New Year's Eve (2)
New Year's Eve (2)
Taburan kembang api yang menghiasi langit malam, saling bersahutan menyambut pergantian tahun. Pandangan setiap orang tertuju pada keindahannya. Warna-warni percikan api dengan bentuk yang beraneka ragam semakin menyemarakkan suasana riuh ramai selain dari suara musik dan tiupan terompet.
Tapi segala kemeriahan di depan mata tidak berarti bagi Marvin. Semua berlalu begitu saja tanpa kesan.
Mengapa saat tahun baru yang meriah tidak mampu membuat hatinya ikut bergembira? Di saat semua orang tenggelam dalam euforia, dia malah memilih berteman dalam kesepian. Sunyi, hampa dalam setiap kisi-kisi hatinya.
Harus apa lagi? Harus bagaimana lagi?
***
Tamu-tamu resor yang akan menginap sebagian besar sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Hanya tersisa sedikit saja tamu di area kolam yang masih enggan beranjak kendati pesta telah berakhir.
Pukul tiga dinihari, Marvin masuk ke salah satu kamar suite yang sejak resor itu dibuka, menjadi kamar khusus untuknya setiapkali memutuskan untuk menginap. Letaknya terpisah dengan deretan kamar untuk tamu resor. Dengan ukuran yang lebih luas dan lapang.
Setelah melepaskan dasi dan dua kancing teratas kemeja putihnya, Marvin berbaring. Niatnya hanya sekedar berbaring, bukan untuk memejamkan mata dan tidur.
Kecewa.
Satu perasaan itu yang mendominasi. Tidak ada kata lain yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang dirasakan dalam hati. Padahal dia begitu berharap Hazel akan datang.
Dia butuh melihatnya. Memandangnya, untuk semakin menambahkan rasa rindu. Namun semua harapannya semu. Hazel lebih memilih untuk tidak datang. Tindakan yang semakin menegaskan bahwa mantan istrinya itu memang tidak ingin kembali berurusan dengannya.
Tapi, Marvin tidak akan menyerah.
Tidak akan pernah.
Besok pagi, dia akan berangkat ke Bandung.
***
Tanggal merah di awal tahun menjadi alasan terbaik untuk bermalas-malasan bagi mereka yang begadang semalaman. Namun karena Hazel tidur tepat setelah pergantian tahun, dia tetap bangun pagi seperti biasa. Mencuci muka dan langsung beranjak ke dapur, membuatkan susu untuk Marvel yang tidak lama lagi akan ikut bangun.
Tante Intan sudah terdengar menyapu di halaman. Suara sapu lidi beradu dengan tanah sudah sedemikian familiar di telinganya. Tidak lupa, suara burung perkutut tetangga yang menambah indah suasana pagi.
***
Marvin sesekali menguap, namun tetap berusaha fokus dengan kemudinya. Mobil sudah memasuki ruas jalan menuju area rumah tante Intan dan sekitar lima menit lagi dia akan sampai di rumah itu.
Hazel jelas akan menunjukkan sikap permusuhan, tapi dia sudah tidak lagi peduli. Dia merindukan Marvel, dan tidak bisa menahan kerinduannya lebih lama lagi. Tentang perasaannya terhadap Hazel, dia mengakui siap menomorduakannya.
***
"Susu, Nda,"
Marvel belum lagi membuka ke dua matanya, namun sudah merajuk meminta susu. Hazel sudah hapal kebiasaan Marvel. Botol susu yang terisi penuh didekatkan ke mulut Marvel. Dalam sekejap, ujung botol susu sudah masuk ke mulut si kecil. Tanpa membuka mata, Marvel terus meminum susu. Hanya beberapa menit, botol susunya nyaris kosong melompong. Saat itulah ke dua matanya juga ikut terbuka lebar.
"Nda. Abis,"
"Kalau susunya udah abis, waktunya..."
"Mandi," Marvel sudah hapal jawaban apa yang harus diberikannya.
