Chapter XV

.
.
.

〔 ❁ —; ʜᴇ's ᴀɴ ᴀʀᴛ

.
.
.

Ia melangkah terseok. Banyak pasang mata memandangnya heran. Melihat bagaimana kacaunya penampilan dia, yang terlintas di pikiran mereka pertama kali adalah; pria itu mabuk.

Jaehwan tidak mabuk. Memang, ia tampak seperti pemabuk saat ini. Surai hitamnya berserakan ke tiap sisi, wajahnya basah dan sembap, pandangannya pun kosong memandang jalanan.

Ia terus berjalan lurus. Entahlah, ia sendiri tak yakin. Ia terus bertanya, kenapa ia berjalan di jalan ini, menuju satu tempat dimana ia sendiri tak pernah mendatanginya. Ia berjalan lurus, berbelok, dan menaiki tangga beberapa kali tanpa mendongak.

Pada akhirnya, Jaehwan berhenti di depan sebuah pintu kayu setelah melangkah selama sekian puluh menit; membelah trotoar bak pemabuk yang kehilangan arah. Yang ia lakukan hanya diam, tidak mengetuk, tidak juga berusaha membuka pintu itu; membiarkan pintu itu bergeming diam di tempatnya.

Klek

"Astaga!"

Seperti keajaiban, pintu itu terbuka. Seseorang dibaliknya membelalak terkejut melihat sosok Jaehwan yang mendadak ada di depan apartementnya. Jelas tidak terlintas di kepalanya bahwa pemuda Kim itu akan muncul secara mendadak di depan apartementnya seperti ini.

Jaehwan mendongak, menemukan pria di balik pintu dengan ekspresi terkejut.

"Aku— boleh masuk?"

Pemilik apartement mengangguk cepat tanpa berpikir panjang. Diraihnya pergelangan Jaehwan lembut, dan menariknya masuk ke dalam apartement.

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

[BGM: You, Clouds, Rain — Heize ft. Shin Yong Jae]

Perlahan, kelopak mata sosok pria di atas kasur terbuka. Bagaimana suara hujan di luar sana terdengar begitu memekakkan telinga berhasil menjemput kesadarannya. Objek yang pertama ia lihat adalah silau lampu yang menerangi, juga tempat yang tak asing namun.. bukan apartementnya.

Seketika, seluruh kelebat bayangan berlalu cepat di kepalanya. Bagaimana ia menjadi sosok yang lain, bagaimana ia menyakiti apa yang seharusnya ia jaga, bagaimana... Ia merusak segalanya.

Bagai domino, seluruh hal dalam tubuhnya runtuh secara berderet. Baik jiwanya, tubuhnya, juga hatinya.

Daniel mencengkram kepalanya yang berdenyut keras. Seluruh putaran film yang mengisi otaknya mulai saling bertabrakkan. Memori dirinya mulai berubah menjadi acak.

Pria Busan itu menoleh. Mendapati adanya punggung mungil dan pucat di sisinya, tengah memunggunginya, Daniel sudah pasti tau siapa sosok itu. Maniknya menatap sosok tersebut dari ujung hingga ujung, mulai dari surai hitamnya yang dibasahi keringat, lalu turun ke tubuhnya yang tak terbalut apapun, hingga berakhir pada dua kaki yang tertekuk kedinginan itu.

Daniel menggerakkan tangannya yang gemetar, hendak menyentuh pundak sosok itu. Pada saat dimana tangannya hanya butuh beberapa senti untuk mencapai pundak ringkih itu, ia berhenti.

Dua maniknya terbelalak, memperhatikan sang surai hitam yang secara tiba—tiba bergerak gelisah dalam tidurnya.

"T–tidak, ma–af—"

Nafas Daniel menderu secara pasti. Telapaknya menyentuh pundak kurus itu perlahan. "Seongwoo—"

"T–tidak— m–maaf dad, ma–af—"

"Seongwoo?"

"Tidak! K–kumohon jangan! Tidak!"

Liquid bening mulai terpupuk di kelopak Daniel. Wajahnya berubah padam dengan tubuh bergetar, sementara Seongwoo masih bergerak mengelak dari tidurnya.

"Seongwoo—"

"Maafkan aku! M–aaf— maaf dad—"

"Seongwoo!"

"Sakit! Le–paskan! Hiks, kumohon—"

Daniel membalik tubuh Seongwoo. Dua telapaknya mencengkram masing–masing pundak sang surai hitam. Dengan kekuatan sedang, ia mengguncang tubuh Seongwoo; berharap pria itu sadar dari tidurnya dan mimpinya.

"Seongwoo!"

"AAAA!"

Kelopak berbulu mata lentik itu terbuka secara tiba–tiba, menampilkan manik yang terbelalak dan bergetar. Tubuh kurusnya membusur, seakan baru saja di pasangkan alat pacu jantung pada dirinya.

Daniel adalah sosok pertama yang Seongwoo lihat. Pria yang kini ada diatasnya itu menatapnya dengan wajah yang kehabisan kata–kata untuk diucap. Seongwoo sendiri tak berkedip barang sekali pun; masih terkejut dengan segala hal yang mendadak mencekik lehernya.

Daniel, masih menatap Seongwoo dalam, tak berpikir panjang. Apakah Seongwoo akan membencinya setelah ini, terserah. Ia hanya ingin memberikan sebuah rengkuhan pada Seongwoo yang masih mengalirkan air mata tanpa disadari sang pria.

Daniel segera menarik tubuh Seongwoo ke dalam pelukan lebarnya. Ia merendahkan tubuhnya, dan tetap berusaha menjaga beban tubuhnya agar tak memberatkan Seongwoo. Daniel bisa merasakan bagaimana Seongwoo terdiam kaku dalam pelukannya.

