Ch. 2
[Jangan lupa vote dan komennya, ya. Cerita ini gak aku taruh di Karyakarsa, loh. Kalian bisa baca sampe cerita ini naik cetak nantinya. Ayo, semangat!]
"Dia kelelahan menunggu kamu dari tadi," ucap Isak yang langsung membuat Ery menoleh ke belakang.
Pria itu sudah menunggu hingga Arro terlelap di samping Ery. Tak mau membicarakan persoalan orang dewasa disaat Arro terlihat begitu antusias mengagumi sosok bundanya.
"Isak ..."
"Hm?"
"Terima kasih."
Isak tersenyum, wajah pria itu yang sarat akan definisi 'bule' membuat Ery terkadang tak menyangka akan memiliki terapis khusus yang lebih seperti keluarga baginya. Kemana pun, dimana pun, Isak mau untuk menyambangi Ery. Bukan Ery yang mendatanginya, tapi Isak melakukannya.
Mengambil kursi tunggal di sana, Isak duduk di samping ranjang Ery dan Arro berada. Pria itu biasanya akan bicara atau hanya terdiam mengamati keduanya hingga Ery terlelap. Saat ini Isak akan melakukan hal yang sama. Bedanya, jika biasanya Ery yang kelelahan akan membiarkan hal itu dan tertidur, maka kali ini Ery ingin bicara dengan pria itu.
"Arro nyusahin kamu tadi?" tanya Ery dengan lirih.
Sudah banyak tangisan yang dikeluarkannya saat bicara dengan putranya tadi, Isak yakin Ery akan kembali menangis jika tahu bahwa Arro menunggu di depan pintu kamar Ery dalam kondisi perempuan itu yang histeris. Isak sudah memperingatkan anak itu untuk menjauh sebisa mungkin, tapi Arro yang terbiasa dengan ibunya yang keras kepala, sudah pasti meng-kloning sifat yang sama.
"Nggak. Menurutku Arro yang menunggu kamu tanpa bicara apa-apa selain menanyakan apakah dia sudah boleh mendekati kamu, itu bukan menyusahkan. Yang menyusahkan adalah saat aku nggak tahu gimana Arro menangkap semua pengalaman ini."
Ery tetap menaruh tangannya untuk berada di tubuh Arro agar anak itu tidak rewel karena merasa ditinggalkan Ery saat tidur, tetapi wajahnya menoleh ke tempat Isak duduk.
"Maksudnya, Isak?"
"Aku nggak tahu dia akan sekuat apa nantinya, Ery. Dia kelihatan sekali ingin menjaga kamu. Tapi terbatasi dengan usia dan kekuatannya yang belum seberapa sebagai anak-anak. Mungkin semua luka yang kamu rasakan akan membuat luka juga dalam diri Arro. Maaf kalau ini menyinggung kamu, tapi itu akan tetap berdampak pada diri Arro."
Kembali mata cantik itu memerah. Mendung menaunginya.
"Aku benar-benar ingin sembuh, Isak. Sangat ingin sembuh. Aku nggak mau Arro terus menerus melihatku kambuh. Dia nggak seharusnya melihat aku yang kehilangan kendali. Aku nggak mau menyakiti diriku dan Arro lebih jauh lagi."
Isak mengangguk. "Kamu pasti bisa sembuh. Jangan cemas. Arro akan selalu membantu dan menemani kamu. Proses mengembalikan mental untuk kembali membaik memang nggak akan mudah, Ery. Kamu harus tenang menjalani prosesnya."
Ery menerawang ke langit-langit kamar. Dia mengingat bahwa pusat masalahnya bukan hanya satu, tapi banyak. Draka hanya pemicu depresinya memuncak saja. Sejauh ini, Ery yang mengunjungi pihak ahli tidak benar-benar bisa melepaskan diri karena masih hidup bersama Draka dalam semua kecemasan yang ia rasa. Memendam segalanya, tak memiliki teman berbagi, itu membuatnya lebih parah lagi. Belum lagi rasa bersalahnya pada Arro yang sering kali ia abaikan karena tak mau membanting atau menghancurkan sesuatu hingga menyakiti anak itu. Semua yang dilakukannya serba salah.
"Aku harus pergi dari lingkaran itu, kan, Isak?" tanya Ery pelan.
"Ya. Kamu harus." Isak menarik napasnya panjang. "Hentikan menyiksa diri kamu lebih jauh. Hentikan semua faktor yang hanya membuat kamu menistakan diri sendiri."
"Tapi ... nggak ada pengalaman bercerai dalam keluargaku, Isak. Semua kakakku bisa mengatasi masalah pernikahan mereka. Aku... akan jadi yang pertama bahkan satu-satunya jika memutuskan berpisah."
"Saranku, kamu harus mengurai ini dari pusatnya. Pertama, datanglah kepada keluargamu. Katakan yang terjadi bertahun-tahun lalu antara kamu dan kembaranmu. Diam bukan emas, Ery. Diam hanya membuat kamu menjadi semakin tertekan sendirian. Katakan dan berceritalah kepada mereka, pelan-pelan. Bangun relasi dengan keluargamu sebelum kamu menghadapi badai perpisahan. Disaat kamu kesulitan menghadapi badai itu, setidaknya kamu sudah memerangi kesalahpahaman di dalam keluarga kamu. Mereka akan menjadi tameng untuk kamu supaya tidak semakin terseret ombak laut dan tenggelam."
Panjang penjelasan Isak membuat Ery menyadari bahwa masalahnya memang belum usai, bahkan belum dimulai. Konfliknya dengan keluarga memang belum diluruskan, lalu ada Draka yang ia tinggalkan begitu saja tanpa ada kejelasan. Ery sudah berlari jauh, tapi masalah akan tetap menaungi dirinya.
"Menurutmu, kapan aku bisa pulang dan menghadapi mereka, Isak?"
Pria itu tak langsung menjawab. Ia berdiri dan mematikan saklar lampu utama menyisakan lampu tidur di meja samping ranjang. Dalam keremangan, Isak tersenyum dan berkata, "Hadapi semuanya dengan keberanian yang selama ini kamu punya, Ery. Kamu adalah perempuan yang sangat berani. Percayalah, kapan pun itu kamu akan mampu menghadapinya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top