HIM~19
Ujian nasional dua bulan lagi. Itu artinya Al akan pulang sebentar lagi. Kegiatan Prilly yang padat untuk mempersiapkan ujiannya sangat menyita waktu, pikiran dan tenaganya.
"Eh Pril, lo kenapa sih diem aja dari tadi?" tanya Lika yang menaruh kecurigaan kepada Prilly beberapa bulan terakhir ini.
Semenjak kejadian tengah malam itu, saat Lika menelepon Prilly hanya sekedar ingin mengingatkan bahwa jangan sampai lupa membawakan buku catatan yang dipinjam Prilly agar dibawa ke sekolah dan Al yang mengangkatnya, Lika selalu memendam banyak pertanyaan. Namun ia tak berani menanyakan kepada Prilly, takut jika dia akan tersinggung.
"Kepala gue pusing banget, Lik." Prilly memijat-mijat pelipisnya.
"Mau gue antar ke UKS?" Lika menawari siapa tahu jika Prilly istirahat di UKS pusingnya akan mereda.
"Nggak usah deh, Lik. Makasih, biar gue istirahat di kelas aja. Kalau lo mau nyusul Ebie sama Rahayu ke kantin nggak papa kok," ujar Prilly lalu meletakkan kepalanya di atas meja.
"Lo nggak makan? Gue beliin apaan gitu ya, biar lo bertenaga. Wajah lo udah pucet tuh," ujar Lika penuh perhatian menepis semua rasa penasarannya kepada suara pria yang dulu mengangkat teleponnya.
"Nggak Lika, perut gue mual dan gue lagi nggak nafsu makan." Lika membiarkan Prilly beristirahat sebentar sebelum bel berbunyi tanda istirahat selesai.
Lika tak tega jika meninggalkan Prilly di dalam kelas dengan keadaan begitu untuk menyusul Ebie dan Rahayu yang sudah lebih dulu ke kantin. Tak berapa lama Ebie dan Rahayu masuk sambil bergurau ria. Ebie yang melihat Prilly menidurkan kepalanya di atas meja lalu mengambil fotonya.
Ebie, terkekeh saat melihat hasilnya.
"Kirim ke Kak Al ah, biar tahu kegiatan bininya kalau di sekolahan," seru Ebie dalam hati lalu mengirimkan foto itu kepada Al.
Al yang di seberang sana sedang bersantai menunggu hujan salju reda, lalu membuka kiriman foto dari Ebie tadi.
Kelakuan bini Kakak kalau sedang istirahat. Diajak makan siang nggak mau, malah tidur begitu. Sampai jam berapa sih video call semalam?
Al terkekeh melihat wajah lucu istrinya, yang masih kelihatan sekali sifat ABG-nya. Memakai seragam sekolah namun sudah ia nikahi.
"Dasar! Gimana mau punya anak, dia aja masih seperti anak-anak," seru Al sembari memandangi iphone-nya.
Kelelahan kali dia Bie, biarin aja istirahat dulu. Bujuk dia makan, jangan sampai nggak, jaga dia jangan sampai sakit. Sampai sakit, kamu yang aku gantung.
Al mengirim balasan kepada Ebie, sedikit bergurau dengan adik tersayangnya itu. Gurauan begitu sudah menjadi hal biasa bagi mereka.
Gantungnya di pohon taoge ya Kak? Wkwkwkwk
Al terkikik melihat balasan dari Ebie. Rasa rindunya kepada keluarga semakin besar. Dulu saat masih kuliah, dia tak begini. Rindu namun tak sampai sedalam ini. Namun kenapa dia sekarang sampai rindu setengah mati? Apakah ini karena Prilly? Bukan kah dulu Al juga mencintai Ayu dan bisa menahan rindunya? Jika mengingat hal itu Al sendiri juga tak mengerti.
"Sabar ... sabar, sebentar lagi pulang. Kenapa 6 bulan di sini berasa 1 abad ya? Pengaruh punya bini besar juga ya? Apalagi entar punya anak? Bisa-bisa gue nggak bisa sejengkal jauh dari mereka." Al mengelus dadanya, lalu menatap keluar melihat hujan salju sudah reda.
Al segera meninggalkan tempat itu lalu kembali ke apartemennya untuk melepas lelah.
***
Prilly berjalan gontai menaiki tangga menuju ke kamar Al. Ebie yang sedari tadi memperhatikan keadaan Prilly yang tak seperti biasanya lalu merangkul dia.
