Part 1 of 4
Dia tahu ...,
20 Desember 2018.
"Laporan! Ini kasus keempat minggu ini, pak."
Jyuto mengerutkan alisnya, menatap map berwarna cokelat dengan cap berwarna merah diatasnya. Tangannya kemudian meraih kertas tersebut dan membukanya, menarik isi surat tersebut; beberapa lembar dengan sebuah foto terpasang di halaman paling depan.
Mengerikan.
Hanya itu yang bisa Jyuto pikirkan saat melihat foto yang dia lihat. Seorang mayat yang sudah tidak jelas lagi bentuknya.
Tubuhnya hangus terbakar, jari-jari tangannya dipotong, gigi-gigi dari korban juga tidak ditemukan. Siapapun yang melakukannya, dia benar-benar tahu tindakan ini akan menyulitkan pihak forensik dan polisi untuk mengidentifikasi korban.
Tidak bisa mencocokkan DNA, ataupun rekam medis posisi gigi-gigi yang menjadi alternatif terakhir untuk mengidentifikasi korban.
Tidak bisa mengidentifikasi korban, berarti tidak bisa mengejar sang pelaku.
"Kali ini korban ditemukan dimana?"
Laki-laki yang menjadi bawahan Jyuto melakukan pose hormat.
"Siap, korban ditemukan di pelabuhan pagi ini, karena laporan masyarakat. Sama seperti kasus-kasus sebelumnya."
"Barang-barang korban?"
"Tidak ada, pak. Korban hanya mengenakan pakaian dalam yang terbakar saat ditemukan."
Jyuto menghela napas, kemudian melempar map cokelat tersebut dengan kasar di atas mejanya. Tangannya meraih rokok yang ada di dalam sakunya, yang kemudian dia hidupkan.
"Kau boleh pergi."
"Siap, pak!"
Bawahan Jyuto kini sudah pergi, meninggalkan laki-laki berkacamata itu seorang diri di ruangannya. Setelah beberapa saat, akhirnya Jyuto mendecih dan mengentakkan tangannya di atas meja kerjanya.
"Sialan."
Rokok dihembuskan dengan kasar. Jyuto kemudian bersandar dan melepas kacamatanya, kemudian menutup matanya.
'Kasus ini sudah berlangsung hampir tiga minggu, dimulai pada awal bulan ini,' pikir Jyuto, 'korban sudah mencapai belasan untuk kasus ini.'
"17 orang dalam tiga minggu, yang benar saja."
Jyuto membuka matanya, sorot matanya tampak lelah karena tekanan tugas yang dia terima awal bulan ini.
Jyuto kembali meraih kacamatanya dan memakainya, kemudian kembali memasukkan laporan tersebut ke dalam map, dan membawanya.
[][][]
"Kau membawa map lagi."
Jyuto menoleh ke sumber suara, dimana dia melihat Riou dan Samatoki sedang duduk di sofa yang ada di ruangan itu.
"Kasus pembunuhan lagi? Jangan bilang ini kasus yang sama sejak awal bulan lalu," kali ini Samatoki yang bertanya, dengan rokok yang menggantung di tangannya.
Jyuto tak membalas, dia hanya berjalan menuju sofa yang ada di seberang mereka berdua, kemudian duduk disana.
"Samatoki, apa informan dari kelompokmu belum muncul juga?"
Samatoki mendecih, tak senang pertanyaannya tidak dijawab, namun memilih untuk tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena dia menyadari Jyuto terlihat stres akan pekerjaannya.
"Belum, aku sudah menghubunginya seminggu yang lalu karena kau memintanya," jawab Samatoki kemudian menghirup rokoknya.
Jyuto menghela napas, kemudian bersandar di sofa yang dia duduki.
"Anak buahku yang menjadi informan gelap juga tidak muncul-muncul setelah kuhubungi awal bulan lalu, saat kasus ini dimulai," gumam Jyuto, "tapi dari informasi ini, aku bisa menarik kesimpulan bahwa pembunuh 17 orang tak teridentifikasi ini adalah orang yang sama, atau kelompok yang sama, dengan kesamaan setiap korban adalah seorang informan gelap."
Riou dan Samatoki hanya diam, membiarkan rekan mereka itu mengoceh. Hal yang aneh melihat Jyuto terlihat begitu terbuka mengenai pekerjaannya, tapi mereka hanya bisa menduga kasusnya kali ini benar-benar membuat Jyuto stres.
