HIM~4
Pagi yang cerah tak secerah suasana hati Al. Entah mengapa sejak pulang dari club saat bersama Ayu kemarin, Al tak memiliki semangat hidup. Suasana hatinya juga tak baik. Al bercermin memakai dasinya, namun entah mengapa itu sangat sulit ia lakukan. Padahal ini sudah sering Al lakukan saat Belanda dulu. Al menarik dasinya frustrasi, lalu berteriak sekencang-kencangnya di dalam kamar. Untung saja kamarnya didisain kedap suara, jadi mau dia berteriak sekencang apa pun tak ada yang mendengarnya.
"Kenapa sih Yi, sesakit ini mencintai lo! Kalau gue tahu rasanya bakalan sesakit gini, nggak akan pernah gue izinin rasa ini berlarut di hati gue. Cinta gue ke lo udah terlanjur mengakar ke jantung hati Yi! Kapan lo menyadari hal itu sih Yi?" pekik Al frustrasi sambil ia mengacak-acak rambutnya.
"Al, apa Mami boleh masuk?" Ketukan pintu dari luar membuat Al menarik napasnya dalam untuk menstabilkan emosinya.
Setelah hatinya sedikit lebih tenang, ia pun membukakan pintu untuk maminya. Adel tersenyum sangat manis setelah Al membuka pintu, senyuman seorang ibu mampu menyejukan hati Al yang sedang membara saat ini.
"Masuk Mi," seru Al membukakan pintu untuk Adel lebar.
"Kok kamu belum siap? Hari ini kan kamu sudah mulai bekerja." Adel berjalan memilihkan dasi sesuai dengan hem yang sedang Al kenakan.
Al berjalan gontai mengikuti Adel dari belakang. Lalu dia duduk di tepi ranjang menunggu Adel selesai memilihkan dasi untuknya.
"Pakai yang ini, cocok," ujar Adel memperlihatkan dasi yang sudah ia pilihkan. Al hanya mengangguk patuh dan pasrah.
Adel berdiri di depan anak sulungnya itu dan memakaikan dasinya. Al melihat wajah cantik maminya lalu ia memeluk Adel menumpahkan kesedihannya. Adel yang merasakan kesedihan putranya sejak makan malam kemarin, ia hanya mengelus kepalanya memberikan ketenangan pada hati Al yang sedang gundah.
"Mi, Ayi udah punya cowok," seru Al menelungkupkan wajahnya di perut Adel dan melepas sesak di dadanya.
Adel sudah dapat menebak sebelumnya, jika keadaan anaknya itu sedang tak baik. Dia hanya tersenyum mengelus kepala Al lembut.
"Mungkin Ayu hanya ditakdirkan untuk menjadi sahabatmu, Tuhan tak mengizinkan kalian memiliki hubungan lebih dari ikatan persahabatan," tukas Adel mencoba membuka mata hati Al untuk menerima kenyataan yang memang begitu pahit baginya.
"Tapi ini rasanya sakit banget Mi, sampai sesak dada Al. Kenapa Ayi nggak sadar juga dengan perasaan Al ke dia? Apa perhatian Al selama ini kurang menunjukkan perasaan Al ke dia, Mi?" adu Al mendongakkan kepalanya menatap Adel yang sedang tersenyum sangat manis.
Adel melepas pelukan Al lalu dia menarik kursi dan duduk di depan Al. Adel menggenggam tangan Al erat lalu menghapus air matanya yang tadi sempat luluh.
"Jangan buang air matamu sia-sia, daripada kamu buang air mata ini untuk hal yang tak penting, mending kamu keluarkan untuk Allah. Meminta ampun dan bersimpuh padaNya," ujar Adel membenarkan tatanan rambut Al yang berantakan.
Al mencerna kata-kata Adel lalu dia menarik napasnya dalam dan menghembuskan secara pelan. Rasa sesak di dadanya sedikit terobati.
"Mi, Al nggak mau jatuh cinta lagi. Sakit rasanya," ujar Al membuat Adel hanya tersenyum.
"Jangan katakan itu, suatu saat kalau sudah waktunya pasti rasa itu akan hadir kembali, jika hatimu sudah siap. Saat ini hatimu sedang terluka, jadi cobalah memahami." Adel mengelus pipi Al lembut.
