Chapter XII
.
.
〔 ❁ —; ʜᴇ's ᴀɴ ᴀʀᴛ〕
.
.
.
Jaehwan melirik Seongwoo yang terus menunduk di meja makan rumahnya. Semenjak kedatangan mereka dua puluh menit lalu, yang dimana berarti menit dimana Seongwoo mulai menetap dirumahnya tanpa membawa apapun.
Jangan kira Jaehwan tidak mengizinkan Seongwoo pulang untuk mengambil pakaian karena ia ingin segera mencumbu kasurnya. Jaehwan sudah sempat menawari pria itu, meski mereka harus naik bus; Jaehwan bukan Daniel yang punya kendaraan pribadi selain sepeda.
Seongwoo menolak dengan ribut dan kelopak menyipit.
Sekali lagi Jaehwan melirik Seongwoo yang masih tertunduk, tampak asyik menatapi perban di lengannya.
"Kau mau bercerita?"
Seongwoo tersentak. Maniknya melepaskan pandang dari Jaehwan setelah sempat bertubrukan. Ia tampak jelas sangat canggung untuk menyampaikan ceritanya pada Jaehwan.
Jaehwan mengusap tengkuknya ragu. "Kau bisa menyimpannya, maksudku, ceritamu. Aku tidak memaksa—"
"S–self harm," bisik Seongwoo dengan fokus yang berhamburan. "Menyalurkan rasa frustasi dengan menyakiti diri sendiri."
Jaehwan memajukan tubuhnya, mulai tertarik dengan penjelasan pria kurus di depannya. Jaehwan tau, ia tau bahwa Seongwoo adalah seseorang yang melukai dirinya sendiri sejak ia di telpon pihak rumah sakit beberapa waktu lalu. Ia hanya tidak ingin mengungkitnya hingga Seongwoo memaparkannya sendiri.
Seongwoo mendongak. Pada akhirnya ia membiarkan manik hitam jelaganya membalas tatapan Jaehwan.
Jaehwan menyadari sebuah rasa sesak mendalam yang tersirat di manik itu.
"Aku— dirawat seorang.. bajingan... Sejak appa dibunuh pesaing bisnisnya dan eomma masuk rumah sakit jiwa," Seongwoo memutus sejenak kalimatnya karena sesak yang menghimpit. "Dia mengajariku banyak hal, tentang bagaimana menjadi seorang baby boy yang baik untuk daddy yang memberinya pertolongan akan kesempatan hidup. Ia mengajariku bahwa sebuah peraturan tak boleh di langgar, bahwa ucapannya adalah perintah mutlak— bahwa aku hanya menjadi pemuas baginya. Dan ketika semuanya berlangsung, untuk pertama kalinya dalam usia ketiga–belas, aku— aku— melakukannya."
Bahu Jaehwan meluruh. Tawa sumbang dan mengerikan yang teralun dari Seongwoo bagai untaian penuh luka yang mengikat dirinya.
Seongwoo berdeham. "Aku menemukan kebahagiaanku dari rasa luka ini," manik hitam itu turun, menelusuri perban yang menutupi lukanya.
Seongwoo kembali mendongak. Sebuah senyum menyita fokus Jaehwan.
Juga air mata yang mengaliri pipi tirus karya seni pujaan Daniel.
Jaehwan memalingkan wajahnya, menolak menatap Seongwoo yang pecah disana. Ia tak bisa menatap Seongwoo karena rasa sesak di dalam dirinya.
Dan perasaan itu kembali muncul. Perasaan bersalah yang mengurungnya dalam sangkar dingin nan gelap.
Dahi Jaehwan berdentam. Tangannya terulur, gemetar meraih gelas minumnya, dan menandaskan isinya tak bersisa dengan sedikit tergesa.
Keduanya terdiam. Seongwoo dengan kepingan dirinya, sementara Jaehwan dengan usaha meredakan deru nafas dan detak jantungnya.
"Daniel memiliki sebuah trauma," Jaehwan menarik nafas panjang sebagai jeda. Susah payah ia menelan saliva untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering.
"Trauma?"
"Dari usia enam tahun. Waktu itu, bibi Kang melihat Daniel bermain di jalan raya. Sebuah mobil melaju cepat, dan— menabrak bibi Kang yang menyelamatkan Daniel. Bibi Kang sempat kritis, dan saat itulah, Daniel mengalami trauma," Jaehwan mendongak, menemukan pandangannya dengan Seongwoo lagi. "Dia trauma dengan luka dan rasa sakit fisik orang lain."
Seongwoo terdiam dalam keheningan mencekik. Irisnya tampak bergetar mendengar baris kalimat yang Jaehwan sampaikan.
"Semua semakin bertambah parah karena kematian hyung kesayangannya. Hyungnya ditemukan meninggal dalam keadaan overdosis juga melukai dirinya sendiri."
Tatapan penuh arti Jaehwan berikan pada Seongwoo yang terus terdiam tak percaya.
Jaehwan menghela nafasnya cukup panjang. "Hari itu, hari dimana Daniel mengajakmu bertemu... Hari itu sudut bibirmu terluka."
Seongwoo terbelalak lebar. Rahang bawahnya terjatuh. Tubuhnya —meski ia tengah duduk di kursi— oleng ke sisi kanan; beruntung ia bisa menahan dirinya untuk tidak tersungkur ke bawah.
"Daniel memujamu. Ia begitu memuja dirimu hingga melupakan segalanya."
Jaehwan meraih telapak Seongwoo. Ia menggenggamnya cukup erat hingga Seongwoo menatapnya setengah meringis.
"Kumohon, bantu dia untuk sembuh."
"Apa?"
