HIM~10

Dua bulan sudah perjalanan rumah tangga Al dan Prilly, namun tak ada perkembangan apa pun pada perasaan mereka. Al masih sibuk dengan urusannya, begitu pun Prilly yang masih asyik bermain bersama sahabat-sahabatnya.

"Aku nanti pulang sekolah mau jalan sama temen-temen ke mall," izin Prilly sambil menyisir rambutnya di depan kaca.

Al yang baru saja selesai mengancingkan bajunya, hanya menatap Prilly sekilas.

"Mau cari apa di sana? Penting nggak?" tanya Al menanggapi dengan santai.

"Kita mau nonton film yang baru saja diputar. My stupid bos," ujar Prilly menghampiri Al dan memilihkan dasi yang sesuai dengan kemejanya.

Al menggeser bangku kecil dengan kakinya, yang biasa Prilly naiki agar bisa memasangkan dasi untuk Al. Al yang memiliki tinggi badan 176 cm membuat Prilly kesusahan jika harus memasangkan dasi. Untung saja ada kursi yang menunjang tinggi badannya agar menyeimbangi tinggi suaminya.

"Uang belanja kamu masih?" tanya Al sambil memperhatikan wajah mungil istrinya yang sedang serius memakaikan dasi.

"Mmm ...." Prilly hanya bergumam sibuk memperhatikan tangannya yang asyik memasangkan dasi untuk suaminya.

"Boros!" seru Al menarik hidung Prilly pelan dan ia memahami maksud gumaman Prilly tadi.

"Kan kemarin buat beli beras, gula, kopi, roti, susu, telur dan bahan dapur lainnya," bantah Prilly menjelaskan pemakaian uang yang diberikan Al untuknya.

Sudah hampir satu bulan mereka tinggal di rumah baru yang Al beli dengan hasil keringatnya sendiri. Rumah minimalis yang tak jauh dari komplek rumah Adel.

"Kan lebih itu uang belanjanya Prilly ...," sahut Al mengambil dompetnya di atas nakas.

"Kan kemarin aku beberapa hari pulang naik taksi," bantah Prilly.

"Ya udah ini aku tambahin. Jangan boros-boros, belajar memanage pengeluaran. Kan kamu sekarang ibu rumah tangga, harus bisa mengatur uang bulanan yang aku kasih," ujar Al mengingatkan peranan Prilly di dalam rumah.

Prilly hanya menunduk, semenjak dia menikah kebebasannya seperti terbatas. Ini itu semua diatur dan membuat Prilly berasa dipenjara. Namun ia masih bersyukur karena Al tak melarangnya untuk bermain bersama teman-temannya dengan catatan dia harus sudah berada di rumah saat Al pulang kerja.

"Ingat ya, jangan sore-sore pulangnya. Aku pulang kerja, kamu harus sudah masak dan berada di rumah," tutur Al mewanti-wanti Prilly.

"Iya Kak Al," jawab Prilly patuh.

Prilly segera mengambil tas sekolahnya dan membawakan jas Al, sedangkan Al menenteng tas kerjanya. Setiap pagi Al harus mengantar Prilly ke sekolah, untuk menghilangkan rasa kecurigaan teman-temannya Al juga menjemput Ebie setiap pagi agar berangkat bersama Prilly.

"Kamu masak apa?" tanya Al menarik kursi dan duduk melihat sarapannya sudah ada di atas meja makan.

"Aku buat nasi goreng, yang mudah dan cepat. Maaf aku kan masih belajar masak. Kalau rasanya belum sesuai lidah Kak Al, pura-pura aja enak biar aku seneng dan lebih semangat belajar lagi," ujar Prilly polos membuat Al tertawa lepas.

Al mengacak kepala Prilly pelan, rumah tangga mereka tak seperti kebanyakan orang. Terkesan seperti Al menjaga adiknya dan ngemong Prilly.

"Okey, aku akan menelannya walau keasinan kayak kemarin, aku harus bilang enak. Gitu?" tanya Al melihat wajah Prilly yang menggemaskan.

"Iya dong, kan suami itu harus makan apa yang sudah istrinya masak. Ya udah, aku bisanya masak ini dan Kak Al harus memakannya," kata Prilly semakin membuat Al gemas ingin mencubit pipinya yang chubby.