"Lo, kenapa?" tanya Ebie lalu beralih memapah tubuh Prilly yang sudah lunglai.
"Kepala gue pusing, Bie." Prilly menjawab dengan suara parau dan lirih.
Ebie menyentuh kening Prilly, ternyata suhu badan Prilly sangat tinggi.
"Lo, sakit?! Kenapa nggak ngomong." Ebie segera membawa Prilly ke kamar Al, lalu membantunya mengganti baju.
"Lo, istirahat dulu, gue mau telepon Mami." Ebie segera memberitahu Adel tentang kondisi Prilly saat ini.
Dengan perasaan khawatir dan cemas Adel segera pulang dan sebelumnya ia menelepon dokter keluarga mereka. Sesampainya di rumah Adel langsung berlari ke kamar Al. Di sana sudah ada Ebie yang menjaga Prilly.
"Bie, gimana keadaan Prilly?" tanya Adel pelan menghampiri Ebie yang duduk di sebelah Prilly.
"Tadi Dokter Ira sudah ke sini, dia cuma memasang oksigen dan infus. Prilly kelelahan dan kurang asupan gizi," jelas Ebie membuat perasaan Adel sedikit lega.
Suara deringan iphone Prilly bergetar, Prilly yang mendengar lalu membuka matanya. Dia tahu betul siapa yang menelponnya. Adel dan Ebie juga tahu bahwa yang menelepon pasti Al.
"Om Jang," sahut Prilly dengan suara lemah.
"Kok suara kamu lirih? Kenapa?" tanya Al dari seberang yang langsung merasa hatinya tak enak.
"Nggak papa, cuma capek." Prilly berusaha menutupi keadaannya, namun di dalam hatinya dia berteriak ingin Al segera pulang untuk memeluknya.
Ebie berdiri lalu memotret kondisi Prilly.
Bini Kakak sakit.
Ebie sengaja mengirim email kepada Al, karena merasa tak tega melihat kondisi sahabatnya yang saat ini memang membutuhkan Al di sampingnya. Ebie tahu jika Prilly sakit tak hanya karena mempersiapkan ujian sekolahnya, namun dia terlalu memendam rindu hingga mengalami stres yang tinggi.
"Ayo Mi keluar bentar, bikinin Prilly bubur," ajak Ebie kepada Adel.
Adel mengelus rambut Prilly lalu mencium keningnya penuh kasih sayang. Meski Prilly adalah menantunya namun karena sebelum dia menjadi istri Al, ikatan kedekatannya dengan Prilly memang sudah terjalin sangat baik. Bagi Prilly, Adel adalah ibu keduanya.
"Mami keluar dulu ya sayang, mau buatin kamu bubur?" pamit Adel pelan. Prilly hanya mengangguk lalu Ebie dan Adel keluar dari kamar Al.
Keadaan di seberang yang sangat dingin karena Al sedang bekerja di luar kantor, saat mendengar suara lirih istrinya membuat dia dilanda kecemasan. Al melihat pesan masuk di emailnya, kebetulan saat ini dia sedang mengerjakan pekerjaan di laptopnya. Segera ia membuka email dari Ebie dan melihat gambar istrinya yang tergeletak lemah di atas ranjangnya dengan selang oksigen tertancap di hidungnya.
"Emes, kamu sakit?" tanya Al shock.
Prilly tak menjawab pertanyaan Al, ia takut untuk jujur kepada Al. Al yang tak mendengar sahutan dari seberang lalu sepihak mematikan sambungannya. Al berteriak geram merasa bersalah karena melihat kondisi Prilly yang sakit tanpa ada dia di sisinya.
Al merasa sangat cemas lalu dia berdiri dari duduknya dengan rasa emosi dan kalut. Hari itu juga Al pergi ke stasiun untuk mencari kereta listrik yang menuju ke Bandara. Al tak memperdulikan pekerjaannya di Belanda lagi. Yang ada dalam otaknya hanya 'Bagaimana keadaan istrinya?'.
"Sabar Emes, aku pulang hari ini," lirih Al sambil berjalan dengan langkah lebar.
Al merogoh iphone di saku celananya, lalu menelepon asistennya yang selama ini membantu dia menyelesaikan pekerjaan di sini.