"Aku tidak bisa mengonfirmasi informan dari kelompokmu ataupun informanku meninggal, tapi kemarin aku baru menerima laporan kehilangan dari keluarga informanku," ucap Jyuto, "apa kau sudah mengunjungi rumahnya, Samatoki?"
"Untuk apa? Kenapa tidak kau saja? Yang perlu itu kau kan?" Samatoki mematikan rokok yang dia pegang kemudian berdiri dari sofa, "lagi pula dia bukan tanggung jawabku."
"Mau pergi kemana?" tanya Riou menyadari Samatoki tidak berencana untuk tidur karena laki-laki itu berjalan menuju pintu keluar rumah divisi mereka.
"Jalan-jalan malam," jawab Samatoki singkat.
[][][]
Iris merah Samatoki memandang rumah yang ada di depannya, sebuah rumah sederhana. Setelah melihat lingkungan sekitarnya dengan hati-hati, Samatoki mengeluarkan sebuah kunci di dalam sakunya, dan membuka pintu rumah tersebut.
Aroma makanan langsung menyapa indra penciuman Samatoki, dan tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Namun langkah kaki tersebut berhenti.
"Samatoki?"
"Ya, ini aku."
Dari pintu yang menghubungkan lorong dan ruang TV, muncul puncak kepala dengan rambut berwarna (h/c), disusul oleh wajah seseorang yang menatapnya dengan hati-hati. Irisnya yang awalnya menatap dengan tajam, seketika berubah saat melihat wajah Samatoki.
"Samatoki!"
Si empunya suara pun menampilkan dirinya secara keseluruhan, seorang perempuan yang seusia dengan Samatoki, dimana dirinya sedang mengenakan piama berwarna hitam.
"Kau tidak menghubungiku sebelumnya, jadi aku tidak tahu kau akan datang berkunjung," ucap perempuan itu mengembungkan kedua pipinya.
"(Name)," nama sang perempuan terlontar dari mulut Samatoki, "mau kuhubungi atau tidak, kau akan tetap bersiaga seperti biasa."
(Name) langsung cengengesan mendengar ucapan Samatoki.
"Benar juga, tapi tetap saja, aku jadi tidak menyiapkan apapun untukmu," ucap (Name) berbalik dan berjalan menuju dapur, "apa kau sudah makan? Aku belum."
"Aku juga."
"Bagus! Kalau begitu aku akan memasak, apa tidak apa-apa kita memakan katsudon? Hanya bahan-bahan untuk membuat katsudon yang kupunya hari ini."
"Tidak apa-apa," jawab Samatoki, "kupikir kau sedang memasak, dari aroma makanan ini."
"Haha, kau tahu itu hanya tipuan, benar?"
Samatoki hanya terdiam, melepas sepatunya kemudian mengikuti (Name). Namun iris matanya tak lepas dari kedua tangan (Name), semenjak perempuan itu memutar tubuhnya dan berjalan menuju dapur.
Dimana kedua tangan (Name) sedang memegang sebuah pisau dan handuk basah dengan sedikit bercak merah.
"Ngomong-ngomong, kudengar masyarakat heboh dengan penemuan jasad mengerikan di pelabuhan pagi ini."
Samatoki menaikkan pandangannya, dimana dia melihat (Name) sedang tersenyum manis.
"Lalu?" sahut Samatoki berhenti berjalan, menatap (Name) dengan ekspresi datar.
"Kebetulan sekali aku sedang berada disana, jasadnya benar-benar mengerikan," komentar (Name) kembali menoleh ke depan dan berjalan.
"Begitu ya?"
Samatoki dan (Name) pun melewati ruang TV, dimana pandangan Samatoki langsung terfokus pada meja yang ada di depan TV.
Penuh dengan gigi-gigi yang sebagian masih dipenuhi oleh darah.
"(Name)."
"Ya?"
"Kali ini siapa?"
(Name) berhenti, kemudian menoleh ke arah Samatoki, dengan senyum manis yang sama terlukis di wajahnya.
"Hanya informan gelap dari geng musuhmu, Samatoki."
... bahwa perempuan itu adalah seorang pembunuh berantai incaran polisi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top