"Kamu tu ada-ada aja, kalau aku darah tinggi karena keseringan makan asin awas ya? Aku akan hukum kamu satu bulan full bersihin rumah sendiri tanpa aku bantu," ujar Al sambil menyendokkan nasi goreng.

"Ih Kak Al sadisssss!" sahut Prilly membuat Al semakin tertawa geli hingga memegangi perutnya.

"Kayak iklan indomie aja," ujar Al menyahuti perkataan Prilly tadi.

"Ih, bukannya itu iklannya Kakak ya?" canda Prilly disela sarapan mereka.

"Itu iklan adik Kakak, Al Ghazali kan? 11 ... 12 sama wajah Kakak lah, tapi gantengnya banyakan Kakak," seru Al percaya diri.

"Big No! Masih gantengan Al Ghazali, kalau ini kan Al ...." Prilly menghentikan ucapannya menatap Al lekat.

"Kenapa?" tanya Al menatap Prilly sambil mengunyah nasi gorengnya.

"Kakak nama panjangnya siapa sih? Kok aku belum tahu ya?" ucap Prilly dengan tampang lugu sambil menggaruk pelipisnya.

"Ya ampun Prilly, istri macam apa kamu. Nama suaminya sendiri nggak tahu," sergah Al tak habis pikir jika selama ini Prilly tak mengetahui nama panjangnya.

"Emang Kak Al tahu nama panjang aku? Wajar dong, kan aku nggak pernah kenalan sama Kak Al," bantah Prilly sambil mengerucutkan bibirnya lucu, membuat Al gemas ingin menarik bibir Prilly.

"Ya tahu lah, kan pas ijab kabul aku nyebut nama panjang kamu. Prilly Dewi Maharani," seru Al menekan nama panjang Prilly.

"Terus nama panjang Kak Al siapa? Kalau kata orang tak kenal maka tak sayang," ujar Prilly penasaran.

"Cieeeee ... yang mau sayang sama Kak Al?" goda Al sambil mencolek pipi chuby Prilly.

"Ihhhhh, bukan itu maksudnya. Ah terserah Kak Al!" seru Prilly salah tingkah sambil membawa piringnya yang sudah kosong ke dapur.

Al yang melihat pipi merah merona Prilly hanya tertawa hingga terpingkal-pingkal.

"Kak Al, udah jangan ketawa terus. Aku malu," pekik Prilly dari dapur.

Al yang mendengar teriakan Prilly tadi lalu mengulum bibirnya agar tawanya tak lepas. Al lalu menghabiskan sarapannya yang terasa asin, pedas dan manis. Rasanya yang belum sesuai dengan lidahnya namun berusaha tetap ia makan dan telan untuk menghargai usaha Prilly.

***

Al memarkirkan mobilnya di depan sekolahan Prilly. Ebie yang duduk di jok belakang tak langsung keluar melainkan memperhatikan Al dan Prilly yang masih sama-sama terdiam.

"Ini pasutri perasaan nggak ada romantis-romantisnya. Lo juga Pril, jadi istri kayak di tivi-tivi gitu loh. Suami mau berangkat kerja cium tangannya kek apa gimana gitu," ucap Ebie sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Al dan Prilly saling melirik dan menjadi salah tingkah.

"Dasar korban senetron!" sahut Al tanpa menoleh kepada Ebie.

"Dulu Mami sama Papi juga begitu Kak, malah Ebie sering lihat mereka ciuman di bibir," timpal Ebie menghasut keduanya agar lebih terlihat harmonis, namun Al dan Prilly justru semakin canggung dan salah tingkah.

"Kenapa gue jadi salah tingkah begini sih sama anak ABG? Jangan-jangan gue kelainan nih, suka daun muda," batin Al menghindari tatapan dengan Prilly.

"Duuuhhhh, kenapa jantung gue jadi deg-degan gini sih dekat sama Kak Al. Masa sih gue suka sama yang tua. Ngapain juga Ebie bilang begitu, kan gue jadi salah tingkah. Dasar Ebieeeeee," pekik Prilly dalam hati merasa geram dengan Ebie.

"Ya udah deh, kalau kalian malu gue keluar duluan," ujar Ebie lalu terlebih dulu keluar dari mobil.

Al dan Prilly masih saja sama-sama terdiam. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Mmm Kak Al aku sekolah dulu ya?" pamit Prilly sambil meremas ujung seragamnya mengurangi rasa grogi.

