Chapter XVI

.
.
.

〔 ❁ —; ʜᴇ's ᴀɴ ᴀʀᴛ

.
.
.

Derap langkah terdengar menggema dan bersahutan. Lorong rumah yang sepi itu berubah menjadi gaduh. Daniel, pria yang tengah terduduk di atas kasur, menundukkan kepalanya dalam.

"Brengsek!"

BUAGH

Jaehwan, sosok yang baru saja berlarian di rumahnya sendiri, segera menerjang Daniel hingga keduanya berguling di lantai. Pukulan bertubi ia layangkan pada wajah Daniel. Pria Busan yang juga merupakan sahabatnya itu diam saja menerima, tidak sedikitpun ia mengelak dari hantaman kepalan Jaehwan.

"Jaehwan–ssi, sudah! Astaga, Jaehwan–ssi!"

Pria yang turut serta berkunjung ke rumah Jaehwan, menarik pundak pria Kim itu untuk menjauh dari Daniel yang sudah dipenuhi lebam karena hajarannya. Namun Jaehwan mengelak. Bahunya melempar telapak yang ada disana tanpa menoleh.

"Apa yang kau tau soal Seongwoo, bangsat! Katakan padaku, apa yang kau tau darinya?!"

Daniel mengerjap lambat.

Memang, apa yang ia tau tentang Seongwoo?

Pria itu punya surai hitam, konstelasi bintang di pipinya, wajahnya kecil, dan memiliki marga Ong. Pria itu memiliki kadar humor yang tinggi. Seongwoo juga sangat indah untuk tidak disebut sebagai karya seni.

Ah, benar.

Daniel tau satu hal.

Ia telah menghancurkan Seongwoo melalui amarahnya.

Daniel menatap Jaehwan. Sebuah tatapan sulit diartikan ia berikan sebagai jawaban. Mungkin pria Busan itu tidak akan menjawab jika Jaehwan tidak mencengkram kerah bajunya dan mengguncang tubuhnya.

"Aku— telah menghancurkannya—"

"Hah!" Jaehwan mendengus keras; terdengar sarkastik dan penuh amarah disana. "Lihat? Betapa rendahnya nilaimu untuk disebut sebagai orang yang mencintainya, Daniel."

"Apa yang—"

"Pasang telingamu baik–baik, bangsat. Aku akan memberikan fakta yang perlu kau tambahkan dalam catatan mengenai Ong Seongwoo yang kau miliki."

Daniel menautkan alisnya, tidak paham dengan arah pembicaraan yang Jaehwan utarakan.

"Seongwoo, karya seni yang kau puja itu, bahkan sudah hancur jauh sebelum kau bertemu dengannya."

"Apa maksudmu—"

"Maksudku?" Jaehwan menarik senyum miring penuh ejekan dan melemparkannya pada Daniel. "Maksudku katamu? Maksudku adalah menggaris–bawahi bahwa KAU telah memperparah luka yang ia miliki. Menurutmu, hanya kau yang bisa sakit disini? Menurutmu, Ong Seongwoo si manusia konyol tidak mungkin dan tidak akan pernah memiliki rasa sakit yang bahkan lebih parah dari dirimu? Menurutmu, hanya dirimu yang memiliki ketidak–sempurnaan, Kang Daniel?"

Jaehwan menatap Daniel yang telah mengalihkan fokusnya. "Kau, Seongwoo, aku, semua orang; Kita bukan dan tidak terlahir untuk menjadi sempurna, Danik."

"Apa— yang terjadi dengan Seongwoo?"

"Apa kau percaya dengan kasus terjadinya kekerasan seksual terhadap wanita ataupun pria, yang dimana pelakunya adalah anggota keluarganya sendiri?"

Daniel menatap Jaehwan dengan kelopak mata terbuka lebar. "A–pa yang kau maksud—"

"Apa kau percaya, Daniel," Jaehwan menarik nafasnya yang perlahan memburu. "Apa kau percaya, salah satu faktor dari kasus self–harm adalah... Karena hal itu?"

Segalanya berubah semu.

Bagaimana seluruh ingatan ber–rotasi dengan cepat dan bertubrukan dalam kepalanya, menciptakan sebuah rasa sakit dan sesak pada dirinya, ia tidak pernah membayangkan.

Daniel ingat, ketika ia terbangun dengan sosok manis yang terbaring mengenakan pakaiannya di atas kasur yang sama, ia melihat ada banyak sayatan membentang mengisi lengan kurus itu.

Daniel ingat banyak hal. Ia ingat, bagaimana Seongwoo nampak lebih pucat dari biasanya. Ia ingat, bagaimana guratan letih terselip di dalam senyum dan tawa konyolnya. Ia ingat, bagaimana Seongwoo sering memandang kosong pada beragam objek yang ada disekitarnya.

Bahu Daniel meluruh.

