Chapter II

.
.
.

〔 ❁ —; ʜᴇ's ᴀɴ ᴀʀᴛ

.
.
.

Pagi yang cerah. Sinar matahari menembus kelambu abu–abu apartementnya, mengetuk kelopak mata yang masih terpejam rapat di atas kasur.

Daniel menggeliat tak nyaman. Ia berguling, tangannya kembali memeluk guling– tunggu, sejak kapan gulingnya menjadi seempuk dan sebesar ini?

Daniel membuka kelopaknya paksa. Maniknya memincing tak percaya, menatap bagaimana tubuh manusia lain di depannya tertidur dengan pulas dengan kemeja tipis kebesaran dan celana pendek yang seingatnya miliknya sendiri. Daniel nyaris mengeluarkan umpatannya, terkejut dengan apa yang ia lihat sendiri. Onyx gelapnya berpindah pada tubuhnya sendiri.

Oh great, ternyata ia masih cukup waras dan mengenakan satu set pakaian santainya.

"What, the hell, happen here..."

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

[Last night]

.

"Okay, kau sudah mabuk dear," Daniel berjengit memperhatikan pemuda disebelahnya yang sudah meletakkan kepalanya di bar, bibirnya sendiri sudah merah dan meracaukan kalimatentah kalimat apa itu.

Setidaknya, Ong Seongwoo masih bisa menggerakkan kepalanya, menolak pernyataan Daniel mengenai dirinya yang mabuk.

Padahal memang begitu kenyataannya bukan?

Daniel mengguncang bahu Seongwoo. Hatinya berharap, setidaknya manusia polos disebelahnya masih tujuh puluh sekian persen sadar. Yang ia dapat justru erangan protes dari bibir pemilik konstelasi bintang. Daniel tertawa hambar.

"Okay, kita harus pulang sekarang."

Ini baru gelas dry martini keduanya itupun baru habis setengahnya, namun ia tak ingin menahan Seongwoo lebih lama di club kecil ini. Ia sendiri baru menyadari bahwa pemuda itu sudah menghabiskan chiantinya yang ketiga. Sudah tak ada harapan lagi bagi kesadaran Seongwoo.

Daniel memapah tubuh lemas Seongwoo keluar. Sesekali pemuda itu mengelak, meminta Daniel untuk melepaskannya. Daniel menurut, ia biarkan sang surai hitam berjalan limbung mendahuluinya dan terjatuh kemudian. Dan lagi, Daniel memapah tubuh itu menuju mobilnya yang terparkir manis diluar.

Seongwoo menurut saja ketika Daniel menghela dirinya masuk ke dalam mobil. Tak lupa, Daniel memasangkan sabuk pengaman Seongwooia tau Seongwoo tak mungkin melakukannya, kesadaran pemilik surai hitam itu sudah mendekati dua puluh lima persen, mana mau ia repot–repot memakai sabuk pengaman.

Daniel masuk setelahnya. Sebelum ia menyalakan 'kekasihnya' —Alfa Romeo Spider—, ia menarik nafas terlebih dahulu, berusaha mentolerir kadar alkohol dalam dirinya.

Daniel mulai mengemudikan mobilnya. Sudut matanya melirik pada Seongwoo yang menggeliat tak nyaman, nampak kepanasan. Merasa kasihan, Daniel menurunkan suhu mobilnya.

"Dimana alamatmu?"

Seongwoo mengerang. Bibirnya bergumam asal, mengucapkan kata yang lagilagi tak Daniel mengerti maksudnya.

"Okay, kurasa kau tak bisa menyebutkannya," bahu kokoh Daniel meluruh pasrah. Terpaksa, ia merubah rute perjalanannya menjadi rute ke apartementnya sendiri.

Perjalanan itu berlangsung cepat dan sepi. Seongwoo tak lagi meracau, ia hanya mengerjap lambat di bangku penumpang, menatap jalanan dengan kelopak mengantuknya. Daniel sendiri tak mau repot mengajak Seongwoo bicara, daripada ia hanya mendengar gumaman tidak jelas, lebih baik ia diam.

Mereka sampai di apartement Daniel sepuluh menit kemudianDaniel mengendarai mobilnya gila–gilaan karena Seongwoo menggumamkan kata 'mual'. Ayolah, ia baru mencuci mobilnya dua hari lalu di car wash.

Beruntung Seongwoo masih bisa menahan isi perutnya, karena mereka harus naik lift terlebih dahulu sebelum sampai di apartement Daniel. Barulah ketika mereka sampai, dan Daniel menuntunnya ke kamar mandi miliknya, Seongwoo muntah hebat di wastafel. Daniel dengan sukarela mengurut tengkuk Seongwoo dari belakang.

