Part 3 of 4

Dia tahu ...,

25 Desember 2018.

(Riing! Riing! Riing!)

Getaran dan dering dari handphone Samatoki menarik perhatiannya dari pesta yang dia habiskan bersama adiknya dan kedua rekan temannya. Saat melihat siapa yang memanggilnya, Samatoki tanpa pikir panjang mengangkat panggilan tersebut lalu meninggalkan pesta kecil-kecilan mereka.

"Samatoki, aku tidak bisa tidur."

Suara dari sana langsung mendahului Samatoki. Namun yang menjadi fokus Samatoki bukanlah itu sekarang.

"(Name), dimana kau?"

Tidak ada balasan dari (Name), membuat Samatoki mau tak mau harus menajamkan pendengerannya pada lingkungan (Name). Samar-samar terdengar suara perapian, yang dapat Samatoki tarik kesimpulan (Name) berada di dalam sebuah rumah.

"Kalian lanjutkan tanpaku, ada urusan mendadak," ucap Samatoki berjalan menuju pintu depan, mengabaikan panggilan dari adiknya ataupun kedua temannya.

"Ada apa dengannya?" heran Jyuto, yang saat itu mendapat cuti karena korban pembunuhan terbaru bisa teridentifikasi dengan cepat.

"Onii-chan sangat sibuk selama sebulan ini," sahut Nemu, sementara Riou lebih memilih diam, namun mengiyakan komentar kedua orang tersebut.

[][][]

"(Name)! Apa kau disini!?"

Pintu dibuka dengan kasar, kemudian ditutup dengan kasar pula. Samatoki melepas sepatunya dengan terburu-buru. Begitu sampai di ruang TV, hal pertama yang Samatoki lihat adalah (Name) yang meringkuk di depan perapian, dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali bagian kepalanya.

Namun (Name) sendiri tidak bergerak dari posisinya, tubuhnya tetap menghadap ke arah perapian, bahkan dia masih tidak bergerak saat Samatoki melangkah mendekatinya.

"Kau bisa terbakar jika terlalu dekat dengan api," komentar Samatoki menarik perhatian (Name).

"Oh, aku tidak mendengar suara pintu terbuka."

'Jangan berbohong, aku melihat di dekatmu ada pisau yang selalu kau bawa,' pikir Samatoki melirik ke dekat (Name), dimana sebuah pisau buah berada disana.

"Kau meninggalkan pesta natal dengan adik dan kedua temanmu," ucap (Name) kembali menghadap ke arah perapian, "sayang sekali."

"Berterima kasilah padaku karena aku meninggalkan pestaku demi dirimu, onna."

"Aku tidak memintamu datang, aku hanya meneleponmu untuk memberitahumu kalau aku tidak bisa tidur," gumam (Name), "tapi—terima kasih sudah mau datang."

Samatoki hanya memutar kedua matanya, kemudian mengangkat (Name) dengan gaya tuan putri dan berjalan menuju sofa.

"Kalau begitu, kenapa tidak memberitahu bocah Ikebukuro sialan itu saja?" tanya Samatoki.

"Jika kuberitahu Ichiro, aku takut dia akan kemari, dan meninggalkan pesta natalnya dengan kedua adiknya," gumam (Name) mengeratkan pegangannya pada selimut, "jadi aku terkejut saat kau kemari."

Samatoki hanya mendengus, sebelum akhirnya mendudukkan dirinya diatas sofa, dengan (Name) yang berbentuk seperti burrito di pangkuannya, serta wajahnya yang mendarat empuk di dada bidang Samatoki.

"Kenapa kau mau kemari, Samatoki? Kupikir kau akan memarahiku karena mengganggu pestamu dengan adikmu dan kedua temanmu."

Samatoki terdiam, kemudian meletakkan kepalanya di atas kepala (Name).

'Tentu saja karena aku tidak ingin wanitaku kenapa-kenapa.'

"Entahlah, mungkin karena aku tahu hari ini adalah hari kematian kedua orang tuamu, dua tahun yang lalu."

Kedua iris (Name) melebar, sebelum akhirnya kembali ke bentuk normal.

"Begitu, ya?"

Suasana menjadi hening, dimana suara bising yang berasal luar, yang terdengar samar disini, dan suara perapian kini menjadi pengisi suara di ruangan ini. Walaupun itu berlangsung untuk beberapa menit karena (Name) memutuskan untuk membuka suara.