"Delay all my meeting until next week." Hanya kata itu yang Al sampaikan kepada orang di seberang.
"Okey, Sir." Al segera memutus panggilannya.
Dia mengabaikan semua urusan di Belanda, yang terpenting dalam hidupnya adalah istrinya. Al ingin sekali segera sampai di Indonesia melihat keadaan Prilly dan memeluknya.
"Emes, aku pulang. Kamu tenang, aku pasti sampai di rumah." Tak henti-hentinya Al membatin mengingat wajah pucat dan tak berdaya Prilly tadi.
Al menempuh perjalanan 2 jam untuk sampai di Bandara, ia segera mencari tiket pemberangkatan paling awal ke Indonesia saat itu juga. Rasa cemas dan kekhawatirannya kepada Prilly membuat akal sehatnya berjalan lambat. Al dikuasai rasa cemas dan risau, ia selalu berdoa di dalam hatinya agar istrinya baik-baik saja.
Sedangkan keadaan Prilly di Indonesia tak kunjung membaik. Mona pulang dari kantor langsung menuju ke rumah besannya.
"Beb," lirih Mona membuka pintu kamar Al pelan.
Adel yang menemani Prilly berbaring di sampingnya bersama Ebie lalu bangkit menyambut besannya.
"Hay, sorry anak kamu sakit," ucap Adel merasa bersalah. Adel takut jika Mona berpikir bahwa dia tak menjaga Prilly dengan baik.
"Kenapa minta maaf, mungkin saja ketahanan tubuhnya sedang rendah. Apalagi sekarang kegiatan di sekolahnya padat, pasti dia kelelahan." Adel merasa lega karena Mona dapat memahami kesibukan Prilly sekarang.
"Kamu temani dia dulu, aku buatkan teh." Adel mengelus lengan Mona lalu keluar dari kamar.
"Sini Tan," kata Ebie bergeser agar Mona menemani Prilly.
Mona merangkak ke atas ranjang lalu memeluk Prilly, memberi kenyamanan untuk anak semata wayangnya.
"Kamu pasti kangen Al ya sayang? Mami tahu, kalau kamu sedang menahan pikiran pasti seperti ini. Kamu harus sabar, suamimu pergi untuk bekerja," kata Mona sambil membelai kepala Prilly lalu mencium keningnya yang terasa masih panas.
"Tante, aku keluar dulu ya," pamit Ebie memeberi waktu untuk Mona dan Prilly.
"Iya," sahut Mona lalu Ebie keluar dari kamar Al.
Ebie menuruni anak tangga melihat Adel dan Neneng duduk santai di ruang keluarga.
"Mi," panggil Ebie manja lalu menghampiri Adel dan melendot manja kepada Adel.
"Kenapa?" tanya Adel mengelus rambut Ebie penuh kasih sayang.
"Kak Al nggak pulang? Kasihan Prilly," tanya Ebie manja kepada maminya.
"Tadi Oma sudah coba hubungi nomer Al di sana, tapi nggak aktif. Mami juga sudah coba kirim chat sampai emailnya, tapi semua pending," jelas Adel mencemaskan keberadaan Al.
"Tadi Ebie udah kirim foto keadaan Prilly ke Kak Al," ujar Ebie polos membuat Neneng dan Adel saling memandang. Ada kemungkinan Al saat ini berada di atas pesawat hingga dia tak dapat dihubungi, pikir keduanya.
"Ya sudah, kamu bobo aja dulu sana. Biar Oma sama Mami yang jagain Prilly. Besok katanya mau latihan buat ujian praktek," titah Adel lembut mengingatkan Ebie.
"Iya deh, Mi. Aku tidur duluan." Ebie beranjak dari tempat ternyamannya lalu mencium pipi Adel dan beralih ke Neneng.
Setelah Ebie naik ke kamarnya, Adel dan Neneng mengobrol kecil.
"Semoga Al pulang ya, Del," ujar Neneng berharap tulus.
"Semoga saja Bun. Mengingat kesibukan dia di sana apa bisa dia cepat pulang?" Adel masih merasa ragu karena memahami betul bagaimana padatnya pekerjaan Al di Belanda.
***
Hari pun berganti, siang menjelang senja perlahan awan yang kemerahan menjadi gelap. Tugas matahari tergantikan oleh rembulan untuk menyinari gelapnya malam. Selama 15 jam lebih perjalanan Al di atas pesawat yang sempat singgah satu jam di Malaysia untuk transit. Dengan rasa kalut dan tak sabar Al yang baru saja menginjakkan kakinya di pelataran rumah, langsung berlari masuk dan menuju ke kamarnya.