Daniel tak bisa menahan rasa sesak di hatinya, rasa sesak yang membuatnya ingin menjerit dan marah.

Marah?

Apa dengan marah, ia akan menghancurkan Seongwoo lagi?

Atas dasar apa ia harus marah?

Ini semua, bagaimana Seongwoo memandangnya penuh ketakutan, adalah seluruh kesalahan Daniel.

Daniel menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Seongwoo. Air matanya dipastikan menetes jatuh membasahi ceruk sang surai hitam

"Maaf. Maafkan aku, maafkan aku Seongwoo. Maaf. Maaf Seongwoo, maaf."

Suara Daniel pecah di ujung kalimat. Tubuhnya bergetar menahan tangis yang terlihat begitu mengejek ketidak–berdayaannya.

Yang Daniel dapati adalah, Seongwoo tetap diam.

"Maaf Seongwoo, kumohon maafkan aku. Atas seluruh kesalahan yang tak bisa dimaafkan ini, aku benar–benar memohon padamu. Kumohon Seongwoo, maafkan aku. Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf. Bagaimana aku menyakiti dirimu sebegitu parah, kumohon maafkan aku. Kumohon Seongwoo—"

"Daniel."

Hening langsung melanda ketika suara Seongwoo menyeruak dari balik bilah bibirnya.

Daniel tidak mendongak. Ia diam, tetap menaruh wajahnya pada ceruk leher Seongwoo, sementara indra pendengarannya berubah sensitif; mengenali suara Seongwoonyang begitu payah dalam berucap di sela hembusan nafasnya.

"Aku memaafkanmu."

Apa?

"Bisakah kau berjanji satu hal padaku?"

Daniel mengagguk terpatah.

"Tolong, jauhi aku."

A–pa?

Daniel menarik Seongwoo semakin erat, tak peduli apakah pria itu akan kehabisan nafas dalam pelukannya atau bahkan pingsan karena pelukannya yang terlampau erat.

"Aku— tidak bisa. Aku sangat mencintaimu. Aku— tidak bisa," Daniel berbisik kalut.

"Aku menghargai perasaanmu—," Seongwoo mendorong tubuh Daniel dari dirinya tegas, meski sebenarnya, ia sangat lemah saat ini. "—Tapi aku tak bisa membalasnya, memberikan hatiku pada seseorang yang baru ku kenal—," Seongwoo menarik nafas, "—dan menyakiti diriku."

Daniel terdorong perlahan namun pasti dari atas Seongwoo. Pria itu tidak berontak. Ia terdiam dengan wajah terkejut dan penuh kesakitan. Bahkan ketika Seongwoo melangkah turun dari kasur, memunguti pakaiannya dengan langkah tertatih, dan keluar dari kamar utama rumah Jaehwan, Daniel tetap diam di tempat.

"Kau— p–pergi?" ucap Daniel tepat ketika Seongwoo mencapai daun pintu.

Seongwoo tidak menoleh. Ia justru menunduk menatapi lantai rumah Jaehwan.

"Aku harus pergi."

Seongwoo berlalu, meninggalkan Danuel di kamar utama dengan keadaan mematung.

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

"Ini— salahku, bukan?"

"M–maaf?"

Jaehwan mendongak. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis pada pria yang baru saja duduk di seberangnya setelah meletakkan cangkir teh untuk Jaehwan.

"Ini semua salahku."

"E–m, maaf, aku tidak paham apa yang kau ucapkan— Jaehwanssi."

Jaehwan menyandarkan punggungnya dengan hela nafas panjang. "Ini— mengenai tanggung jawab... Mengenai bagaimana aku begitu bodoh karena tidak mampu menyelamatkan orang–orang disekitarku, sementara mereka memikul beban yang berat," Jaehwan mempertemukan pandangnya dengan sang pria, "sementara aku hanya berdiri, memandangi mereka, dan baru mendekat ketika mereka sudah tidak berdaya."

"Sebenarnya, tidak semua hal yang dilimpahkan padamu menjadi tanggung jawabmu. Pada akhirnya, kau tidak bisa mencampuri pilihan orang–orang disekitarmu. Sekeras apapun, seberusaha apapun, seingin apapun— ketika kau ingin menolong orang lain dengan tanggungan tanggung jawab di punggungmu, pada akhirnya, dia yang memutuskan. Apakah ia mau diselamatkan, atau, apakah ia mau tetap berkubang dalam hal yang membuatnya tak bisa bangkit. Bahkan jika kau adalah keluarga sekali pun, tetap sama saja. Semua adalah mengenai pilihan dan keinginan— astaga, ya Tuhan. Maaf, astaga, maaf jadi menceramahimu seperti ini—"

Jaehwan melebarkan senyum lelahnya yang bercampur menjadi satu dengan senyum lembutnya.

"Tidak apa. Terima kasih— Sewoon–ah."

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

◻◼◻
Ong

Terima kasih sudah menolongku, Jaehwan. Maaf tidak bisa membalas kebaikanmu. Aku akan pulang ke rumah.

Terima kasih, maaf.

◻◼◻

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
To be continue
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
.
.
.
.
.

a/n: Bhay mama Ong /lambaiin tangan/ /kemudian dikeroyok/

Aduh gatau ini nulis apa hh. Maaf terlambat apdet ya yeorobun, ini masalah inspirasi dan fisik;_;

Apa nge–feel? Engga ya? Hh, myane🙀

Anyway, lagu Heize yang diatas itu fav saia🌚 Lagunya ena buat mewek ya kan eHEHEHE🌚

XOXO,
Jinny Seo [JY]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top