Chapter XVIII

Sorry.

.
.
.

〔 ❁ -; ʜᴇ's ᴀɴ ᴀʀᴛ〕

.
.
.

Gelap, lembab, sesak. Tak ada udara segar yang berani mengetuk dan masuk ke dalam kegelapan menyakitkan itu.

Gemercik hujan di luar sana terkesan mengejek; mendeklarasikan betapa bebasnya mereka menari, membasahi dunia semau mereka, tanpa harus dikekang oleh siapapun, atau apapun.

Kebebasan? Omong kosong. Kebebasan di dunia hanya bagi mereka yang hidup dengan bahagia sejak mereka kanak-kanak. Kebebasan tidak diperuntukkan bagi dirinya, karena ia adalah sesosok boneka dengan tali sebagai penggeraknya.

Kebahagiaan terlalu kusam, abu-abu, berdebu di dalam sel-sel otaknya yang mulai tak waras.

"Kau boleh keluar."

Kalimat bernada datar itu dibalas dengan suara gemerincing besi yang saling bersahutan, berdenting satu sama lain ketika sosok dengan kedua tangan dan kaki dicekal rantai itu bergerak pelan. Kepalanya yang semula tertunduk, memikirkan hidupnya dan definisi kebahagiaan yang telah lama terlupakan, mulai bergerak perlahan hingga sepenuhnya mendongak. Maniknya sendu dan bergetar kala ia harus mempertemukan pandangnya dengan lawan bicaranya.

Tubuhnya berjengit, merasakan perasaan aneh ketika kulitnya bersentuhan dengan jemari lawan bicaranya. Elusan dari tangan yang selama ini mencekiknya, membunuh sinar bahagia dan sisi manusia seorang pria tak bersalah, hingga ia harus berkubang dalam dosa dan kegilaan secara bertahap.

"Kau sudah cukup menjadi anak yang begitu baik dan penurut, baby."

Seongwoo tertunduk lemas, membiarkan pamannya bekerja membuka rantai-rantai sialan yang memaksanya terdiam di lantai dingin ruang bawah tanah tanpa sehelai pakaian membalutnya. Tanpa sehelai benang, tak peduli dengan tubuhnya yang harus bersentuhan dengan lembab dan mungkin jamur atau sedikit lumut di bawah sini. Jangankan untuk peduli dengan lumut atau jamur atau serangga entah apa yang setiap hari merayapi kakinya, ia bahkan tak sempat untuk peduli dengan kehidupannya di hari esok.

"Apa kau tidak mau berterima kasih padaku?," paman Seongwoo menghentikan kegiatannya sejenak, membiarkan kunci dari rantai-rantai itu tertancap pada selotnya, tanpa berniat untuk memutarnya dan melepaskan Seongwoo. Pandangannya menusuk tepat pada kedua manik Seongwoo yang telah kehilangan pancarnya.

Seongwoo merintih pelan. Air mata menggenang tipis di pelupuknya, siap untuk meluncur turun melintasi pipinya, kalau saja ia tak ingat seberapa marahnya sang paman ketika ia menangis, bukannya menjawab pertanyaannya. Dan yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah membuka mulutnya, hendak mengucap patah kata, namun gagal. Tak ada patah kata yang keluar. Hanya tangis, dan isakan; wujud rasa sakit yang selama ini ia simpan untuk dirinya sendiri.

Kerongkongannya kering. Ia tak ingat, kapan terakhir kali ia meminum air. Pula ia tak berhasil mengingat, kapan terakhir kali ia makan. Mungkin seminggu lalu, untuk sepotong roti yang mungkin nyaris basi? Entah. Yang pasti, hanya sperma milik sang paman yang selama sekian hari ini membasahi mulut dan kerongkongannya, juga lambungnya.

Itu makanannya, setiap hari, setiap kali sang paman ia merasa ia membutuhkan bonekanya.

SLAP

Seongwoo memekik tanpa suara. Air mata yang menggenang, ia biarkan terjatuh. Rasa perih dan panas menyapa pipinya yang mulai menghilang, digantikan dengan tonjolan tulang pipi dan rahang yang lumayan kentara. Tamparan itu tak terlalu menyakitkan, dibandingkan dengan saat ketika ia masih memiliki sedikit cadangan lemak di pipinya. Ia sudah tak memiliki apapun di pipinya saat ini untuk ditampar.

Oh, tentu saja, kewarasannya. Pria tua dihadapan Seongwoo terus menampar kewarasannya, terus dan terus, hingga akhirnya Seongwoo benar-benar menghilang dan digantikan dengan boneka yang ia ciptakan sendiri, suatu saat nanti.

