindrom tangisan yang benar-benar mewek hingga tak terkendali.

Sejujurnya, tangisan yang 'meledak' itu belum pernah Baskara keluarkan selama enam tahun terakhir.

Tidak pernah selama eksistensi hidupnya.

Lantas, entah sejak kapan, tetapi semuanya terjadi secara alamiah. Dimulai dari sentuhan ringan Aiyana sebelum Baskara merespons dengan menjatuhkan kepala ke pundak cewek itu, selagi kehadiran Paramitha serta Dave yang menyaksikan dari ambang pintu.

Wanita itu berusaha menyembunyikan tangis ke dalam telapak tangan, tetapi Dave yang berusaha tegar, menarik sang ibu untuk mendekati brankar Baskara.

Suasana dengan segera berhasil dipadati oleh ingar-bingar tangisan.

Meskipun demikian, ibarat sekuel cerita yang mempunyai keterkaitan dengan yang lalu, Baskara tahu ini bukanlah akhir segalanya melainkan awal untuk memulai.

Lantas, apakah ceritanya harus berlanjut?

Semestinya iya. Lo lupa filosofi nama gue? Matahari kan nggak pernah berhenti bersinar, jadi lo tau jawabannya dong. Atau seenggaknya, lo bisa lanjutin cerita gue dalam otak lo. Lumayan kan daripada ngehalu si dia yang gantengnya nggak sampai setengah dari gue?

(2.076 words)

Bersambung

(Masih ada lanjutannya loh, gaes)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top