"Oh iya, kamu belajar yang rajin ya? Dan jangan lupa makan siang," sahut Al salah tingkah dan berbicara sekenanya mengurangi rasa grogi yang tiba-tiba menyerangnya.

Prilly hanya mengangguk dan menatap ke arah depan mobil Al, terlihat Ebie sudah berdiri dengan jarak satu meter. Ia sedang mengobrol dengan seorang pria berseragam sama dengannya, sepertinya teman satu angkatan dengannya dan Prilly. Tak lama kemudian orang itu menoleh ke arah mobil Al.

"Kak Al aku turun dulu ya?" kata Prilly lalu turun begitu saja dari mobil dan langsung menghampiri temannya tadi dan Ebie yang masih asyik mengobrol.

Prilly terlihat ceria dan senyum selalu mengbang di bibirnya saat ikut mengobrop. Al memperhatikan cara Prilly mengobrol dengan teman prianya. Ada rasa tak rela hinggap di hati Al, tak terasa tangannya meremas setir mobil erat, hingga buku-buku tangannya menjadi putih. Rahangnya mengeras saat lelaki tadi merangkul Prilly masuk ke sekolahan. Mata Al tak lepas memandangi Prilly, Ebie dan teman prianya tadi. Saat melihat hal itu seakan Al ingin sekali berteriak 'she is mine', agar pria tadi tahu bahwa Prilly sudah menjadi miliknya.

"Dia milikku!" kata Al sambil menjalankan mobilnya setelah tubuh istrinya tak terlihat lagi.

"Tengku, jangan begini. Gue nggak enak kalau sampai Adinda lihat," seru Prilly menolak tangan Tengku yang bertengger di bahunya.

"Kenapa? Kitakan teman," bantah Tengku yang menganggap hal itu biasa saja, namun tidak untuk Prilly.

Rasa cintanya untuk Tengku masih tersimpan di sudut hatinya. Mungkin saja Prilly takut rasa itu akan semakin berkembang jika Tengku memperlakukan Prilly seperti itu. Ebie yang merasakan tidak kenyamanan Prilly lalu menarik tangan Prilly pelan untuk meregangkan rangkulan tangan Tengku.

"Eh, lo nggak latihan basket, Ngku?" tanya Ebie basa-basi kepada Tengku lalu berjalan di tengah-tengah Prilly dan Tengku.

"Entar siang baru kita ada latihan," jawab Tengku yang tetap tak menyadari debaran jantung Prilly sudah berjalan abnormal karena berdektan dengannya.

Prilly tak dapat memungkiri jika rasa cintanya kepada Tengku masih ada, namun dia harus bisa menyadari bahwa Tengku sudah memiliki kekasih yaitu Adinda. Sedangkan dia juga harus menyadari, bahwa dia sekarang sudah memiliki suami, walau dia tak mencintainya namun setidaknya dia harus menghargai dan menghormati suaminya yaitu Al.

"Kalau gitu kita masuk kelas dulu ya, Ngku," ujar Ebie saat mereka hampir sudah sampai dekat pintu kelas.

"Eh, entar pulang sekolah kita jadi nonton kan ya?" tanya Tengku memastikan.

Ebie dan Prilly saling memandang, kenapa Tengku tahu jika mereka akan pergi menonton film nanti sepulang sekolah, pikir Ebie dan Prilly sambil menatap Tengku bingung.

"Gue diajak Adinda, katanya dia mau pergi nonton sama kalian," jelas Tengku memahami maksud tatapan bingung Ebie dan Prilly.

"Ohhh, dari Adinda ... okey. Kita jadi nonton kok nanti," ujar Ebie, Prilly hanya diam memandang ke arah lain menghindari tatapan mata Tengku yang sudah berhasil meluluhkan hatinya.

"Hay Yang," sapa Adinda kepada Tengku yang baru saja datang.

"Hay, kamu baru sampai?" sahut Tengku yang menyambut kedatangan Adinda hangat.

"Iya, tadi aku sedikit kesiangan bangunnya," ujar Adinda manja sambil bergelayut di lengan Tengku.

Prilly yang melihat hal itu menjadi jengah, hatinya sedikit merasa sakit dan cemburu. Namun ia bisa apa selain bersabar dan mengelus dadanya agar lebih lapang menerima luka dari Tengku.

