10). It Troubles Again
Tangan Dave secara refleks bergerak, tetapi harus terhalang oleh aksi Mira yang menarik Aiyana secara protektif. Seolah-olah dialiri arus listrik pendek, bahu yang disentuh sempat tersentak dramatis selama sepersekian detik.
"Lo kenapa, Yana? Nggak apa-apa, kan--eh, kok jadi rame gini?" Mira mengalihkan atensi ke sekitarnya dengan polos, padahal senyumannya tersirat seringai yang khas.
Selayaknya memerankan tokoh antagonis dengan sangat baik, tidak ada satu pun yang bertanya-tanya atau curiga atas tujuan Mira memanggil Yana seperti tadi. Sebaliknya, yang menjadi tontonan menarik adalah; semuanya kini berfokus pada Yana.
Mereka jadi penasaran mengapa cewek itu terlihat begitu ketakutan dan impulsif. Meskipun demikian, belum ada yang berinisiatif menariknya keluar dari khalayak ramai.
Dave bukannya tidak mau, tetapi Mira menghalangi tangannya mendekati Aiyana. Proteksi tersebut lantas membuat cowok itu percaya kalau Mira memang tidak ada niat jahat.
Bisa jadi bagi Dave, panggilan tadi adalah ucapan yang tidak sengaja terlontarkan.
Atau... apakah Mira tahu nama asli Yana, tetapi tidak untuk masa lalunya? Entahlah, Dave belum mengerti. Yang jelas, kini ekspresi Mira menunjukkan raut kecemasan yang kental pada Aiyana.
"Yana, apa perlu gue antar ke UKS? Kasian banget, muka lo pucat." Mira bertanya dengan suara keras, tetapi siapa sangka dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Aiyana, untuk sekadar berpura-pura merapikan kepangan rambutnya, lalu berbisik dengan nada serendah mungkin, "Gue udah siap ceritain kisah busuk lo ke semua orang. Apa lo mau diteror lagi kayak dulu, hm?"
Yana menggeleng-gelengkan kepala dengan berlebihan, kesannya jadi mirip anak kecil yang ketakutan saat diancam oleh preman yang nongkrong di depan gang. Air matanya segera mengalir turun tanpa bisa dicegah selagi kadar kecemasannya kian melambung tinggi.
Seolah-olah hampir meledak atau yang terburuk, mungkin Aiyana akan ambruk sebentar lagi.
"Nah jadi, lo harus--" Ancaman Mira lantas harus terputus begitu saja karena tiba-tiba sebagian kecil kerumunan terpecah, disusul omelan yang bermakna protes gegara mendapat perlakuan yang minus akhlak.
Fokus terbagi menjadi empat sekarang; Aiyana, Dave, Mira, serta Baskara. Benar, oknum terakhir yang baru saja disebut adalah tersangka yang masuk ke dalam kerumunan secara paksa.
Mira memperlebar jarak, tetapi sebelah tangannya masih merangkul pundak Aiyana dan dia menarik ujung bibirnya selagi berkata, "Let's see who's coming. Baskara? Is that really you? Sejak kapan seorang Baskara Anthony peduli sama orang-orang sekitar?"
Ekspresi Dave juga menunjukkan rasa penasaran yang besar. Namun kalaupun ada yang membedakan, sorot matanya menyiratkan kelegaan.
Apa mungkin... rencananya untuk mempengaruhi Baskara lewat Aiyana benar-benar berefek?
"Sejak gue punya babu macam dia." Baskara mengendikkan dagu ke arah Aiyana sebagai isyarat, alih-alih menggunakan jari telunjuknya. Dilengkapi seringai yang khas, cowok itu berhasil menunjukkan ekspresi yang menyebalkan. "Gue lagi ada perlu sama dia, jadi mending kalian bubar."
Kepala Baskara berputar ke kiri dan ke kanan sekilas sebelum menarik tangan Aiyana dengan sekali sentakan.
Ibarat memenuhi salah satu Hukum Newton, gaya yang diberikan Baskara memang berhasil menarik Aiyana, tetapi jatuhnya jadi berlebihan berhubung situasi mental dan fisik cewek itu sedang berada di titik terendah.
Finalnya, dia berakhir masuk ke dalam pelukan Baskara.
"Ya ampun, kok gue baper ya?"
"Baper alert, ayo kita menjauh."
"Enteng banget peluk-pelukan. Dia beneran babu apa bukan, sih?"
"Hei-hei-hei! Emang player si Baskara tuh!"
"Yana, mendingan Dave kali daripada Baskara!"
"HEH, Dave itu punya gue!"
"Lah, lo kan ngakunya suka Baskara, kenapa jadi Dave?"
"Baskara udah ada yang taken, tuh! Lo nggak lihat, apa?"
