Ch. 4

Imagery Agave Mahadarya berdiri dan mendekati kembarannya yang menatap dengan lekat. Mereka mungkin memang tak akan akrab tanpa adanya pertengkaran. Namun, sejatinya persaudaraan tidak akan lepas karena rasa iri serta kecemburuan. Ery sudah kenyang dengan merasa sendirian. Salahnya juga yang terlalu merasa dengan diam bisa mematahkan segala masalahnya. Padahal, dengan bicara dan mengkonfrontasi pernyataan Opy dulu, dia juga bisa bertahan. Meski, ya ... prosesnya sudah pasti berbeda. Namun, menyesali hal yang sudah lama terjadi hanya akan membuat Ery sakit hati.

Dia sengaja mengantarkan Arro ke rumah Musesa sendiri. Menggunakan mobil yang juga membawa Ery ke rumah orangtuanya. Sudah saatnya dia pulang dan memperbaiki jiwanya. Khususnya jiwa yang sudah melayang terlalu jauh dari keluarga yang ia miliki.

"Masuklah," ajak Ardi yang mengerti betul bahwa istrinya tidak akan mampu berkata-kata. "Dan kami nggak membiarkan tamu pergi sebelum dijamu dengan baik."

Ery tahu Lazuardi sudah mendapatkan jawaban serta cerita yang sebenarnya dari Opy. Sudah lama Ardi menunjukkan sikap yang tidak menghakimi Ery lagi, hanya saja hubungan mereka sebagai ipar tentu saja tak langsung membaik meski Ardi sudah tahu cerita sebenarnya.

"Ini." Ery menyodorkan paper bag yang menunjukkan logo mainan anak-anak. Bukan logo murahan. Sudah pasti mainan untuk adik Musesa yang belum disambut oleh Ery dengan baik. "Untuk Eroz. Arro yang memilihkannya sendiri."

Tentu saja untuk Eroz, siapa lagi yang hobi dengan mainan sejenis itu? Lego bukanlah gaya Musesa yang hobinya memang sangat feminin sekali.

"Terima kasih, Ery. Tapi jangan tersinggung kalau Eroz nggak akan memainkannya dalam waktu dekat karena usianya belum cukup untuk mainan ini." Ardi memang pria yang bisa membalas lawan bicara tanpa merendahkan sama sekali.

"Oh, ya ... tentu saja. Itu kesukaan Arro. Memang keinginannya, dia mau mengajak Eroz bermain lego jika sudah waktunya nanti."

Opy terlihat benar-benar terpukau dengan apa yang ada di depannya. Ery yang mampu berkomunikasi tanpa meledak-ledak sungguh membuat Opy terkejut.

"Opium, kamu mau berdiri di pintu terus? Anak-anak udah main di taman, kamu mau di sana?"

Ery belum berani untuk bersikap terlalu ramah atau menjadi baik hati dalam sekejap. Dia memang ingin memperbaiki hubungan, tapi prosesnya tak bisa sekejap mata.

"Oh ... i-iya. Aku ... masuk, Er."

Ery mengikuti pasangan tersebut. Dia bisa melihat bayi Eroz sedang duduk di kursi khusus dan belajar menyanyikan huruf alfabet menggunakan tayangan video animasi di kanal YouTube. Anak itu gembil, pipinya bulat menggemaskan. Entah bagaimana malah mirip dengan anak pasangan barat. Rambutnya sedikit pirang, dan jujur saja Eroz memang seperti turunan asing. Ery bahkan hampir meletuskan kalimat tanya, "Ini beneran anak kalian?" jika tidak menyaksikan bagaimana Eroz sangat dekat dengan Ardi dan Opy.

Gara-gara terlalu sibuk dengan masalah kejiwaannya, Ery sampai tak tahu memiliki keponakan yang kebule-bule'an begini.

"Usianya satu tahun lebih, kan?" tanya Ery masih dengan mengamati Eroz yang sangat lucu.

"Iya. Sudah mulai berjalan pelan-pelan." Kali ini Opy yang menjawabnya.

Ery tersenyum melihat Eroz yang senang sekali diajak bercengkerama dengan Ardi. Bahasa bayinya muncul tak jelas. Hanya kata da da da yang bisa mereka artikan bahwa anak itu menyebut Ardi Dada seperti yang Esa lakukan.

"Lucu sekali," gumam Ery. Dalam bayangannya itu adalah Arro kecil yang bisa dia perhatikan lebih cepat dan mendalam. Sungguh Ery menyesal karena merasa belum sepenuhnya menjadi bunda yang baik untuk Arro.

Siapa pun yang melihat tatapan Ery, tentu saja langsung mengerti harapan yang terpancar di wajah perempuan itu. Opy jelas merasakan dorongan untuk meminta maaf pada Ery karena—secara tak langsung—menjadi penyebab sulitnya Ery memiliki anak.

Tanpa sadar, Eroz sudah berjalan ke arah Ery dengan tawa yang menggemaskan. Balita itu terjatuh di pangkuan Ery dan mendongak. "Ma ma."

Hati Ery seketika berdesir. Astaga. Bayi Opy dan Ardi menakutkan.

"Apa?" sahut Ery pada Eroz.

"Zeus!" panggil Opy dan langsung membuat Eroz berpaling.

"Ma ma!"

Eroz merangkak karena malas berjalan ke arah Opy yang memang memiliki panggilan khusus bagi putranya itu.

"Zeus?" tanya Ery.

"Namanya Erozeus Savander, Opy memanggilnya Zeus. Tapi saya dan Esa panggil Eroz. Somehow Zeus juga, sih." Ardi mewakili jawaban itu.

"Ery," panggil Opy begitu Ardi selesai dengan kalimat penjelasannya.

Ery menoleh pada kembarannya dan menunggu apa yang ingin Opy sampaikan. "Maafin aku. Maaf untuk segala kesalahan yang aku buat. Maaf juga karena baru sekarang mengatakan maaf."

Ery terdiam untuk sejenak. Dia belum menceritakan versinya pada mami dan papinya, tapi saling memaafkan lebih dulu dengan sang kembaran tak akan salah, kan?

"Ya. Seenggaknya kamu mengatakan maaf itu. Aku memaafkan kamu, supaya aku bisa memaafkan diriku sendiri, Opy."

Opy yang terlalu mudah terbawa perasaan menangis. Meski Ery juga terbawa perasaan, ia masih belum bisa memeluk Opy. Tubuhnya masih kaku. Sepertinya proses untuk memaafkan dirinya sendiri masih butuh waktu.

[Ih, kan, kalian jadi tahu nama anak Opy-Ardi, alias adeknya Musesa.]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top