Chapter IV


.
.

〔 ❁ -; ʜᴇ's ᴀɴ ᴀʀᴛ

.
.
.

[Full of Flashback]

.
.

[PART ONE]

.
.

Hujan turun dengan deras membasahi Seoul. Bocah berusia tujuh tahun yang sedari tadi, berjamjam lalu, berdiri di samping batu nisan, masih saja menangis dan terisak.

Surai hitamnya sudah mengkilap, basah karena guyuran hujan langsung pada tubuhnya. Keadaan serupa juga terjadi pada pakaiannya. Ia sudah basah total. Meski begitu, tetap saja ia berdiri disana, tak peduli dengan tubuhnya yang gemetaran ataupun bajunya yang basah atau kepalanya yang sudah pusing bukan main, ia tetap berdiri.

Punggung tangan pucatnya terus mengusap matanya, menghalau air mata yang turun disana. Isakan lolos dari bibir mungilnya yang mulai memucat.

"Papa– hiks."

Kata yang sama sejak dua jam lalu, tanpa berubah sedikitpun.

Bocah itu limbung. Tubuhnya tersungkur ke atas makam kala angin mulai berhembus kencang menggoyahkan pijakannya.

Tangan mungilnya meremat tanah basah makam di bawahnya. Isakannya justru semakin kencang.

"Papahiks, papa kekenapa hiks pergi? Mama– mama kasihan hiks. Ma– ma hiks sakit pa–"

Ia meraung. Mengeluarkan suaranya untuk mengalahkan deru hujan yang menghantam bumi. Suaranya tentu menggema di pemakaman kosong itu.

Tetes hujan perlahan hilang, tak lagi membasahi dirinya. Yang terdengar sekarang justru suara hujan yang menabrak sesuatu. Ia mendongak, menemukan payung hitam melindungi dirinya. Di dekatnya, telah berdiri seorang pria —yang nampaknya berusia sama dengan mendiang papanya, sang pemegang payung hitam.

"Hey."

Ia diam tak menjawab. Pandangannya tetap terfokus pada sang pria yang mulai berjongkok di dekatnya.

"Pasti berat untukmu eh? Papamu dibunuh oleh pesaing bisnisnya, mamamu masuk rumah sakit jiwa karena kehilangan papamu, dan kau sendirian. Ck, anak malang."

"Sihiks, siapa?" tanya bocah itu dengan suara parau khas orang sehabis menangis. Pria di depannya menarik sudut bibirnya, mencetak sebuah senyum miring disana.

"Aku? Aku yang akan merawatmu sekarang."

Yang lebih muda menggeleng lemah. "Akuti hiks tidak mengenalmu."

Tangan pria itu terulur, mendekat pada surai hitam yang sudah basah, dan mengusapnya lembut.

"Aku pamanmu," ia menghentikan sejenak kalimatnya. Manik pria seperempat abad itu bergerak menelusuri fitur wajah bocah di depannya dalam. "Ayo kita pulang, Seongwoo? Aku rasa kau butuh sesuatu yang hangat."

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

Seongwoo kecil memandang jauh pantulan dirinya di cermin yang menggantung di lemari pakaian di seberangnya. Maniknya memperhatikan bagaimana tubuh mungilnya terduduk manis diatas ranjang dengan piyama berwarna biru langit yang melekat.

Fokusnya berpindah pada pria paruh baya yang ia ketahui sebagai pamannya, masuk ke dalam 'kamarnya' dengan nampan makanan. Pria itu mengambil tempat duduk di sebelah Seongwoo, di tepian kasur baru'nya', sembari meletakkan nampan di pangkuan Seongwoo.

Ada spaghetti carbonara dan coklat panas serta salad buah disana.

Seongwoo kecil meneguk salivanya, tampak tergiur dengan makanan menggugah yang ada di pangkuannya. Ia mendongak, menatap pamannya dengan tatapan bertanya. Sesekali bocah tujuh tahun itu mengerjap dengan manisnya.

Pria di depan Seongwoo tertawa cukup nyaring melihat wajah Seongwoo.

"Makanlah, itu memang makananmu."

Seongwoo memekik kecil. Jemari mungilnya meraih garpu berukir di piring untuk menyuapkan spaghettinya. Cukup banyak ia masukkan pasta itu ke dalam mulutnya. Ia lapar, kalau boleh jujur. Menangisi mendingan appanya membuatnya lelah, dan otomatislapar.

Seongwoo mendongak. Kurvanya melengkung, membentuk sebuah senyum manis dengan pipi menggembung berisi pasta.

"Terima kasihpaman!" ucap bocah itu dengan aksen yang tak jelas, tertutup timbunan pasta yang ada di mulutnya.

Sang paman menggeleng. Telapaknya mengusap surai Seongwoo lembut, selaras dengan sudut bibirnya yang tertarik ke samping, membalas senyuman yang lebih muda.

"Tidak tidak, jangan panggil paman lagi, arra? Sekarang, kau harus memanggilku daddy. Got it, baby boy?"

Seongwoo mengangguk antusias. "Tentu sajadaddy!" ucapnya penuh semangat.

Malang.

Seongwoo kecil yang malang.

Andai ia mengerti, bahwa gerbang 'kematiannya' baru saja terbuka lebar, siap menerimanya untuk masuk ke dalamnya, dan menjeratnya dalam rasa frustasi yang mendalam dan membekas.

Andai ia mengerti, senyuman pria paruh baya di depannya adalah hal yang lebih mengerikan dari kematian kelak bagi dirinya.

Sayang, ia hanya Ong Seongwoo kecil berusia tujuh tahun yang menganggap kebaikan sang paman sebagai lentera di kehidupannya yang sedang terperosok.

Nyatanya, tidak.

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
To be continue
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
.
.
.
.
.

a/n: Sudahkah menemukan titik terang? Atau... Mulai mencoba memahami? Atau belum mendapat pencerahan?

Sejujurnya dd mau bikin nama buat paman Ong, OC gitu. Mau nistain orang tapi gatau siapa;_; Jadi yah, mungkin pamannya Ong itu OC ehe.

Be ready untuk part flashback lainnya, okay?;)

.

BAI DE WEY

Ena ya Ong ya tiduran di paha Niel, mepet pula🌚

Apa kabar tuh jantung Niel? Saia yang liat aja udah ambyar shaking gegulingan etc;)

Antara mau mimisan dan tida gitu ya.

DAN DEWI JIHUN OTEWE JADI ANAK ONGNIEL SETELAH LIL UJIN hehehehe

#apakabarsamhwi #tidamaukapalkaram #saiawinkdeepteam #jugasamhwiteam #danguanhoteam #jangankaramwoy #inginmenangis #kamitabah

Jangan lupa untuk memberikan bintang dan komentar ya;)

XOXO,
Jinny Seo [JY]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top