"Miiii, Kaaak, kalian ngapain sih? Udah ditungguin dari tadi di meja makan malah asyik ngobrol di sini," tegur Ebie dari ambang pintu dengan wajah cemberut.
"Iya ... ya bawel! Udah nih!" sahut Al menggapai blazer hitam yang ia taruh di atas ranjang.
Adel hanya tersenyum saat melihat putra putrinya selalu ribut jika mereka bertemu. Ada saja hal yang membuat mereka berdebat dan saling meledek, hingga menimbulkan keramaian di rumah itu. Hal itu yang membuat Adel selalu merindukan kebersamaan saat jauh dari keluarganya.
"Ayo turun!" Al menarik Ebie dan menghimpit kepalanya di bawah ketiak.
"Maamiiiiii tolong, Kak Al, lepas! Kak Al bau!" seru Ebie memekik sambil menuruni anak tangga.
Adel hanya tersenyum melihat kelakuan Al yang usil kepada adiknya. Adel berjalan menuruni anak tangga di belakang Al dan Ebie. Sampai di ruang makan, ternyata Prilly dan Neneng sedang asyik bercengkrama dan terlihat sedang bercanda gurau.
"Pagi Oma?" sapa Al lalu mencium pipi Neneng.
"Pagi," jawab Neneng dengan senyum terbaiknya.
Prilly yang baru kali ini melihat Al hanya menautkan alisnya heran. Al yang melihat Prilly duduk di sebelah Neneng bersikap tak acuh. Tak ada getaran dan perasaan apa pun di hati mereka. Al menarik kursi di sebelah Ebie lalu mengambil roti tawar dan mengolesinya dengan selai coklat.
"Tumben Kak, nggak makan nasi?" tegur Ebie yang melihat Al tak seperti biasanya.
"Lagi males makan yang berat-berat," jawab Al lalu memakan rotinya.
"Al, kamu antar Ebie dan Prilly ke sekolah dulu ya? Baru nanti ke kantor, Mami mau mampir ke butiknya Tante Dinda dulu," ujar Adel setelah meminum teh hangatnya.
"Iya Mi," jawab Al lesu tak bersemangat.
"Ih, jawabnya nggak ikhlas banget sih," seru Ebie menyahut.
Al hanya melirik Ebie sekilas lalu melihat Prilly yang duduk diam di depannya sambil menghabiskan makanannya.
"Al, kapan kamu mau menikah?" seru Neneng tiba-tiba seketika membuat Al tersedak.
Ebie yang duduk lebih dekat dengan Al lalu menyodorkan segelas air putih sambil mengelus punggungnya. Adel menatap Al dengan wajah khawatir, sedangkan Prilly mengambilkan tissue untuk Al.
"Makasih," ucap Al menerima tissue yang Prilly ulurkan untuknya.
"Iya," jawab Prilly lalu kembali duduk.
"Ini diminum dulu," seru Ebie memberikan gelas untuk Al.
Al segera meminum air yang Ebie berikan, untuk mendorong roti yang masih menyangkut di tenggorokannya. Setelah terasa lebih baik Al menghela napas, memikirkan jawaban atas pertanyaan omanya tadi.
"Oma, sabar dulu ya? Al belum memikirkan hal itu, baru juga Al mau masuk kerja, mau dikasih makan apa nanti istri dan anak Al?" ujar Al memberi alasan pada Neneng.
"Tapi usia kamu udah semakin tua, masa teman-teman sejajar kamu sudah pada menikah dan punya anak, kamu masih aja sendiri," ujar Neneng membuat Al harus mengelus dadanya, sabar.
"Iya, Omaaaa." Al tak ingin berdebat dengan omanya, itu akan semakin membuat suasana hatinya semakin tak karuan.
Prilly melihat wajah Al yang begitu berat dan sepertinya Al memikirkan perkataan Neneng tadi.
"Kak, aku udah selesai makannya," ujar Ebie mengelap bibirnya dengan tissue.
"Aku juga sudah," sahut Prilly meminum susunya.
"Ya udah, kalian biar di antar Kak Al ya?" kata Adel mengelap bibirnya dengan tissue.
"Ya udah yok." Al berdiri meninggalkan rotinya yang masih setengah.