"Ah, kau tak bisa berbicara hm? Apa yang terjadi dengan baby kesayangan daddy ini?," telapak sang paman bergerak, mengusap surai hitam Seongwoo yang sudah lepek dan basah. Bau sperma menguar jelas dari sana. Tapi ia tak peduli, ia terus mengusap helai-helai hitam itu, meski tangannya terasa lengket dan bau.

"Baby haus? Baby mau makan?"

Seongwoo mengangguk terpatah. Ada sedikit rasa pusing mendera, ketika ia harus menaik-turunkan kepalanya, menjawab pertanyaan sang paman. Ia harus menjawabnya, meskipun ia muak dan tak ingin menjawab apapun saat ini. Ia tak mau mendapat guncangan lain di otaknya, ketika sang paman menampar pipinya berulang, di sisi kanan maupun kiri.

"Kalau begitu, ayo kita keluar hm?"

Kembali, pria dewasa itu melanjutkan pekerjaannya. Tangannya cekatan membuka tiap sisi rantai; kaki kanan, kaki kiri, tangan kakan, dan tangan kiri. Dengan sigap ia merengkuh tubuh lemah Seongwoo yang nyaris menghantam lantai di depannya, memeluknya, dan menggendong tubuh ringkih itu untuk keluar dari ruang bawah tanah yang telah ia tinggali selama sekian hari ini.

Lihat? Seongwoo mengerti dengan jelas, bahwa apa yang mereka katakan sebagai harapan hanyalah omong kosong, bualan yang ditujukan pada mereka yang bernasib sama seperti Seongwoo, agar mereka tidak membunuh diri mereka sendiri dengan cepat. Ayolah, itu tidak lucu, ketika suatu pertunjukan harus berakhir dengan cepat. Panggung sandiwara memiliki jalan yang panjang, dan tentu penuh kepalsuan akan rasa bahagia.

Setidaknya, dengan adanya harapan, keinginan untuk bunuh diri itu akan menghilang dari otak mereka beberapa saat, sebelum akhirnya kembali dan memakan kewarasan mereka yang berusaha bangkit. Harapan adalah narkotika untuk rasa sakit yang nyaris membunuh seseorang. Harapan itu ada untuk menghilang, kembali menyakiti sang individu, kemudian kembali untuk mengobatinya sementara, tanpa mengubah apapun.

Seongwoo duduk perlahan di kasur miliknya yang terasa berdebu, terlalu lama ditinggalkan oleh pemiliknya. Sang paman mengusap surai lengketnya perlahan, memperlakukan Seongwoo bak boneka yang akan pecah ketika ia salah menyentuhnya. Seongwoo tak menolak, ia tidak, sebab ia tak mau kembali ke ruang bawah tanah lagi, untuk kesalahan yang bahkan tak pantas untuk disebut sebagai sesuatu yang salah.

"Daddy akan pergi sebentar, apa kau mau aku mencari sesuatu untukmu, sayang?," tanya pria di sisinya yang kini tengah mengecupi bahu sempit Seongwoo. Ah, bahkan bahu itu bernasib sama seperti pipinya. Mereka kehilangan lemaknya, dan hanya menjadi seonggok tulang yang dibalut oleh kulit yang tampak begitu tidak sehat dan tidak baik-baik saja.

Seongwoo menggeleng perlahan, menahan rasa kaku yang menyakiti seluruh sendi tubuhnya. Air mata menggenang di pelupuk mata memerah itu. Beruntung, sang paman tidak melihatnya. Pria itu sudah berbalik terlebih dahulu, meninggalkan Seongwoo di kamarnya dengan kehampaan setelah mencuri sebuah kecupan dari bibir penuh luka Seongwoo.

"I'm a monster—kh," bisik Seongwoo dengan suara paraunya yang bahkan tak tak lebih berat dari hembusan angin.

Tubuhnya bergerak lemah, mendekat pada meja kosong di kamarnya. Jemarinya menarik beberapa carik kertas dan sebuah pena dari laci meja berdebu itu. Tangan Seongwoo lemah, tapi ia tetap harus menulis. Karena ia berharap, apapun yang akan ia tulis, adalah secercah harapan penuh omong kosong yang telah ia genggam selama ini.

Ia mengeluarkan secercah harapan miliknya, dari dirinya sendiri.

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

"Permisi—," Jaehwan menepuk pundak pria yang berjalan di depannya, berusaha memanggil pria setengah abad yang nampak tergesa di tiap langkahnya.

Pria itu menoleh, menatap Jaehwan dengan tatapannya yang tampak terganggu dengan kehadiran Jaehwan. "Apa yang kau mau?," tanyanya ketus. Nampak bahwa pria itu bukanlah seseorang yang mudah bersosialisasi, atau bahkan setidaknya mencoba sopan dengan seseorang yang memanggilnya di jalanan.

