🌸- e p i l o g u e。

.
.
.

〔 ❁ -; ʜᴇ's ᴀɴ ᴀʀᴛ〕

.
.
.

❝Daniel?❞

Oh, dimana kau?

❝Maukah kau bertemu dengan Seongwoo?❞

. . . . Apakah aku masih pantas untuk bertemu dengannya?

Jaehwan meremat lembar kertas terlipat dengan nama Daniel sebagai penerima kertas tersebut. Ia mencoba menghembuskan nafasnya lirih, menyembunyikan getar dirinya sendiri.

❝Seongwoo memaafkanmu, Daniel.❞

❝. . . Dimana kau sekarang, Jae?

❝Akan kukirimikan alamatnya padamu.❞

Baiklah, aku akan bersiap—

❝Danik, sebaiknya kau cepat.❞

Percakapan diputus sepihak oleh Jaehwan tanpa berniat mendengar ucapan Daniel selanjutnya.

Sang pemuda menarik kedua tungkainya yang ia luruskan, dan menekuknya kembali; hal yang sama yang ia lakukan selama dua jam di rumah duka, di sisi abu jenazah Seongwoo yang sudah dikremasi. Dua jam yang ia kumpulkan setiap detiknya untuk menyatukan dirinya kembali dan mencoba berani untuk menelepon Daniel.

Jam menunjukkan pukul tiga petang, itu berarti, Jaehwan sudah berada di Incheon selama delapan jam. Selama delapan jam itu, ia mendedikasikan dirinya pada Seongwoo. Ia tak mengeluh. Mungkin, ini adalah hal yang dapat ia lakukan sebagai pembalasan atas rasa menyesal yang membungkus dirinya.

Butuh waktu sekitar dua jam bagi rumah sakit untuk mengurus jenazah Seongwoo, termasuk mengotopsinya. Dua jam selanjutnya adalah upacara kremasi, dan dua jam kemudian, Seongwoo sudah meringkuk nyaman di dalam keramik berisi abu jenazahnya.

Jaehwan mengusap kembali air mata yang mengalir turun dengan sapu tangannya. Dengan kedua mata bengkak dan postur tubuhnya, Jaehwan tampak seperti pria pemabuk yang patah hati. Andai saja kelabu yang menyelimuti Jaehwan dapat terlihat, disanalah terlukis jelas, rasa sakit yang menusuk sang pemuda hingga ia meneteskan air matanya tanpa henti.

Jaehwan marah. Ia marah, ia kecewa dengan dirinya sendiri. Ia tak menyalahkan Daniel yang tak turut hadir bersama dirinya, karena ia tahu, Daniel takkan siap dengan resiko seperti saat ini. Bukan berarti Jaehwan siap, ia hanya— hanya dapat menjadi lebih tegar, meski hatinya sudah pecah.

Tak banyak yang menghadiri pemakaman Seongwoo. Hanya beberapa anggota kepolisian, sebagai bentuk rasa duka, dan tetangga sekitar rumah paman Seongwoo.

Ah, makhluk itu. Ia sudah ditahan di kepolisian. Entah tuduhan apa yang akan jatuh padanya, Jaehwan tak peduli. Ia telah menyerahkan segalanya pada hasil medis yang dimiliki kepolisian sebagai bukti atas ketidakberdayaan Seongwoo selama ini.

Bisik-bisik antar tetangga berhembus tanpa penghalang. Jaehwan tak mau repot-repot menghentikan berbagai ucapan busuk yang menari-nari di luar sana.

Mereka tak mengerti.

Betapa berat segalanya bagi Seongwoo. Betapa kesepian dirinya selama ini. Betapa menyakitkan bagi Seongwoo untuk menahan luka dan dosa yang tak seharusnya ditorehkan pada pemuda manis itu. Itu semua adalah bagian yang tak dapat dimengerti oleh siapapun, bahkan bagi Jaehwan atau pun Daniel.