"Nggak di habisin dulu rotinya?" tanya Neneng menegur Al.
"Udah kenyang Oma," jawab Al sambil berjalan untuk mengambil kunci mobil di atas bufet minimalis yang ada di dekat ruang tengah.
"Ayo Bie," seru Al setelah dia kembali ke ruang makan.
"Cuma Ebie yang diajak? Prilly nggak?" ujar Adel mengulum senyumnya, mencoba menggoda putranya.
Al hanya melihat Prilly lalu menoleh kapada maminya.
"Namanya Prilly, dia anaknnya Tante Mona. Makanya kalau ada orang baru sedikit kasih perhatian, biar tahu siapa dia," ujar Adel merapikan penampilannya lalu menjinjing tas kerjanya.
Al menggaruk tengkuknya bingung, lalu melihat Prilly yang sudah berdiri di sebelah Ebie.
"Udah sana berangkat," seru Adel menepuk bahu Al, lalu menghampiri Neneng.
"Bun, aku berangkat dulu ya." Adel mencium pipi Neneng lalu berlenggang keluar dari rumah.
"Oma, kami berangkat dulu ya?" seru Prilly mencium tangan Neneng sopan, diikuti Al dan Ebie.
"Kalian hati-hati. Ebie ... Prilly, pulang sekolah langsung balik ke rumah. Jangan main," pesan Neneng.
"Siap Oma," jawab Prilly dan Ebie sambil melangkah keluar rumah diikuti Al dari belakang.
Sampai di depan rumah, ternyata Adel belum juga berangkat.
"Nunggu apa Mi?" tanya Ebie mendekati Adel yang masih berdiri di samping mobilnya.
"Sebentat, nunggu balasan chat Tante Dinda. Kalian berangkat duluan aja," jawab Adel melihat Al sudah memarkirkan mobilnya di depan teras.
"Ya udah kita berangkat dulu ya Tan?" ujar Prilly mencium tangan Adel.
"Iya, kalian hati-hati ya?" Adel mengusap kepala Ebie dan Prilly.
"Mi berangkat duluan ya?" seru Al dari dalam mobil.
"Ya," jawab Adel sedikit menunduk melihat Al sudah tampan memakai kacamata hitamnya.
Ebie membuka pintu mobil belakang, lalu dia masuk diikuti Prilly.
"Eh, kalian pikir aku supir. Salah satu pindah di depan," ujar Al melihat Prilly dan Ebie yang siap menutup pintu.
Ebie dan Prilly saling menatap, "Lo aja di depan." Ebie menyuruh Prilly untuk duduk di depan dengan Al.
"Nggak mau, lo aja sono!" tolak Prilly.
"Kalau gue yang di depan yang ada entar kita ribut," bantah Ebie.
"Udah, ayo siapa yang di depan," sela Al sedikit mengeraskan suaranya.
Dengan perasaan sebal, Prilly pun pindah duduk di depan. Al melirik Prilly yang mengerucutkan bibirnya, membuat dia ingin tertawa namun tertahan karena gengsi.
Al segera melajukan mobilnya untuk mengantar Ebie dan Prilly ke sekolah. Sepanjang perjalanan Al sesekali melirik Prilly yang bersenandung lirih. Tak ada rasa tertarik di hatinya, namun dia merasa gemas melihat gadis berparas cantik dan bertubuh sintal itu.
"Pril, pelajaran pertama Bu Vini ya?" ujar Ebie mengingatkan Prilly.
"Iya, kenapa?" tanya Prilly menoleh ke belakang.
"Males," ujar Ebie menghempaskan tubuhnya di sandaran kursi.
"Sekolah kok males, mana bisa lulus dengan nilai bagus," cerca Al dingin.
"Ih, bukan itu Kak, tapi gurunya yang bikin males," bantah Ebie membela diri.
"Sama aja, kalau kamu suka sama pelajarannya, kalau gurunya kiler dan galak, nggak ada masalah," balas Al melihat Ebie dari kaca yang menggantung di depannya.
Ebie tak menjawab ia hanya membuang wajahnya ke arah jendela. Tak sengaja pandangan Al dan Prilly saling bertabrakan. Al segera menatap kembali ke depan begitu pun Prilly. Rasa grogi dan salah tingkah tiba-tiba menggelayuti hati dan tingkah mereka, mungkin saja karena mereka belum terbiasa.
