Chapter I
.
.
.
〔 ❁ —; ʜᴇ's ᴀɴ ᴀʀᴛ〕
.
.
.
[DANIEL's FOCUS]
[Stat: Started]
Sepuluh menit.
Sudah sepuluh menit berlalu, dan sepasang onyx coklat gelap itu tetap menatap satu objek yang sama: seorang pemuda dengan surai sehitam jelaga, senyum semanis permen kapas, tawa semerdu alunan grand piano, dan konstelasi bintang indah di pipi kirinya. Sesekali sang objek tertawa lepas di lingkaran teman–temannya. Terkadang ia merengut manis, atau juga tersenyum miring.
Ia indah, melebihi bunga ceri yang bermekaran di musim semi.
Manik coklat itu beralih, melepaskan fokusnya yang sejak tadi menempel pada objek di seberang sana.
"Sudah puas melihatnya?"
Pemilik manik itu tersenyum lebar pada temannya, menarik terus sudut bibirnya kesamping hingga pipinya menenggelamkan bola matanya sendiri.
"Kau tau bukan, aku tidak pernah puas melihatnya."
Sang lawan bicara berdecih. "Kau membuatku takut, dude. Kau menatapnya terus seakan hendak menelanjanginya."
"Sounds great, eh? Terima kasih usulannya, Jae."
Pemuda surai hitam dihadapannya berdesis kesal. "Otakmu sudah geser, Kang."
Ia tertawa lepas mendengar ucapan tajam yang ditujukan padanya.
Namanya Kang Daniel, pemuda asal Busan, yang kini tengah meneruskan pendidikannya di Seoul, tepatnya di Seoul Univesity jurusan seni tari. Awalnya, ia menolak permintaan kedua orang tuanya untuk melanjutkan kuliah di Seoul, terlebih, ia malas untuk mengurus segala hal yang merepotkan ketika ia tinggal sendiri di apartement pemberian orang tuanya– iya, dia anak keluarga yang cukup berada. Tapi kini, sepertinya ia akan sangat mencintai appa dan eommanya yang memaksanya untuk berkuliah eh?
Siapa sangka ia akan bertemu sebuah karya seni terindah yang belum pernah ia lihat sebelumnya di dunia ini?
"Aku sudah gila sejak melihat dia."
Jaehwan, sahabatnya, mendengus tak percaya. "Okay, itu sangat cheesy."
"Kau itu," Daniel melempar bungkus permen karetnya pada Jaehwan. "Bilang saja kau iri karena aku sangat jago dalam urusan menggoda."
"Uh sorry? Itu menjijikkan, Dan. Memang apa yang bisa dibanggakan dari status playboymu itu huh?" Jaehwan bergerak abstrak, memperagakan gerakan muntah di depan Daniel.
"Err.. fakta bahwa semua orang mengenalku?"
Tawa sarkas Jaehwan mengalun. "Semua, kecuali karya seni kesayanganmu itu."
Daniel melirik kembali pemilik surai hitam yang duduk lima meja di depannya. Objek itu tampak bersiap untuk pergi dari sana.
Entah karena Dewi Fortuna atau jackpot, atau mungkin juga merasa diperhatikan sejak tadi, pemilik surai gelap itu menaikkan fokusnya, menatap balik Daniel dari mejanya. Daniel hanya diam, dengan santai ia mengganti pandangannya, bertingkah seakan semuanya adalah ketidaksengajaan.
"Hey, Jae," panggil Daniel setelah menghentikan tatapannya pada wajah sang sahabat. Jaehwan mengangkat alis menjawab panggilan Daniel.
"Ia melihatku tadi."
"Please, dia cuma melihatmu karena dia merasa kau selalu memperhatikannya."
Daniel mendengus. "Kau tidak bisa mendukungku sama sekali ya?"
Jaehwan menggeleng cepat bahkan sebelum Daniel menyelesaikan kalimatnya. Lemparan bungkus permen karet kembali melayang pada Jaehwan.
"But, Jae–"
"Apalagi Dan? Dia meminta nomormu? Dia mengajakmu berkenalan?"
"Aku belum menyelesaikan kalimatku, bangsat."
Jaehwan mengendikkan bahunya pasrah. "Okay, silahkan lanjutkan kalimatmu, tuan muda Kang Daniel."
"Terima kasih, Jaehwan yang terhormat," ejek Daniel di akhir. Jaehwan mengacungkan jari tengah miliknya dengan senyum manis pada Daniel.
"Cepat, kau mau bilang apa?"
"Menurutmu, kenapa dia selalu memakai kaus lengan panjang atau kemeja?"
Jaehwan tertawa dua detik, detik berikutnya, ia berdiri, telapaknya memukul puncak kepala Daniel cukup keras.
"Kau pikir aku penata riasnya?"
.
.
.