"Bie, masuk yuk? Pelajaran Bu Icha nih," ajak Prilly yang ingin menghindari Adinda dan Tengku.

"Okey, Din gue sama Prilly masuk duluan ya?" ujar Ebie ramah lalu masuk ke dalam kelas.

Kelas Tengku berbeda dengan Ebie dan Prilly, namun Adinda yang satu kelas dengan mereka. Sebenarnya Adinda tahu jika Prilly selama ini naksir dengan Tengku. Dia selalu sengaja memamerkan kebersamaannya dengan Tengku di depan Prilly, untuk memperlihatkan bahwa Tengku miliknya.

"He is mine," Adinda memekik dalam hati sambil melirikan matanya kepada Prilly.

"Yang, aku masuk kelas ya?" kata Adinda melepas lengan Tengku.

"Okey, nanti jam istirahat aku samperin kamu. Kita ke lapangan bareng," ujar Tengku sambil mengelus pipi Adinda mesra.

Prilly yang melihat hal itu tepat di depan matanya, membuat hati Prilly terasa nyeri dan dadanya bergemuruh panas.

"Bermesraan kok di sekolahan, nggak ada tempat lain apa?!" Prilly menggerutu tak jelas karena bagaimana pun matanya menghindari, pandangannya tetap tertuju pada dua sejoli yang masih berdiri di depan kelas, Prilly merasa penasaran dan ingin melihat hal apa saja yang mereka lakukan.

"Apa sih Pril?" tanya Lika yang mendengar gerutuan Prilly.

"Lihat aja tuh, King and Queen sekolahan kita. Nggak lihat tempat banget sih bermesraan," desah Prilly sebal membuat sahabat-sahabatnya terkekeh melihat wajah jealous Prilly.

"Cieeee, ternyata ada yang cemburu nih yeeee?" goda Ebie sengaja agar teman-temannya tak mencurigai bahwa Prilly sudah menikah dengan kakaknya.

"Apaan sih, gue nggak cemburu. Sebel aja lihat orang bermesraan di sekolahan, nggak tahu tempat!" elak Prilly membuat teman-temannya hanya tersenyum.

Mereka tahu bahwa Prilly saat ini memang sedang merasa cemburu melihat Tengku dan Adinda. Namun sebagai sahabat mereka hanya ingin menghibur Prilly agar rasa sakit di hatinya tidak terlalu dalam.

"Ya udah, sekarang kita siap-siap buat pelajarannya Bu Icha aja," sela Rahayu lalu mengeluarkan buku pelajaran matematika.

Dengan wajah terlipat tak enak dipandang, Prilly pun mengeluarkan bukunya. Ebie yang melihat hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Ebie memahami jika hati tak dapat dipaksa, memang saat ini cinta Prilly untuk Tengku itu sudah menjadi rahasia umum bagi Ebie. Dia tak bisa memaksa Prilly untuk mencintai kakaknya, karena Ebie juga tahu bahwa cinta Al kepada Ayu juga masih begitu besar.

"Udah, nggak usah cemberut. Senyumin aja, kalau lo begitu kelihatan banget kalau lagi cemburu," nasehat Ebie sambil menatap Prilly yang sedang mencoret-coret bukunya.

"Kalau mencintai rasanya sesakit ini, dulu gue nggak akan izinkan rasa itu ada. Ternyata cinta nggak seindah yang gue bayangkan." Prilly merasa patah hati yang teramat dalam hingga tak mempercayai cinta lagi.

"Sampai kapan lo mau begini? Inget dia juga butuh cinta dari lo. Walau kalian belum saling terbuka soal itu, tapi gue yakin pasti suatu saat kalian bisa saling membasuh luka di hati masing-masing. Inget Pril, pondasi awal sebuah hubungan itu adalah cinta yang kuat," seru Ebie mengingatkan bahwa Al sekarang sudah menjadi bagian dalam hidup Prilly.

Prilly hanya terdiam dan merenung memikirkan kata-kata Ebie tadi. Dapatkah luka di hatinya sembuh dengan basuhan dari Al?

##########

Hahahahaha
Duh gimana nih kelanjutannya?
Yang penting jalani aja dulu.
Sampai kapan begini?
Sampai Tuhan membukakan hati mereka.
Kapan?
Kapan-kapan.

Hihihi

Makasih untuk vote dan komennya ya?
Muuuuaaahhhh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top