"Emes!!!" Al membuka pintu kamar tak sabar mengagetkan semua orang yang berada di dalam kamarnya.
Semua terkejut melihat kedatangan Al yang tiba-tiba ada. Prilly yang masih lemah menoleh ke arah pintu, Al langsung masuk memeluk Prilly yang masih berbaring namun sudah tak memakai selang oksigen. Al sedikit mengangkat tubuh Prilly, hingga pelukan mereka tak memiliki celah sedikit pun.
"Akhirnya Om Jang, pulang juga. Cieeeeee, asyikkkkk dapat suntikan vitamin biar cepet sehat," celetuk Ebie yang tak kuasa ingin menggoda Prilly.
Prilly memecahkan kerinduannya di dalam pelukan Al. Dia menangis hingga sesenggukan. Semua yang melihat adegan mengharukan itu dapat merasakan betapa besar rindu keduanya.
"Keluar yuk, kasih mereka waktu," ajak Mona kepada Adel, Neneng dan Ebie.
Semua keluar dari kamar Al, meninggalkan pasutri yang masih saling berpelukan di atas ranjang melepas rindu.
"Maaf," ucap Al merasa bersalah sambil mengusap punggung Prilly lembut.
"Aku kangen," rengek manja Prilly mengeratkan pelukannya seakan dia tak mau lagi ditinggalkan oleh Al.
"Aku juga sangat merindukanmu, Emes. Kenapa bisa sampai sakit begini sih?" seru Al meregangkan pelukannya melihat wajah istrinya yang masih sedikit pucat.
Al melepas jaketnya menyisakan hem putih, lalu berbaring memeluk Prilly lagi. Al mencari remot AC dan mengatur suhu ruangan agar tak terlalu dingin.
"Kamu kenapa nggak bilang kalau mau pulang?" tanya Prilly memperhatikan rambut Al yang sedikit gondrong.
"Aku sudah nggak bisa berpikir lagi saat nerima kiriman foto dari Ebie. Aku langsung pulang gitu aja, ninggalin pekerjaanku yang sebenarnya masih sangat banyak dan menumpuk," jelas Al memang begitu adanya.
"Maaf, gara-gara aku pekerjaanmu terhambat," ucap Prilly merasa bersalah.
"Nggak Emes, ini bukan salah siap-siap. Ini mauku untuk pulang dan meyakinkan keadaan kamu." Al mengelus rambut Prilly lembut.
"Kok kamu nggak potong rambut? Nggak rapi banget sih," ujar Prilly memprotes penampilan Al yang terlihat tak terawat.
"Sengaja biar jelek, katanya nggak boleh ganteng kalau nggak ada kamu di samping aku? Ya udah aku sengaja nggak potong rambut." Prilly tersenyum mendengar alasan Al yang membuat hatinya menghangat.
"Beneran ... nggak aneh-aneh kan di sana?" tanya Prilly mengintimidasi.
"Iya, Emes. Aku tuh kerja dan nggak neko-neko. Cuma kemarin sempat ketemu sama temen lama dan ngobrol sebentar," kata Al membuat Prilly langsung menatapnya curiga.
"Cewek apa cowok?" tanya Prilly curiga. Al tersenyum menggigit bibir bawahnya.
"Cewek," jawab Al langsung memeluk Prilly agar istrinya itu tak marah dan curiga sebelum Al menjelaskan.
"Aaaaa, kamu selingkuh?" Prilly memukul-mukul Al sambil merengek manja.
"Nggak, Emes. Cuma bertemu ngobrol biasa. Kita nggak ngapa-ngapain, sumpah! Di sana cuma kamu yang memenuhi otakku, mana mungkin aku sempat memikirkan orang lain." Al berusaha menjelaskan kepada Prilly sambil mendekap tubuh mungil istrinya.
##########
Hahahahahaha
Bisa nggak ya nih sebelum puasa ENDING?
Hihiho
Makasih untuk vote dan komennya. Ummmmmuuuuuaaahhhh
Perhatian!!!!!
Jika ada tanda seperti di atas, dilarang keras untuk usia di bawah 18 tahun untuk membaca.
Mohon kedewasaannya.
Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top