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
Hari ini, untuk yang kesekian kalinya dalam bulan ini, Daniel mengikutinya. Silahkan katakan Daniel seorang penguntit– karena memang begitu kenyataannya. Ia sendiri tak mengerti kenapa ia rela menghabiskan bahan bakar Alfa Romeo Spider kesayangannya hanya untuk membuntuti sang pemilik konstelasi bintang.
Tak seperti biasanya, hari ini pemuda surai gelap itu datang ke club. Sudah Daniel duga ia harus mengikuti karya seni kesayangannya malam ini. Ia tau, perasaan mengganggu di hatinya setelah melihat sosok itu pergi dari tempatnya bekerja sambilan, adalah ini.
Daniel turun dari mobilnya yang sudah ia parkirkan dengan gusar. Ia segera masuk ke dalam club, menyusul surai gelapnya yang sudah lepas dari pengawasannya.
Daniel sadar, banyak pengunjung club kecil itu melempar tatapan mereka pada dirinya. Entah karena surai honey brownnya atau wajahnya, ia tak peduli. Tatapan lapar para jalang ia abaikan. Fokusnya tetaplah satu, mencari seni terindahnya.
Ternyata tak cukup sulit. Club kecil ini —Daniel sering mengunjungi club yang jauh diatas tempat ini— ternyata lebih payah dari perkiraannya. Buktinya, maniknya sudah menemukan dengan cepat surai hitam yang ia puja, tengah terduduk di depan bar.
Daniel mendekat. Ia buang segala ragunya untuk mendekati target di depan bar sana.
"Apa yang kau lakukan disini? Omong–omong, aku Daniel. Aku– mengenalmu."
Tatapan menyelidik di lempar sang surai hitam. Daniel tak peduli, ia tetap mengambil tempat duduk di sisi pemuda itu.
"Kau– yang sering menatapku?"
Ups, ia ketahuan.
Daniek terkekeh canggung. "Apa yang kau lakukan disini? Dan–," Daniel melirik minuman di tangan kecil lawan bicara. "Itu chianti– Wow, kau bisa mabuk, berhenti disitu."
Alis pemuda disebelahnya tertaut tak nyaman. "Aku itu tidak muuuuudah mabuk asal kau tau. Dan ini bukan chi–chi apa? Ini.. ini–"
Daniel terkekeh. "Itu chianti, dan kau mabuk. Ini bahkan belum sepersekian menit sejak kau masuk kesini. Itu gelas pertamamu?"
"Kau menguntitku?"
"Tidak," Daniel mengalihkan irisnya dari tatapan menyelidik sang lawan bicara. "Aku– melihatmu masuk tadi."
Bibir tipis itu bergerak membentuk huruf O besar. Nyaris saja tangan Daniel bergerak untuk menyentuh bibir itu. Beruntung sisi waras Daniel memperingatkan.
"Hey, berikan dia ini juga~"
"Tidak tidak," Daniel menggeleng sebelum bartender meracik minumannya. Bisa bahaya jika ia minum malam ini, ia tak bisa mengendarai mobilnya dengan benar nanti.
"Ayolah, kau harus minum!"
Daniel mengusap dagunya sejenak. "Okay, dry martini saja."
"Dry apa?"
Daniel menoleh pada wajah merah disebelahnya. Alisnya terangkat heran. Apa dia tidak tau dry martini? Serius? Lalu kenapa pemuda itu melempar dirinya sendiri ke tempat seperti ini?
Daniel mendecak. "Kalau tidak tau, jangan kemari."
"Kenapa?"
"Berbahaya. Kau tidak akan tau apa yang terjadi padamu."
Pemuda itu terkekeh seakan ucapan Daniel adalah guyonan belaka. Dahi Daniel mengernyit dalam.
"Kenapa tertawa?"
"Aku itu namja," kembali ia meneguk chianti miliknya. "Aku bisa menjaga diriku sendiri– siapa?"
"Daniel, Kang Daniel. Jurusan seni tari," tangan Daniel terulur, menawarkan sebuah jabat tangan. Tangan mungil pemuda di sisinya balas menjabat.
"Ong Seongwoo, jurusan seni teater."
.
.
.
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
To be continue
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
.
.
.
.
.
a/n: HAY, salam kenal semua. Jinny imnida~ Mungkin ada yang tidak asing dengan username "swxxtcandy" sebelumnya? Pernah ketemu? Ehe, kebetulan dd aktif juga di ffn dengan username serupa. Jadi, kalau ada yang baca juga FF dd yang lain di ffn, senang bisa bertemu kalian di wattpad!;)
Ini dd balik dari ke kosongan dengan membawa FF fresh from the oven yang sebenarnya sudah dd pikirkan konsepnya sejak kemarin–kemarin.
Ingat ya, ini rating M!
Sudah kuingatkan dari awal. Rating M disini bukan hanya dari kegiatan 'itu' saja, tapi juga dari segi bahasa dan sebagainya.
Jangan lupa untuk memberikan bintang dan komentar ya;)
XOXO,
Jinny Seo [JY]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top