Karena mereka, karena dia, karena siapapun bukanlah Seongwoo. Mereka tak mengerti tentang Seongwoo yang melangkah di antara dua dunia; gelap dan terang.

Jaehwan menghapus keringat dingin yang membasahi keningnya dengan sapu tangan yang sama ketika ia menghapus air matanya. Tak heran, sapu tangan itu begitu basah. Sapu tangan itu dilumuri oleh rasa jatuh yang begitu dalam dan gelap.

Jemari Jaehwan bergerak, mengusap layar ponselnya, menekannya, dan meletakkannya dengan posisi tengkurap setelah ia mengirimkan alamat rumah duka pada Daniel. Sekali lagi, ia harus menjadi seorang pahlawan sialan, untuk setidaknya menahan Daniel ketika pemuda itu menemukan foto Seongwoo bersandar pada keramik abu jenazah.

"Persetan, pahlawan bajingan."

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

Daniel merasa dunia berputar di bawah kedua telapak kakinya. Rasa pusing seketika menghantam dirinya, membuatnya berdiri kaku dengan rasa terkejut yang begitu hebat. Tubuhnya bergetar, air mata sudah mengalir turun terlebih dahulu membasahi kedua matanya yang tampak kosong.

Jaehwan berdiri di sisinya, menahan tubuh Daniel yang limbung setiap beberapa detik sekali. Pria itu merangkul bahu lebar Daniel dan menekannya, memaksa Daniel untuk duduk di hadapan potret Seongwoo yang tengah tersenyum lebar.

"T-tidak—," Daniel menunduk, meremat surainya kuat seakan hendak mencabutnya dari kulit kepalanya sendiri. Maniknya bergetar dalam kekosongan.

Tubuhnya mulai mati rasa, merambat dari bawah hingga mencapai dadanya. Rasa sesak meremat kerja kedua paru-parunya, memutus nafas sang pemuda beberapa detik sekali. Kedua tangannya yang masih bergetar mulai merambat turun dari kepalanya menuju tas miliknya, mencari botol obat penenang yang seingatnya sudah ia bawa.

Jaehwan merangkul tubuh Daniel lebih erat, membawa pemuda itu dalam pelukannya. Ia terdiam mendengar tangis Daniel yang mengeras dan pilu. Sayatan di hatinya tertoreh kembali; setitik air mata nyaris meluncur, kalau saja Jaehwan tak menarik nafasnya kuat dan menahan dirinya. Ia tak mau menjadi lemah di hadapan Daniel, karena ia ada untuk membantu Daniel. Dua orang sudah jauh dari kata cukup untuk menertawakan ketidakberdayaan Jaehwan.

"Daniel, hentikan—," Jaehwan menahan tangan Daniel yang sudah menggenggam obat penenangnya. "Daniel, tarik nafasmu, kumohon."

"T-tidak, tidak—," tubuh Daniel merosot, nyaris pingsan untuk kesekian kalinya, kalau saja Jaehwan tak mengguncangnya untuk menyadarkan dirinya. Daniel tak boleh pingsan, karena ia tetap harus menghadapi kenyataan. Ia tak bisa terus bersembunyi di balik rasa takutnya. Ini sudah berjalan terlalu lama, dan itu tentu menyiksa baik bagi Daniel maupun Jaehwan.

"Daniel, kumohon. Kumohon, mengertilah— mengertilah, Seongwoo telah memaafkanmu. Seongwoo memaafkan kita, Daniel. Kumohon, tataplah dia."

"T-tidak— hiks," Daniel menggelengkan kepalanya kuat-kuat di dada Jaehwan. Kedua tangannya meremat pakaian yang melekat di tubuh Jaehwan hingga kusut. "Tidak— s-salahku—."

