Chapter VIII

.
.
.

〔 ❁ —; ʜᴇ's ᴀɴ ᴀʀᴛ

.
.
.

Kelopak matanya yang sudah kecil semakin ia sipitkan. Di kejauhan sana, seseorang berteriak memanggil namanya. Tidak keras, tapi telinganya cukup peka untuk mendengar suara yang sangat ia hapal selama ini.

Daniel mematung melihat Seongwoo yang berhenti tepat di depannya. Nafas pemilik konstelasi bintang itu terdengar sangat berantakan.

Daniel tidak memaksa pemuda di depannya untuk langsung berbicara dengannya. Biar saja ia terlambat di mata kuliahnya, tidak masalah.

Ada yang lebih prioritas di hadapannya kini.

"Um, Daniel," Seongwo menggaruk pipinya canggung. Manik hitamnya sempat melirik Daniel sejenak, sebelum akhirnya menunduk kembali.

"Ya? Kenapa?"

Seongwoo terlonjak, terkejut mendengar suara husky pemuda Busan di depannya. Ia mendongak dengan bibir yang bergerak tanpa suara, tampak ragu untuk menyampaikan sesuatu.

Daniel tertawa. Telapaknya menepuk puncak kepala Seongwoo lembut. "Ada apa Ong?"

"I–tu... Set pakaian yang kau pinjamkan–" jeda bagi Seongwoo untuk menarik nafas cukup panjang. "–rusak. Aku akan menggantinya segera! Maafkan aku!"

Persimpangan muncul di kening lebar Daniel.

Rusak?

Berbagai pikiran mulai berkecamuk dalam otaknya. Mulai dari Seongwoo yang merobek pakaiannya –coret, atau bahkan...

Tunggu.

Apa ada hubungannya dengan luka sayatan di lengan Seongwoo?

Perlahan, rasa takut mulai menyergap dirinya. Daniel menahan nafas, memendam gemetar yang hendak mengambil alih kerja tubuhnya.

Daniel membuka bibirnya, hendak bertanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan pakaiannya. Tapi begitu ia sadar, bahwa tubuh kurus pemuda di depannya bergetar samar, Daniel memilih untuk menunda pertanyaannya.

"Oh? Ah, tidak usah kau ganti–"

"Tidak!" Seongwoo menjerit frustasi. "Tidak boleh seperti itu. Aku harus menggantinya karena– aku telah merusaknya."

Daniel tersenyum lembut. Telapaknya yang masih berdiam di puncak kepala Seongwoo, mulai bergerak lagi, mengusap surai hitam itu pelan.

"Kau membuangnya sekalipun, aku tidak masalah."

Seongwoo melebarkan maniknya. Sangat menggemaskan, melihat wajah terkejut pemuda Ong itu.

Daniel menahan tubuhnya mati–matian untuk tidak menarik Seongwoo ke dalam sebuah pelukan hangat. Atau juga mencuri kecupan kilat di bibir yang selalu menyita–

–tunggu.

Daniel mengerjap, meyakinkan dirinya dengan apa yang ia lihat.

Itu bukan sebuah khayalan. Memang kecil, namun Daniel bisa melihatnya. Pantas saja Seongwoo menunduk seharian ini.

Sudut bibir karya seni Daniel robek.

Daniel tak menolak rasa takut yang perlahan merayapi jiwanya.

"Daniel?"

Daniel mundur satu langkah ketika suara merdu penuh tanya memanggil namanya. Kelopak matanya melebar, begitu pula dengan ujung–ujung tubuhnya yang mulai gemetar.

"Danik!"

Kepala Seongwoo melongok, menatap sosok pemuda surai hitam yang berlari ke arah keduanya dari balik pundak lebar Daniel.

Pemuda itu mencengkram pergelangan tangan Daniel cukup keras, dilihat dari lipatan yang tercipta di lengan kemeja Daniel.

"Apa yang terjadi, Seongwoo–ssi?"

"Uh, apa?" Seongwoo mengernyitkan alisnya tak paham. Memang, apa yang sedang terjadi? "Aku tidak mengerti maksudmu, sungguh."

Sang pemuda meletakkan fokusnya pada Seongwoo, meneliti karya seni Daniel dari ujung hingga ujung. Maniknya berhenti bergulir ketika melihat luka di ujung bibir Seongwoo. Ia menghela nafasnya cukup panjang.

"Danik, kita pergi sekarang."

Daniel tetap mematung disana meski pemuda itu sudah menarik tangan Daniel untuk pergi dari sana.

"Kang Daniel."

Daniel mengerjap, tersadar ditengah rasa takut yang menderanya. Ia berdeham sejenak, berusaha menyamarkan getaran yang mungkin terselip.