Hidung Jaehwan mengendus tanpa sadar ketika sesuatu yang begitu memuakkan dan aneh menyeruak ke dalam hidungnya. Smells weird, but Jaehwan know what was that.

Rasa takut menyergap hati Jaehwan. Kepalanya sempat berdentam, memikirkan rentetan kejadian yang tidak ia harapkan untuk terjadi. Meski tak menutup kemungkinan pula, bahwa kejadian yang tidak ia harapkan justru dapat terjadi.

"Permisi, apa tuan adalah paman dari Ong Seongwoo?"

Pria itu terdiam, nampak membatu di jalanan saat Jaehwan menyebutkan nama yang tentu saja tak asing baginya. Maniknya bergerak gusar, menghindari tatapan Jaehwan yang mengeruknya. Sikap defensif muncul darinya, menghindari Jaehwan entah karena apa.

Sayangnya, Jaehwan sudah mengerti terlebih dahulu latar belakang dari sikap defensif pria— ah, apa pria ini bahkan masih bisa disebut sebagai manusia?

"Saya merupakan teman Seongwoo. Akademik kampus mencarinya, sebab ia lama sekali tidak muncul di lingkungan kampus dan mengikuti perkuliahan."

Manik Jaehwan berkilat. Kedua tangannya mengepal, mencoba menahan luapan emosi yang nyaris memecahkan kepalanya detik itu. Jika saja ia tidak dapat mengontrol emosinya, mungkin saja pria di hadapannya ini sudah terkapar dengan lebam di seluruh wajahnya. Atau mungkin Jaehwan akan mematahkan hidungnya.

"Apakah itu adalah rumah paman?," Jaehwan menunjuk sebuah rumah dengan cat kusam yang menyelimutinya. "Saya melihat paman keluar dari dalam sana."

"Ya, itu rumahku," pria itu berbalik, mulai berjalan meninggalkan Jaehwan yang diam. "Dan tidak ada Seongwoo disana."

Hingga pria itu benar-benar menghilang di balik tikungan di ujung jalan, barulah Jaehwan menarik nafasnya panjang. Kedua tangannya merogoh saku jaket yang ia kenakan, mencari pisau lipat yang seingatnya sudah ia bawa.

"Dan tidak ada Seongwoo disana?," Jaehwan mendecih sembari tertawa pelan. "Persetan."

Jaehwan ingin masuk secara paksa ke dalam rumah itu, tadinya. Namun satu sisi dirinya yang lain mengatakan, bahwa itu adalah rencana bodoh yang tidak seharusnya dan tidak sebaiknya ia lakukan. Jaehwan tidak siap untuk bertemu kembali dengan Seongwoo dengan keadaannya yang ia yakini tidak baik-baik saja.

Yang ia lakukan adalah membuang pisau lipat itu di tempat sampah di dekatnya, mengeluarkan ponsel dari sisi lain kantung jaketnya, dan menelepon tiga digit nomor yang sudah ia ketik sebelumnya.

"Permisi, kepolisian? Saya rasa tetangga saya menyembunyikan sesuatu yang berbahaya. Ia bersikap aneh dan tampak mengalami gangguan kejiwaan. Sebelumnya, saya mendengar bentakan dan teriakan dari dalam rumahnya. Tampaknya terjadi tindak kriminal yang agak serius disini."

Suara percakapan terdengar di seberang, tampak menggumam sendiri dan ribut kemudian. Kesibukan di seberang telepon terasa penuh dan berlarian di gendang telinga Jaehwan.

"Nama?," Jaehwan memberikan jeda sejenak untuk sekedar menarik nafasnya yang terasa berat. "Jaehwan, Kim Jaehwan."

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

Anyir menyeruak. Tentu bukan aroma yang diharapkan oleh siapapun, terlebih untuk Jaehwan. Ia tak berharap, ia dapat mencium aroma besi berkarat yang begitu pekat seperti yang ia ingat beberapa tahun lalu. Dimana seharusnya ia menjadi seorang yang hadir disana, namun ia begitu terlambat, terlambat untuk segalanya.

Sayangnya, ia menciumnya saat ini. Di rumah sempit yang kumuh dan berbau aneh ketika ia menapakkan kakinya pertama kali ke dalamnya, aroma kematian menari dengan riang di dalamnya. Ia kembali pada mimpi buruk yang telah ia coba untuk pendam di bagian terdalam otaknya. Ia kembali pada rasa bersalah yang begitu memenjarakan dirinya selama ini.

Pekatnya aroma itu memenuhi hidungnya, merusak rasa percaya yang ia genggam kuat, melemahkan kedua tungkainya yang berusaha kokoh, membekukan seluruh syaraf di dalam otaknya. Jaehwan bersandar pada dinding rapuh di sisi kirinya. Pandangannya kosong, sementara telinganya mendengar teriakan-teriakan dari dalam sana.