"Ya iya. Trus?"
"Gue oleng ke Dave, dong!"
"Heh! Enak aja!"
Begitulah situasi di antara kerumunan, tetapi Baskara tidak benar-benar mendengarkan. Jika biasanya dia sesenang itu menikmati kata demi kata yang terlontar di belakangnya, untuk kali pertama dia menggubris semua itu.
Fokusnya kini beralih sepenuhnya pada Aiyana Maulana, yang dikenal sebagai Yana.
Seharusnya Baskara tidak perlu melakukan ini, seharusnya Baskara tidak perlu mendekat, dan seharusnya Baskara tidak perlu capek-capek menariknya di antara kerumunan.
Satu pertanyaan dalam kepala Baskara; apa persisnya tujuan dia melakukan itu?
"Lo ikut gue." Lagi-lagi, Baskara bertindak tanpa berpikir seolah tindak tanduknya bukan dirinya yang asli. Bahkan, dia juga tidak merasa keberatan dengan kedekatan yang tidak biasa di antara mereka.
Jarak itu terlalu dekat. Pandangan keduanya lantas terkunci selama beberapa saat selagi Baskara berpikir.
Bukankah jika berpatok dari kisah tragis di masa lalu, dia seharusnya membalaskan dendam hingga akhir?
Sedangkan Aiyana, entah kenapa di satu sisi dia merasa 'diselamatkan' meski di sisi lain, dia juga tahu kalau identitasnya sudah ketahuan.
Tepatnya, pada momen Mira memanggil nama aslinya, sorot mata Baskara saat itu menjadi pembuktian.
Mata tidak bisa berbohong, Yana tahu itu. Lantas, apa yang harus dia lakukan sekarang?
"MAULANA! LO ITU AIYANA MAULANA, KAN?" Terdengar raungan tidak bersahabat, memberi efek kejut pada semua orang. Kemudian sekali lagi, kerumunan dibubar paksa oleh seseorang.
Mengabaikan seruan protes yang terjadi untuk kedua kalinya, sang pelaku menerjang Aiyana tanpa aba-aba dan meremas kerah seragamnya dengan tatapan nyalang. "Gue udah ngerasa familier waktu pertama kali melihat lo. Awalnya gue kira, lo nggak mungkin Aiyana si pembuli itu, sampai gue ngelihat lo ketakutan waktu Mira panggil nama Aiyana."
Dia, yang berjenis kelamin cewek, berhasil menyudutkan Aiyana hingga tergencet ke tembok. Sialnya, posisi mereka terlihat tidak menguntungkan karena berpijak di tepian tangga.
Baskara mematung, tetapi itu tidak berlangsung lama karena mendadak ada rasa pusing yang efeknya luar biasa menyakitkan hingga cowok itu mengerang kesakitan. Kemudian, ada banyak bayangan memori yang melesat seolah-olah sengaja dipercepat hingga dua kali lipat.
Kenangan itu asing, tetapi mengapa dia merasa pernah mengalaminya?
Seperti dejavu.
Dimulai dari kemunduran prestasi Baskara, pertengkaran keluarga, hingga yang terparah dia mendorong papanya sendiri hingga jatuh terguling ke bawah tangga gegara melindungi mamanya.
Lokasinya boleh saja berbeda, tetapi bagi Baskara, situasinya kini menjadi sama.
Ekspresi Aiyana sekarang mengingatkan bagaimana mamanya memohon bantuan padanya saat itu, meminta pertolongannya untuk lepas dari belenggu sang ayah.
Baskara tidak ingat apa yang dia lakukan selanjutnya, tetapi semua menyaksikan bagaimana dia berlari membabi buta ke arah tangga untuk melepas Aiyana dari si pelaku.
Hingga tidak sadar kalau sentakan kasarnya malah mendorong pembuli ke tangga.
"ARGHHH!"
"BASKARAAA!"
Semua terjadi dalam sepersekian detik. Saat itu Baskara hanya berfokus untuk menyelamatkan Aiyana dan yang dia lakukan hanya mendorong si pembuli.
Siapa sangka, dorongan tersebut membuatnya kehilangan keseimbangan hingga berguling ke bawah tangga. Bagian belakang kepalanya terbentur lantai marmer, persis insiden tragis di masa lampau.
Rasa pusing di dalam kepala Baskara seketika mereda, tetapi sebagai gantinya, penglihatannya jadi kabur dan menggelap secara bertahap sebelum jatuh pingsan.
Kali ini dia beruntung karena Dave berhasil mencegahnya ikut jatuh ke bawah tangga.
Sedangkan Aiyana, dia terlalu takut bersuara hingga isakan tangis pilu menjadi perwakilan atas perasaan bersalahnya.
(1.080 words)
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top