"Daniel bukan trauma. Itu bukanlah trauma. Apa yang terjadi padanya adalah karena ia merasa gagal melindungi apa yang dia sayangi. Ia marah atas dirinya sendiri."
Seongwoo melepaskan cengkraman Jaehwan terpatah, menimbulkan tanda tanya besar pada sahabat Daniel itu.
"Aku— aku tidak bisa—"
Jaehwan mengernyitkan alisnya, antara tersulut dan terkejut. "Maaf?"
"A–ku tidak bisa. Aku tidak bisa menyembuhkannya. A–aku tidak menolong dirinya dengan diriku yang terluka ini," ucap Seongwoo setengah bergetar. Genangan transparan tampak mengisi balik kelopaknya perlahan.
"Daniel membutuhkanmu, Seongwoo."
"Tidak!" bisik Seongwoo dengan nada putus asa. "Bukan aku— bukan aku, Jaehwan. Aku tidak bisa—"
"Tidak," putus Jaehwan dengan suara bergetar di tiap hurufnya. "Kau tidak bisa, tapi kalian bisa."
Seongwoo menatap Jaehwan penuh siratan luka dan menuntut.
"Kalian bisa saling menyembuhkan. Kalian bisa saling menguatkan. Kalian tercipta untuk saling merangkul, menghapus trauma kalian bersama!" Jaehwan menyentak mundur kursinya. Ia berdiri meski sedikit limbung; terpengaruh amarah yang mulai menyelimuti dirinya. Itu sangat jelas terdengar dari nada suaranya yang meninggi.
"J–Jaehwan—"
"Kalian berdua bodoh! Sangat lemah! Kalian lemah karena tak pernah mencoba bangun dari tidur kalian! Kau—," telunjuk Jaehwan mengarah tepat pada Seongwoo. "Kau dan Daniel sama saja. Kalian berusaha lepas dari trauma kalian, tapi kalian tetap mengurung diri kalian dalam ketakutan tak berujung itu! Untuk apa hidup kalian jika bukan melepaskan diri? Untuk apa kalian membiarkan kebahagiaan kalian membusuk, digantikan dengan rasa takut takut dan takut. Apa kalian hidup dari rasa takut itu? Apa kalian makan dari rasa takut itu? Apa kalian bernafas dari rasa takut itu? Apa kalian terlampau bodoh untuk menyadari bahwa tindakan kalian membuat kalian hidup tanpa jiwa?!"
Jaehwan...
Jaehwan membungkuk sedikit pada Seongwoo yang terbelalak, menangis dalam keadaan mematung.
"Aku permisi. Kamarmu ada di seberang kamarku."
Jaehwan berlalu tergesa. Langkahnya menyentak lantai, menuju kamarnya sendiri tang terletak tak jauh dari ruang makan. Suara debuman akibat pintu yang menutup keras terdengar kemudian.
Bukankah kau juga begitu, Jaehwan? Mengurung dan menyalahkan dirimu sendiri?
.
.
.
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
Jaehwan menyandarkan tubuhnya pada daun pintu, membiarkan dirinya yang lemah merosot ke bawah.
Jemarinya terselip di antara surainya, mengacak helai hitam bergelombang disana, juga menjambaknya. Ia meringis, bukan karena rasa sakit akibat jambakannya, tapi karena sesak yang menghimpit dirinya.
Jaehwan kembali menyalahkan dirinya sendiri.
Pria Kim itu mendongak. Sebuah senyum yang sangat menyedihkan menghias di wajahnya, juga air mata turut melintas turun dari kelopaknya menuju pipinya.
"Hyung."
Lengan Jaehwan terulur, menggapai udara kosong di depannya. Sebuah gerakan mendekap ia lakukan setelahnya.
"Bantu aku, kumohon," bisik Jaehwan bergetar.
Jaehwan mendongak, kembali menatap udara kosong yang ia rengkuh. Kelopaknya terpejam, seakan menikmati usapan pada surainya.
Objek imajinasi itu tercipta akibat rasa bersalah yang menghantui dirinya.
Nyatanya, ia hanya memeluk udara kosong. Tidak ada apapun disana. Tidak ada objek atau sosok yang ia panggil hyung.
Jaehwan menurunkan rengkuhannya. Irisnya menatap dua telapak tangannya dalam dengan tatapan sulit di artikan, kemudian membawa keduanya untuk menutupi wajahnya.
Jaehwan menangis.
Raungan, isakan, dan rasa sesak ia hantarkan tanpa suara. Hanya udara yang keluar dari mulutnya.
Ia berdosa.
Ia berdosa atas jiwa dua manusia.
.
.
.
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
To be continue
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
.
.
.
.
.
a/n: Saya yakin yeorobun sekalian akan bertanya mengenai hal yang menggambarkan isi chap ini.
Ada apa dengan bapak Jaehwan yth?
Nggak, Jaehwan nggak seperti Danik atau Ong kok. Saya udah tegaskan berulang diatas, apa yang terjadi pada Jaehwan.
Mau jawaban lebih jelas?🌚
Hehe
Selasa depan ya yeorobun🌚 Mayan lho Selasa depan dd apdet Addicted sama He's an Art; hebat jadwalnya bisa pas di hari yang sama;_;
Nggak hebat karena saia harus mikir untuk dua cerita yang berbeda 180° dalam suasananya;_;
Yaudah saia tabah;)
Ah tapi, chap ini gimana yeorobun? Bikin dugeun dugeun apa gimana nih? Fyi, saia nulisnya baru sore tadi sumpah. Nemuin mood baper itu susah yeorobun;_;
Happy Independence Day!
Semoga semua yang ada di FF ini segera di merdekakan dan hidup bebas🌚
Jangan lupa memberikan bintang dan komentar ya;)
XOXO,
Jinny Seo [JY]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top