Jadi, apa yang ia ketahui tentang Seongwoo, karya seni yang sudah rusak di balik kanvas tempat dirinya terlukis?

[ALL FOCUS]
[Stat: On Hold]

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

[SEONGWOO's FOCUS]
[Stat: Started]

Seongwoo percaya pada guratan takdir hidupnya yang tidak tertuang kebahagiaan di dalam sana. Ia banyak mengira, mungkin Tuhan lupa memberikan setidaknya satu sendok tentang kebahagiaan dalam garis hidupnya.

Katakan ia sosok yang hidup dalam dunia fantasi. Dimana ia melihat bintang jatuh, ia akan berdoa sepenuh hati. Dimana ia menemukan semanggi berkelopak empat, ia akan merawat daun itu dengan penuh harap.

Omong kosong.

Dunia Seongwoo tidak di rancang untuk merasakan senyum bahagia yang tulus. Dengan segala raut wajah yang ia ciptakan dan simpan, Seongwoo bisa berubah menjadi sosok yang ia ingin semau hati.

Seongwoo si konyol.

Seongwoo si ramah.

Seongwoo si tampan.

Seongwoo, Seongwoo, Seongwoo; segalanya tentang bagaimana Seongwoo menempatkan, mengatur, dan memakai raut wajah koleksinya dengan begitu baik.

Bangsat.

Bagaimana pun, pertunjukan harus tetap berlanjut. Bukankah begitu?

Seongwoo tidak ingat lagi apa yang disebut rasa sakit. Segalanya telah berubah menjadi semu di dalam pandangannya.

Apa ketika dirinya menjadi begitu rendah di hadapan sang daddy disebut sebagai rasa sakit? Ketika dirinya dimasuki, dihentak, disiksa, dan hal sejenis lainnya, disebut sebagai rasa sakit?

Atau ketika ia menyadari bahwa ia tidak lagi memiliki apa yang disebut sebagai harga diri oleh orang–orang, apakah itu disebut sebagai rasa sakit?

Dua obsidiannya memperhatikan rantai yang mengunci pergerakan dua tangannya. Di bawah sana, hal serupa juga terjadi pada kaki jenjangnya. Dinginnya lantai tidak membuat tubuhnya menggigil, meski tidak ada kain yang melapisi tubuh kurusnya sekalipun.

Seongwoo merasa mati rasa.

Bukan hanya karena luka memanjang akibat cambuk di sekujur tubuhnya, atau lebam karena pukulan di dada juga wajahnya, atau juga bagian–bagian organ tubuhnya yang menjadi sasaran untuk diisi berbagai benda sialan.

Ini adalah jantungnya. Detak kehidupan yang biasanya ada disana, meski hanya secercah, kini Seongwoo sudah kehilangan detak itu.

Seongwoo tidak tau dimana dan kemana perginya rasa hidup yang ia miliki. Hal itu menguap seiring kewarasannya yang terus terguncang. Hidup dengan tubuh menyedihkan seperti ini membuatnya lupa dengan cara hidup bak manusia pada umumnya.

Nafas Seongwoo melambat. Kelopaknya terpejam, meresapi tiap jengkal epidermisnya yang sudah tak memiliki celah lagi untuk luka. Diantara sayat pada tubuhnya, Seongwoo menyadari satu hal.

Mungkin, hidupnya memang ditakdirkan seperti ini.

Mungkin, ia memang harus menungging bak anjing haus belaian dan menjadi baby boy yang baik.

Mungkin, ia memang boneka yang memiliki jiwa.

Seongwoo meniup surai hitam yang lumayan menutupi maniknya. Sudut bibirnya tertarik ke samping, melengkungkan senyum yang tentu akan dilabeli sakit jiwa jika orang lain melihatnya.

Seongwoo terkekeh.

"Boneka. Boneka Ong Seongwoo."

"Daddy, Daniel, Jaehwan, semuanya! Aku harus membiarkan mereka semua memasukiku!"

Tawa putus–putus mengalun, mengisi ruang kosong bawah tanah itu. Suaranya tidak cukup menggema, namun terdengar begitu tersenggal dan menyedihkan.

"Ong Seongwoo, boneka hidup."

"Uwah, tanganku bisa bergerak."

"Aku memiliki jari."

"Apa ini lidah?"

"Aku bisa bernafas!"

Seongwoo menurunkan fokusnya. Kepala mungilnya menunduk dalam. Surainya yang sudah basah oleh keringat turut bergerak turun dan menutupi keningnya.

"Aku— itu mati.. Benar, bukan?"


.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
To be continue
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
.
.
.
.
.

a/n: PENDEK YA. Iya, bisa dilihat yeorobun, diatas adalah bukti nulis kehabisan waktu itu seperti apa;)

Udah ah, saia mau misuh aja nulis chap ini, asli;_;

Jangan lupa vomment, yeorobun;)

XOXO,
Jinny Seo [JY]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top