Medis.

Tandu.

Darah.

Seorang pria.

Jaehwan mengikuti gerak tubuh yang dibawa pergi di atas tandu itu. Tubuhnya —jauh, jauh jauh lebih kurus dari yang pernah ia ingat. Luka yang mengisi tangannya —jauh, jauh lebih mengerikan dari yang terakhir kali ia bisa ingat. Tubuh itu tampak begitu lemah, begitu ringkih, begitu pucat.

Darah menetes dari pergelangan tangan yang tampak sangat lemas dan menggantung mengenaskan di sisi tandu. Luka yang membujur tampak dalam, dan menyakitkan; menyuratkan betapa tersiksa dirinya atas kehidupan yang ia jalani.

Ia berhak untuk hidup yang lebih baik. Ia sangat sangat berhak, untuk dirinya yang begitu ceria, begitu kuat, begitu mampu untuk mencoba menggenggam serpihan dosa yang menyakiti dirinya.

Air mata Jaehwan mengalir, dalam pandangan kosong dan kehampaan yang memeluk dirinya begitu kuat, mencekiknya di pangkal leher dengan begitu menyakitkan hingga nafasnya tersenggal.

Jaehwan tidak siap. Ia tidak siap menghadapi dirinya sendiri. Ia tidak siap melihat rasa takutnya kembali. Namun kenyataan justru berbalik, menyerang dirinya, menghempaskan tubuh kakunya ke lantai.

Jaehwan terduduk. Derai air mata mencoba menyokong sang pemilik tubuh untuk tegar, sementara maniknya menatap tetesan darah yang sangat mengejek ketidakberdayaannya, kembali. Tubuhnya bergetar hebat atas luka yang tertoreh di hatinya, menampar wajahnya begitu keras dengan tanggung jawab tersirat yang ia ciptakan sendiri atas tubuh tak berdaya di atas tandu.

Mereka meninggalkan Jaehwan sendiri, dalam kekosongan, sementara suara teriakan amarah dan percakapan antar polisi di luar sana terdengar begitu memekakkan telinganya. Sirine ambulance sudah menjauh terlebih dahulu, melesat dalam kepanikan dan ketergesaan.

Telapak tangan Jaehwan meremat erat dua lembar kertas di genggamannya hingga keduanya kusut. Kertas dengan nama Jaehwan di bagian atas tampak berhias tetes darah. Semua darah di sekelilingnya saat ini memang ditujukan untuk menghina dirinya, mendorongnya ke dalam jurang ketakutan.

Rasa penyesalan mengguyur tubuhnya bak air dingin, membekukan setiap sendinya. Ia tidak pernah mengharapkan ini terjadi, ia tentu tak ingin hal ini terjadi. Ia tidak hadir disini untuk menjadi saksi atas kejadian serupa untuk kedua kali dalam hidupnya.

Kenapa ia harus melihat sebuah senyuman terlukis di wajah pucat dan lelah milik Seongwoo?

Ia ingin Seongwoo bahagia,

—namun Seongwoo tampak telah menemukan kebahagiaannya sendiri.

.
.
.
.
.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
* . · . ✧ THE ˚ END ✦ . · . *
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *

.
.
.
.
.

a/n:

TOLONG JANGAN MARAHIN DIRI Q

KALAU MASIH PUSINQ, TOLONG PEGANGAN DULU SEBENTAR, W PASTI BALIK

Bcs you guys loves "The One That Got Away" right? So do I. Who doesnt love that song?

MASIH ADA SATU CHAP LAGI TOLONQ, JANGAN MARAHI SAYA, BCS I LOVE YOU GUYS, I REALLY DO❤❤❤

Sedih ga sih? Apa berhasil kena percikan percikan pedih karena aku lagi potong bombay disini? Nangis dong, w nangis, ga mau pisahㅠㅠ

You're speechless, well me too. But i'm sorry, so sorry for breaking your heart into pieces. Hope you can wait for me to write some epilogue, bcs im workin on it right now.

Honestly, its hard for me too. He doesnt deserve this plot, he's suffering alone, and his friends try to help him, but he just cant. He cant walk away, he already chained by the dark. Kenapa aku ga apdet apdet, kenapa aku justru apdet FFku yang lain, bcs this is too heart-breaking for me. Mungkin aku terlalu menghayati atau apalah itu, tapi ini terlalu membuatku frustasi bahkan untuk sekedar nulis beberapa patah kata di FF ini.

I'm so sorry for being too late. Sorry not fulfilling your wishes.

I'm gonna say, it was a happy ending. Why? I hope you guys can understand. If you still dont get it, i'll explain it in the next chapter.

XOXO,
Jinny Seo [JY]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top