"Tidak Daniel, tidak," Jaehwan memejamkan kelopak matanya, meminimalisir kemungkinan air matanya untuk mengalir turun kembali. "Bukan kesalahanmu, bukan kesalahku, bukan kesalahan Seongwoo. Cobalah mengerti Daniel, Seongwoo telah bahagia. Ia terlepas dari rasa sakit yang menyelimuti dirinya sejak ia kecil. Ia sudah kuat dan begitu hebat dapat berdiri dengan kedua kakinya selama ini, Daniel."

Jaehwan mengeluarkan lembar kertas yang ditujukan pada Daniel. Lembar kertas yang ditulis khusus oleh Seongwoo untuk Daniel. Diletakkan surat itu di paha Daniel perlahan.

"Bacalah, ketika kau siap. Tapi kumohon, mengertilah Seongwoo, Daniel," satu cekat nafas terdengar dari diri Jaehwan. "Mengertilah, ia tidak salah. Ia sudah menahannya, semampu dirinya. Kita hanya terlalu terlambat untuk bertemu dengannya."

"J-jae— hiks."

"Kumohon Daniel, kuatkanlah dirimu. Sadarlah, aku berada disini untuk menolongmu, karena aku tau aku tak terlambat untuk itu, meski ini sudah terlalu lama bagimu."

"S-Seong—hiks —woo."

"Seongwoo sudah bahagia Daniel. Cintailah dia, sebagaimana kau melakukannya sejak pertama kau melihatnya. Buanglah rasa takutmu, Daniel, kumohon. Kumohon, bantu aku juga— k-kau harus menguatkan dirimu sendiri."

Daniel tak membalas ucapan Jaehwan lagi. Pemuda itu tidak pingsan, ia masih terisak dalam pelukan Jaehwan. Telapaknya menyingkirkan surat yang dituliskan Seongwoo padanya. Kalau saja ia tak mengingat bahwa surat itu ditulis oleh Seongwoo, mungkin ia telah menyobeknya di hadapan Jaehwan.

"Aku— hh, aku b-belum siap—."

"Tidak apa Daniel," Jaehwan menepuk bahu Daniel pelan, kemudian mendorongnya. Maniknya menatap kedua bola mata Daniel yang bergetar hebat. "Tidak apa, Seongwoo pasti mengerti. Sekarang, cobalah tatap dia."

Daniel memalingkan wajahnya lambat, berharap detik dapat berhenti sehingga ia tak perlu menatap potret Seongwoo yang berdiri tegak di depan abu jenazahnya, dan Daniel mengerti bahwa detik takkan pernah berhenti. Pandangannya terpaku pada potret Seongwoo.

Cantik.

Indah.

Begitu sempurna.

Seongwoo, bagaimanapun, tetaplah sesosok maha karya bagi Daniel. Seongwoo adalah seni, yang tidak diciptakan untuk dimiliki, tetapi ada untuk menghias; menghias pikiran dan hati Daniel, mengisinya dengan keindahan yang belum pernah Daniel temui. Seongwoo adalah bentuk nyata dari rasa indah yang belum pernah Daniel rasakan sebelumnya, Seongwoo adalah cinta, tak berwujud namun mengakar kuat dalan diri Daniel.

Seongwoo hanya sebuah seni, begitu suci, tak pantas untuk berada di kegelapan yang selama ini mengurung keindahannya. Seongwoo harus berada di tempat yang layak baginya.

Daniel mengerti, pada akhirnya. Ia mengerti, bahwa semua begitu terlambat. Sia-sia ia menangis, mengeluarkan segala amarah dan rasa kecewa, mengharap Seongwoo untuk kembali. Ia terlambat untuk bertemu dengan Seongwoo, terlambat untuk jatuh cinta dengannya, terlambat untuk mengerti bahwa ia turut menghancurkan Seongwoo.

Tubuh Daniel mematung. Dua maniknya menatap kosong sekali lagi pada potret Seongwoo. Betapa banyak pancaran penyesalan tersalur dari netranya.