"Hei, Samatoki, bagaimana kau bisa menghadapi kematian kedua orang tuamu saat umurmu masih muda?"

Samatoki menoleh ke wajah (Name), dapati rambutnya menutupi sebagian wajahnya jadi Samatoki tidak bisa melihat ekspresi apa yang perempuan itu tunjukkan.

"Ayahku dibunuh oleh ibuku, dan ibuku bunuh diri, sehari setelah natal, dan saat aku sedang pergi bekerja," gumam (Name), "ayahku adalah seorang yang abusif, rasanya tidak mungkin bisa keluar dari rumah tanpa ada luka karena lemparan botol darinya."

Tubuh (Name) mulai gemetaran, dan Samatoki hanya mengeratkan pelukannya pada (Name), tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

(Name) terlalu mirip dengan dirinya.

"Sejak tahun lalu, aku selalu tidak bisa tidur pada hari ini, seolah-olah aku dikutuk untuk tidak tidur untuk hari ini. Jadi, saat inilah ingatanku tentang tubuh mereka berdua yang sudah beku itu kembali muncul, bagaimana darah menggenangi tubuh ayah, dan bagaimana tubuh ibu menggantung. Mimpi buruk yang tiada akhirnya."

Namun tiba-tiba tubuh (Name) berhenti gemetaran, dan perlahan (Name) mengangkat kepalanya, menatap Samatoki dengan matanya yang mulai sembab menahan air mata yang siap jatuh kapanpun.

"Namun, tetap saja, setiap kali ingatan itu terlintas, ingatan lain akan datang," senyum kecil terukir di wajah (Name), "ingatan dimana Ichiro datang menyelamatkanku, dan mendukungku sampai aku bisa kembali bangkit."

(Name) kembali menyembunyikan wajahnya, melewatkan ekspresi tak suka dari Samatoki, ataupun tangan Samatoki yang memeluknya sempat mengepal kuat.

"Aku sangat berterima kasih padanya, walaupun dia bilang dia tidak melakukan apapun."

'Bukannya sudah jelas, bocah sialan itu memang tidak melakukan apapun, karena akulah yang menyelamatkanmu saat itu, (Name).'

(Name) mungkin tidak tahu ini, tapi apa yang Samatoki pikirkan itu adalah kenyataan. Saat (Name) dihadapkan oleh mayat kedua orang tuanya, pandangan (Name) menjadi buram, dan sesaat sebelum dia pingsan, Samatoki lah yang datang menyelamatkannya. Selama (Name) tidak sadarkan diri dan dirawat di rumah sakit Shinjuku, Samatoki lah yang mengunjunginya.

Namun saat (Name) sadarkan diri, Samatoki tidak sempat mengunjungi (Name) karena memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Saat itu juga, Ichiro sedang bertemu dengan Jakurai karena ada urusan lain. Dengan ingatan yang samar, (Name) akhirnya percaya bahwa Ichiro lah yang menyelamatkannya, dan kepercayaan itu masih bertahan sampai sekarang.

Kenapa Samatoki tidak memberitahu (Name) dialah yang menyelamatkan (Name)?

Entahlah, Samatoki juga tidak tahu.

Mungkin saja, Samatoki tidak ingin senyum yang terlukis di wajah (Name) hilang saat mengetahui kebenarannya selama ini.

Karena, Samatoki tidak bisa menjamin (Name) akan tetap tersenyum seperti sekarang jika sudah mengetahui kebenarannya.

"Ichiro bilang untuk tidak membalas apapun yang bahkan tidak dia lakukan," gumam (Name), "tapi tetap saja, aku merasa yang dia lakukan itu sudah menyelamatkanku."

(Name) sedikit menjauhkan dirinya dari Samatoki, kemudian mengangkat kedua tangannya yang ternyata sedari tadi gemetaran.

"Oleh karena itu, aku membunuh semua informan yang 'merebut' pekerjaan Ichiro," ucap (Name), "namun tentu saja bukan pekerjaan mereka saja yang menjadi alasanku membunuh mereka semua."

(Name) mengepalkan kedua tangannya, dan sorot matanya berubah menjadi penuh benci.

"Aku membunuh mereka, karena mereka adalah seorang ayah dan suami yang abusif kepada anak dan istrinya."

... alasan perempuan itu melakukan semua pembunuhan itu, dan perasaannya dari dulu hanyalah cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top