"Bie, udah sampai," seru Al mengingatkan Ebie yang memejamkan mata.
"Ya," jawab Ebie malas.
"Makasih ya Kak," ucap Prilly sebelum keluar dari mobil.
"Ya, kalian belajar yang rajin," ujar Al berpesan setelah Ebie dan Prilly keluar.
"Iya Kak," jawab Prilly dengan suara yang membuat Al gemas dan ada rasa ingin menggodanya, namun Al berpikir belum waktunya karena baru saja mereka berkenalan tadi pagi.
"Kak," seru Ebie menunduk merayu Al, dengan tangan bertumpu pada pintu mobil.
"Apa?" jawab Al menautkan alisnya menunggu kata dari Ebie.
"Bagi uang jajan dong?" kata Ebie mengulurkan tangannya sambil melempar senyuman manisnya.
"Hidih, emang uang jajan yang di kasih Mami kurang?" tanya Al sambil merogoh dompet di saku belakang celana kainnya.
"Nggak kurang sih Kak, cuma sebagian udah aku buat beli baju kemarin," jawab Ebie merajuk.
"Boros!" seru Al sambil mengulurkan uang 100 ribuan.
"Makasih Kakak, jangan bilang Mami ya?" kata Ebie menaik turunkan kedua alisnya merayu kakaknya.
"Nggak janji," ujar Al melihat Prilly berdiri di belakang Ebie terkekeh melihat tingkah manja sahabatnya itu.
"Udah sana, masuk. Kasihan tuh Prilly udah nunggu," tukas Al menunjuk Prilly dengan gadunya.
Prilly hanya tersenyum manis membuat hati Al seperti mendapatkan kesejukan.
"Ya," jawab Ebie lalu menghampiri Prilly dan merangkulnya.
"Hati-hati Kak," pesan Prilly ramah di balas senyuman oleh Al.
Ebie dan Prilly melambaikan tangan saat Al mulai melajukan mobilnya, membelah jalanan yang sudah macet. Bayang-bayang Ayu tak juga hilang dari ingatannya. Saat Al sedang fokus menatap ke depan dentingan BBM masuk dari iphone-nya. Al menghiraukannya hingga mobilnya berhenti di lampu merah. Al membuka BBM dan membacanya.
Al kamu sibuk nggak? Entar siang jam makan siang bisa antar aku ke salonnya Tante Dinda? Sekalian mau ambil baju di butik dia.
Isi sms dari Ayu membuat Al merasa semakin dilanda galau. Al tak memungkiri jika kini hatinya sedang bahagia karena Ayu masih menganggapnya ada, walau pun dia sudah memiliki kekasih. Namun di sisi lain, hatinya merasa sakit jika mengingat Ayu sudah memiliki kekasih dan itu bukan dirinya.
Okey, nanti aku jemput di kantor kamu.
Al menarik napasnya dalam, dia berpikir jika Ayu belum menikah itu berarti masih bebas untuk berteman dengan siapa saja, termasuk dirinya. Al akan berusaha untuk menjadi yang terbaik bagi Ayu, sebelum janur kuning melengkung kesempatan masih terbuka lebar, pikir Al.
"Gue akan buktiin sama lo Yi, kalau gue cowok yang baik buat lo," ujar Al percaya diri dan semangatnya kembali membara.
Sepanjang perjalanan Al tak memudarkan senyumnya, dia bersiul dan mendendangkan lagu yang sedang dia putar di dalam mobil, mengirinya menuju ke kantor. Hatinya kembali merekah tak selayu kemarin. Mungkinkah Al akan mendapat balasan perasaan cinta dari Ayu?
########
Yiiiiii, kamu balas nggak perasaan Al? Ingat Yi, sampai kamu jadian sama Al banyak yang menentang, terutama Oma Neneng. Hahahah
Bawain gula teh ke rumah buat nyogok Yi, siapa tahu luluh hatinya Oma Neneng. Hihihihih
Okey, sampai di sini bagaimana?
Makasih yang udah setia membaca dan menunggu ya?
Makasih juga untuk vote dan komennya.
Muuuuaaahhhhh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top