"Maaf, maafkan aku—," Daniel mengusap lelehan air mata untuk yang kesekian kalinya. Cukup kecewa jika mengingat bahwa ia bahkan belum mengajak Seongwoo berkencan, menemani sosok kesepian itu, memberikan kebahagiaan untuk sesaat saja pada Seongwoo.

Benar, Daniel terlalu takut untuk berdiri. Daniel terlalu nyaman bersembunyi dalam rasa takutnya, menganggap bahwa dirinya telah rusak. Andai ia mengerti lebih cepat, bahwa Seongwoo jauh lebih rapuh dan rusak dari dirinya.

"Maafkan aku, Seongwoo—"

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

[1 year later]

"Hey."

Semilir angin mengacaukan tatanan rambut pemuda itu, seakan menyapa dirinya yang sudah dihapal karena kedatangannya yang terlalu sering. Pemuda itu menoleh, menemukan sosok tua yang tersenyum padanya. Kakek itu melambai dengan gagang sapunya, tampaknya ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya.

"Kau datang lagi."

Daniel tersenyum, "tentu saja. Pacarku menunggu disana."

Pria tua itu tertawa. Tulang-tulang tiga-per-empat abadnya saling bergerak seiring tawanya. Tubuhnya membungkuk, mengizinkan Daniel untuk melanjutkan langkahnya dan masuk sementara ia mengerjakan tugasnya menyapu dedaunan musing gugur.

Daniel balas membungkuk. Sempat ia tersenyum sejenak sebelum mulai meniti langkah menuju satu ruang yang tampak ramai. Deret demi deret terlewat, hingga ia berhenti di hadapan tawa dua sosok dalam potret indahnya.

Daniel meletakkan bunga krisan putih pada dua kolom berisi keramik putih berukuran sedang. "Jaehwan tidak bisa datang bersamaku, tapi ia akan menyusul, dengan kekasihnya," Daniel terkekeh dengan bola mata yang berputar muak ketika harus menyebutkan kata Jaehwan dan kekasih.

"Beruntung Jaehwan memiliki kekasih, jadi yah, ia tidak terlalu sendiri atau memikirkan diriku," Daniel mengendikkan bahunya. "Kasihan juga kalau mengingat dia masih terbayang tanggung jawabnya," gumamnya dalam sendu.

"Apa kalian sudah bertemu?," alih Daniel sembari membersihkan pigura salah satu yang sudah berdebu. "Aku harap sudah, kalian pasti berbicara banyak hal disana."

Daniel tersenyum lembut pada potret Seongwoo setelah meletakkan potret Jisung di kolom di sisi Seongwoo. "Aku merindukanmu— ah, lihat!," Daniel merogoh saku mantelnya, teringat benda yang akan ia berikan. "Aku harap kau suka menonton film ini."

Sebuah tiket bioskop terselip di bawah keramik berisi abu jenazah Seongwoo, menumpuk tiket bioskop lain yang sudah terlebih dahulu ditaruh disana. Bahkan tiket yang berada ditumpukan cukup bawah tampak sudah memudar tulisannya. Hanya keterangan angka satu tahun lalu yang masih terbaca samar.

"Cukup sulit mendapatkan tiket itu, tau. Beruntung aku mendapatkannya, di tempat yang strategis dan bersisian," gumam Daniel disela senyum tipisnya. Ibu jari Daniel mengusap surai Seongwoo dalam potretnya. "Kau harus menemaniku, karena setelah itu kita akan pergi ke salah satu café temanku. Blueberry pancake disana enak, aku berani menjamin kau akan menyukainya!"

Netra Daniel berangsur sendu. Perlahan ia menunduk, seakan teringat bahwa dirinya tak berbicara dengan siapapun saat ini. Tak ia sembunyikan air mata yang mulai menggenang di balik pelupuknya. Gurat atas rasa sakit masih membekas disana, meski ia kini memiliki pancaran yang berbeda dibandingkan dengan sosok Daniel satu tahun kebelakang.