Maniknya melirik sosok Seongwoo yang memiringkan kepalanya, nampak khawatir dengan kondisi aneh Daniel, juga kedatangan pemuda bersurai hitam yang tanpa basa–basi langsung mengajaknya pergi.

"Temui aku di café depan kampus pukul tiga nanti, arra?"

Daniel berlalu dengan kawan bersurai hitam bergelombangnya setelah mengucapkan kalimat ajakan pada Seongwoo. Seongwoo ditinggal begitu saja dengan seluruh ke–tidak paham–annya dengan keadaan.

"Oh– okay, jam tiga," Seongwoo berbisik lirih.

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

Suasana di dalam mobil Alfa Romeo Spider yang terparkir di samping gedung fakultas seni tari tampak canggung. Dua manusia di dalamnya saling diam, menunggu salah satunya membuka pembicaraan. Nyatanya, sudah sepuluh menit keduanya tak berbicara satu patah kata pun. Hanya hembusan nafas yang menggema disana.

"Danik–," pemuda surai hitam bergelombang di kursi penumpang depan menyahut, memecah keheningan setelah sekian menit.

Daniel menoleh dengan pandangan setengah kosong, menjawab panggilan sahabatnya.

Jaehwan, pemilik surai hitam bergelombang, menghela nafas untuk kesekian kalinya. Telapaknya menahan tangan Daniel yang terulur menuju dashboard mobil, hendak mengambil

obat penenangnya.

"Jae–"

"Tidak Danik," Jaehwan menepis tangan Daniel cukup keras hingga tangan pemuda Kang terlempar ke samping.

Daniel bersandar pada jok mobilnya. Perlahan, ia membenturkan kepala belakangnya ke sandaran pada jok mobil. Semakin lama, benturannya semakin keras. Erangan dari bibir Daniel turut meluncur.

Jaehwan menarik sudut bibirnya, menyunggingkan senyuman masam. Pemuda Kim itu kembali menghela nafasnya.

"Stop, jangan menyiksa–"

"Berikan obatku!"

"Daniel!" Jaehwan meraung dengan penuh amarah. Kepalan tinjunya ia layangkan pada dashboard mobil mewah Daniel. "Berhenti bersikap kekanakan! Obatmu tidak akan menolong jika kau sendiri tak mengatasi rasa takutmu!"

"Tau apa kau soal ketakutanku, bangsat!"

Daniel mengatupkan bibirnya begitu menyadari kalimat yang baru saja ia tujukan pada Jaehwan. Ia diam, begitu pula Jaehwan. Sahabatnya itu hanya memasang ekspresi menahan amarahnya.

"Tidak Jae, maksudku–"

"Kau benar. Aku bukan keluargamu, tau apa aku soal rasa takutmu?" Jaehwan tertawa sumbang. "Aku hanya tau bahwa temanku tengah membunuh kewarasannya sendiri. Fisik dan jiwa temanku dirusak oleh obat penenang, aku hanya tau itu."

Daniel menunduk dalam.

"Aku pergi," Jaehwan menyampirkan tali tas punggungnya, bersiap pergi dari sana.

Daniel sempat mencengkram pergelangan Jaehwan, mengisyaratkan sang sahabat untuk tetap duduk di dalam mobilnya. Tapi Jaehwan menepisnya, dan keluar begitu saja dari mobil meski Daniel sudah memanggil namanya dengan suara bergetar.

Jaegwan membungkuk, menyamakan pandangannya agar dapat menatap tepat pada manik Daniel.

"Aku hanya tau bahwa tugasku adalah melindungi dan menolong sahabatku dari segala tindak bodohnya."

BLAM

Jaehwan menutup pintu mobil keras, arau bisa dibilang setengah membantingnya. Ia berlalu, menjauh dari mobil Daniel secepat kilat.

"BRENGSEK!"

Sebuah tinju melayang pada kemudi Alfa Romeo. Daniel bergerak abstrak; menendang dan memukul segala hal di sekitarnya kalut.

Ia membuka dashboard mobilnya. Sebuah tempat obat menyembul di sela isi dashboard yang lain. Irisnya menatap nyalang objek kecil itu.

"Sialan–," patah kata yang ia ucap terhenti diujung dengan suara tercekat. Liquid bening merembet turun merayapi pipi tirusnya.

Daniel kembali meminum dua butir obat penenangnya.

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
To be continue
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
.
.
.
.
.

a/n: PERTAMA, saya mau menyampaikan maaf kalau chapter ini tida nge–feel atau jauh dari ekspektasi.

Saya nulis chap ini ngejar waktu sekali. Jujur saya capek banget di real life. Mikirin pelajaran, properti dance belum selesai dan sebagainya. Dan akibatnya, chapter ini ditulis di masa senggang doang.

Jadilah tida nge–feel seperti ini:"

Myane:""

XOXO,
Jinny Seo [JY]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top