Daniel menuntun Seongwoo ke kamar setelah merasa pemuda surai hitam itu memuntahkan seluruh muatannya. Tanpa canggung, Seongwoo merebahkan dirinya ke kasur Daniel.

"Kurasa sebaiknya kau mengganti bajumu dulu, Ong," Daniel mendekat pada Seongwoo dengan sebuah kemeja dan celana pendek miliknya.

Tangan Daniel terulur, hendak menepuk pundak Seongwoo dan meminta pemuda itu mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Belum Daniel mengguncang pundak Seongwoo, pemuda itu sudah menampiknya keras. Daniel terkejut, begitu pula Seongwoo. Ia segera bangkit dan berdeham canggung.

"Terimakasih."

Daniel mengerjap. "Oh, yah.. tidak masalah. Kalau begitu, aku izin mengambil selimut–"

"Mengambil selimut?"

Alis Daniel tertaut mendengar Seongwoo yang membeo kata–katanya. "Uh iya? Aku akan tidur di sofa ruang teng–"

"Apa?" Seongwoo mengernyit di sela rasa pusingnya. "Tidak tidak, aku saja yang tidur disana."

"Tidak," ucap Daniel tegas. "Kau mau tidur dalam keadaan seperti itu? Kau lebih butuh kasur daripada aku."

"Kalau begitu tidur berdua saja," balas Seongwoo asal. Belum sempat Daniel mengelak, Seongwoo sudah meninggalkannya keluar kamar, hendak berganti pakaian di kamar mandi Daniel.

Daniel mengendikkan bahunya. "Ya sudah, terserah," monolognya pada dirinya sendiri.

.
.

Seongwoo kembali ke kamar dengan langkah sempoyongan. Daniel yang sudah mengganti pakaian dan duduk di kasur berdiri kembali untuk membantu Seongwoo mencapai kasur.

"Aku akan tidur disisi ini," Daniel menunjuk sisi kanan kasurnya.

Seongwoo mengangguk cepat, mengiyakan, meski dirinya tak menangkap dengan jelas apa yang Daniel ucapkan. Fokusnya terbelah dengan rasa sakit yang mendera kepalanya. Segera ia membaringkan tubuhnya di kasur sisi kiri dan memejamkan matanya.

Hidungnya bisa mengendus aroma Daniel. Percampuran antara kayu manis dan aftershave yang terasa sangat pas. Seongwoo suka aroma itu, pusing di kepalanya mereda sedikit setelah menghirup kasur Daniel dalam.

Seongwoo diam saja ketika Daniel menaikkan selimut hingga bahunya. Ia bisa merasakan jemarijemari bergerak di surainya, mungkin merapikannya beberapa dalam beberapa detik.

"Sleep well, Seongwoo."

Seongwoo baru benarbenar menidurkan dirinya setelah sepotong kalimat ucapan tidur itu meluncur dari bibir Daniel.

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

"Ah, sial," Daniel mengacak surainya. Ingatan akan kejadian semalam mulai naik ke permukaan ingatannya.

Ia akan berterima kasih pada dirinya sendiri karena sudah menahan diri untuk setidaknya mengecup bibir Seongwoo yang nampak sangat menggoda —warnanya merah dan ada dengkuran halus disana— ketika ia tidur.

Daniel baru hendak memejamkan matanya kembali —ini akhir pekan, seluruh jadwal kuliah baru dimulai pukul 12, sedangkan sekarang jam di meja nakasnya menunjukkan pukul 6 pagi—, tapi irisnya menangkap lengan bawah Seongwoo yang tersingkap.

Daniel tertegun melihat sayatan cukup panjang disana. Ada beberapa dan terus berlanjut hingga bagian lengannya yang tertutup lengan kemeja, nampaknya luka–luka itu masih baru.

"Apa yang–," Daniel masih mengerti privasi, namun rasa penasaran mengusik pikirannya. Sepelan mungkin, Daniel menyingkap sedikit lebih banyak lengan kemeja yang membalut pemuda dihadapannya.

"Oh my– Oh holy God–"

Daniel tidak buta untuk melihat banyak sayatan lain menghias lengan pucat karya seni yang selalu ia puja eksistensinya itu.

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
To be continue
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
.
.
.
.
.

a/n: Hayo itu Ong kenapa hayo. Hehe, mulai masuk konflik deh. Tenang, konfliknya panjang kok ini, jadi yah– tunggu saja ya!

Jangan lupa untuk memberikan bintang dan komentar ya;)

XOXO,
Jinny Seo [JY]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top