Nafasnya tersenggal, sela isak mengganggu suaranya yang menggantung, tak jelas menggumamkan apa. Hanya samar terdengar kata yang terus Daniel ucapkan dihadapan foto kedua sosok di kolom mereka selama satu tahun ini.

"Maaf—," Daniel mengusap air matanya, kemudian terkekeh, mencoba mencairkan suasana. "Padahal aku sering berjanji untuk tidak menangis, memalukan melihat pria menangis."

Daniel mengusap foto keduanya, tersenyum sekali lagi, kemudian bersiap untuk melangkah pergi. Rutinitasnya selama satu tahun ini telah ia kerjakan semua— ah, ada satu yang belum.

"Laporan perkembangan, aku sudah lupa dimana aku meletakkan obat penenangku. Apa kalian senang mendengar laporan yang sama selama tiga bulan belakangan ini?"

Daniel menundukkan kepalanya, memberikan penghormatan pada keduanya. Perlahan ia melangkah keluar ruang pnuh keramik itu, menjauh dari Seongwoo dan Jisung yang duduk berdampingan.

Satu tahun. Selama itu pula, Daniel mulai melakukan rutinitas barunya. Selama itu pula, Daniel berjuang dalam luka.

Entah ia harus menyesal atau berterima kasih atas tamparan Seongwoo pada dirinya, mengingatkan Daniel bahwa telah banyak kenyataan indah yang ia lewatkan. Luka itu masih ada, membekas dalam diri Daniel, dan ia bersumpah untuk tetap menjaganya. Daniel tak mau menghilangkan lukanya, karena di dalamnya tertoreh perjuangan sosok kakak dan kekasih yang membantunya meski keduanya telah pergi sekalipun.

Daniel mendongak, menatap langit yang seperti biasa, selalu cerah setiap kali ia mendatangi Seongwoo dan Jisung. Matahari mengintip malu-malu dari balik awan seputih kapas, mungkin akan merasa bersalah jika tertangkap basah memperhatikan sosok penuh luka di pelataran parkir itu.

Air mata mengalir turun, melintasi pipi Daniel, dan tepotong pada lengkung senyum miliknya.

"Terima kasih."

.
.
.

〔 ❁ -; ʜᴇ's ᴀɴ ᴀʀᴛ〕

.
.
.

a/n: masih ada chap tentang isi surat Daniel sama Jaehwan kok♡

Sejujurnya, sejarah awal adanya FF ini karena pelarian diriku sendiri atas rasa depresi. Di beberapa bagian menceritakan tentang kehidupan nyata yang aku alami. Aku akhirnya berani buka-bukaan kayak gini karena aku sadar, sekarang ini depresi seakan udah jadi konsumsi wajar di masyarakat. Tujuanku tulis FF ini karena aku mau mengingatkan, kalau masih ada sosok yang lebih hancur dari kita. Tapi bukan berarti masalah yang dimiliki sekarang justru dianggap hal sepele dan "ah, hanya masalah segini. Cuma segini tapi aku nggak kuat menahannya, lemah, bodoh."

Ingat, konsultasi dengan psikolog bukan berarti kita gila. Kalau aja aku punya waktu cukup, aku pasti mau untuk konsultasi. Tapi apa daya, aku sendiri memiliki waktu terbatas, terlebih aku konsultasi sendiri tidak ditemani siapapun, karena aku tidak pernah sekalipun menceritakan masalahku ke sosok didekatku. Sempatkanlah konsultasi, meskipun masalah itu kamu anggap ringan sekalipun.

Ukuran berat terhadap suatu masalah berbeda pada tiap manusia.

Last but not least,

Mungkin kamu merasa benci dengan hidupmu, tapi ingat, Tuhan tidak pernah tidur.

♡🖤♡
justitia non est neganda non differenda
Justice is neither to be denied nor delayed
♡🖤♡

XOXO,
Jinny Seo [JY]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top