Ch. 1
Imagery kembali tersadar, bahwa dirinya tak sedang berada dalam masa lalunya. Masa yang dilewati beberapa waktu dan memang sudah menjadi masa lalu. Tidak ada yang bisa diubah, dan sepenuhnya tak akan berubah. Situasinya sudah berbeda sekarang. Ery sedang berjuang, untuk dirinya sendiri dan Arro. Ya, paling tidak dia masih memiliki Arro. Anak yang selalu dinilai keluarganya tak pernah mendapat kasih sayang yang cukup dari Ery.
Ery tak ingin menyalahkan penilaian tersebut. Sebab itu juga bagian dari kesalahannya untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya. Keterdiaman yang dirinya lakukan selama ini nyatanya tak menjadi emas sama sekali, justru berbalik menjadi anak panah yang menancap tepat di jantungnya hingga Ery merasa tengah berada di ambang kematian setiap saatnya.
"Bunda," panggil Arro di ambang pintu.
Ery yang kepayahan dengan dirinya sendiri meminta anak itu untuk mendekat dan duduk di sisinya. Di ranjang yang sekarang digunakan oleh Ery. Ranjang perawatan. Rumahnya dan Draka tak lagi menjadi tempat pulang dan Ery menggunakan semua waktunya untuk benar-benar berobat.
"Bunda, tadi om Isak bilang aku nggak boleh ganggu Bunda. Tapi sekarang udah boleh, kan, Bunda?" tanya Arro yang membuat mata Ery basah.
Diusapnya kepala anak itu, Ery meminta Arro untuk duduk tenang dan Ery merosotkan tubuhnya hingga kepalanya bisa bersandar di bahu anak itu.
"Sekarang boleh, kok. Maaf, ya, selalu bikin kamu nunggu untuk ketemu bunda."
Ery dapat merasakan bagaimana Arro menggelengkan kepalanya dengan tegas. Anak itu, anak yang menarik perhatian Ery ketika melihatnya di panti asuhan Mutiara Kasih, tumbuh lebih dewasa dari usianya. Ery bisa melihat bagaimana Arro yang memiliki karakter mirip dengan Ery membuatnya yakin untuk mengadopsinya, meski semula Draka menentang keputusan itu.
Ah, Draka. Pria itu tak pernah terdengar kabarnya lagi setelah-ingatan-terakhir kali Ery akan pertengkaran mereka terjadi. Ery membawa pergi Arro serta dengan dirinya. Membawa Arro untuk menemani dan melihat bagaimana Ery tak sempurna sebagai seorang ibu.
"Arro boleh tidur di sini, Bunda?"
Ery mengecup pipi anak itu singkat dan merebahkan diri bersama Arro yang mengikuti arah tangan Ery yang menepuk sisi ranjang yang kosong. Mereka berdua saling berhadapan, tangan mereka saling menggenggam. Ery tak bisa menghentikan laju airmatanya sendiri dan Arro dengan sabar mengusapnya berulang kali hingga pipi Ery mengering dan kembali basah.
"Kalo sakit, Bunda bisa bilang sama Arro." Ery mengangguk. "Arro akan pijetin, siapin makan, bersihin rambut, dan masakin buat Bunda."
Semua kalimat itu menghangatkan hati Ery, tetapi juga menghancurkannya. Sebab Ery tak bisa membuat kalimat menenangkan yang sama seperti yang Arro lakukan. Dia tak bisa menjadi sosok ibu yang normal untuk Arro. Dia terlalu banyak struggle dengan masalah kejiwaannya sendiri. Terlalu banyak pemakluman dan kesabaran yang Arro berikan. Namun, Ery juga tak bisa meninggalkan Arro sendiri. Hanya Ery yang dicari oleh Arro, apa pun yang terjadi.
"Arro nggak malu punya mama kayak bunda? Arro nggak marah karena bunda lebih sering diluar daripada di rumah nemenin Arro?"
Anak itu menggeleng tegas. Tangan kanannya dipakai untuk menyangga pipi Arro sendiri. Ery tertawa kecil mendapati betapa menggemaskannya Arro diusianya yang menginjak tujuh tahun.
"Arro nggak malu, Bunda. Arro senang punya mama kayak Bunda. Arro nggak marah, karena Arro tahu Bunda berusaha sembuh."
"Arro tahu dari mana kalo bunda berusaha sembuh?"
"Om Isak yang bilang," jawab anak itu dengan lugu.
Sekali pun Arro memiliki sisi dewasa yang tidak dimiliki anak lain seusianya, tetap saja Arro adalah anak-anak. Dimana Arro membutuhkan banyak waktu untuk bermain dan sibuk dengan kegiatannya sendiri. Arro harus banyak mendapatkan kasih sayang.
"Arro ... mau ikut ayah?" Pertanyaan ini membuat Arro menatap anak itu terdiam sejenak. Ery tahu itu adalah pertanyaan yang bodoh. Pertanyaan yang lebih berupa 'kamu mau mati sama mama atau masuk jurang dengan papamu?' yang tak akan ada jawaban yang akan dipilih oleh Arro.
"Maaf, Arro. Bunda nggak akan tanya lagi. Harusnya bunda tahu dengan Arro di sini, itu artinya Arro sayang bunda."
Arro masih terdiam. Tatapan ibu dan anak itu masih terikat. Momen ini akan selalu tercetak jelas di dalam kepala Arro.
"Arro mau sama Bunda. Selamanya."
Semakin banyak kesediaan anak itu berkorban untuk Ery, semakin banyak airmata yang tak bisa Ery hentikan. Mengapa, Tuhan? Mengapa Engkau hadirkan anak sebaik ini ke dalam hidupku? Mengapa anak ini yang ada disisiku saat ini?
Tentu saja jawabannya karena dengan kebaikan yang Ery miliki, Arro adalah penjaga untuknya. Keberadaan Arro akan menggagalkan kesediaan Ery untuk menyerah. Arro adalah pecut semangat bagi Ery untuk bangkit dan keluar dari lingkaran hitam. Arro penjaga sekaligus malaikat kecilnya.
"Arro sayang Bunda. Selamanya."
Ery menarik Arro dalam pelukannya. Arro mendengarkan detak jantung bundanya dan mengingat setiap tarikan napas wanita itu. Mendengarkan rintihan akan tangis yang Ery keluarkan.
Di ambang pintu, Isak melihat semua itu. Membiarkannya, sebab dia tahu Arro satu-satunya tiang pencakar yang akan mengawali bangunan jiwa Ery untuk kembali berdiri kokoh.
Tuhan tahu betapa banyak perjuangan yang harus Ery jalani.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top