Hazel langsung memeluknya. "Pinteeer anak Bunda. Ayo turun."
***
Marvin menghela napas penuh kelegaan. Aaah akhirnya sampai juga.
Jam di tangan kiri menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Jam segini Marvel pasti sudah mandi. Jadi, dia bisa leluasa mengajaknya jalan-jalan.
Marvin memencet bel. Pintu depan terbuka, berarti sang pemilik rumah sudah siap menerima tamu. Dia memang datang untuk bertamu. Tidak lebih.
Selang beberapa saat kemudian, Hesty muncul dan dengan ramah mempersilahkan Marvin untuk masuk dan duduk di sofa. Hesty sudah menebak maksud kedatangannya. Kata Hesty, Marvel sudah bangun dan sepertinya juga sudah selesai mandi.
Di sofa yang lebih pendek, sebuah terompet kecil tergeletak.
Tidak berapa lama, muncul Marvel yang memakai baju kaus merah sepasang dengan celana pendeknya. Naik ke sofa dan mengambil terompet.
"Mas, ini Marvel." Hesty kembali muncul.
"Bundanya mana, Hes?"
"Kayaknya lagi mandi,"
Wah.
Otak Marvin langsung berimajinasi.
Marvel memandangi Marvin tapi tidak berani mendekat.
"Marveeel. Mau tiup terompet ya? Terompetnya lucu. Oom boleh lihat?" Marvin beranjak dari sofa.
Tiba-tiba Marvel menggeleng kuat. Wajahnya menunjukkan ketidakramahan. Bibir mungilnya mengerut. Begitupun keningnya.
"Oom lampok!"
What??
"Oom lampoook,"
***
Marvin sudah sampai pada tahap gemas ketika Marvel berteriak ke arahnya kemudian berlari masuk ke dalam. Marvin menyusul, tapi Marvel cepat-cepat berlari dan berlindung di balik tubuh Hesty.
"El, kok Oom dibilang rampok?" Rupanya Hesty mendengarnya juga.
"Nda ilang, Oom lampok,"
Astaga. Tega bener! Hazel sudah mengajari Marvel yang tidak benar. Bisa-bisanya Marvel menyebutnya Oom rampok. Dia tidak punya potongan jadi perampok. Perampok hati sih iya
Keterlaluan!
"Marveeel,"
Terdengar suara teriakan Hazel, dan Marvel langsung berlari untuk meminta pertolongan.
"Nda. Oom lampok,"
Hazel yang melihat Marvin tidak bisa menahan senyum.
"Iya, Sayang. Nanti Bunda marahin,"
"Oom lampok ambil lompet," Marvel mendekap terompetnya kuat-kuat. "Ndaa, atuut,"
Senyuman Hazel semakin melebar, sementara Marvin sudah menahan geram.
"Ya sudah. El sini sama Bunda." Hazel melirik Marvin dan menggendong Marvel.
Satu-satunya peluang untuk menyentuh Marvel malah dibuyarkan dengan ajaran sesat. Kalau seperti ini cara Hazel memisahkannya dengan Marvel dan membuat anak itu memusuhinya, apalagi sampai ketakutan, Marvin tidak akan segan memanggil polisi.
"Maksud kamu apa ngomong begitu ke Marvel?"
Marvel sudah asyik bermain lego bersama Hesty. Begitu tenggelam dalam dunianya sendiri. Marvel begitu gembira setiap selesai memasang satu tingkat lego yang entah berbentuk seperti apa. Hesty membantu Marvel dengan memperlihatkan contoh bentuk hewan pada instruksi pemakaian.
"Iseng aja," Hazel mengambil keranjang berisi cucian bersih untuk dijemur di luar.
Marvin mengikutinya, berdiri di depan tiang jemuran. Masih dengan beribu tanya dalam benak. Apakah Hazel akan terus menguji kesabarannya hingga dia tidak sanggup lagi?
"Iseng, tapi kamu udah ngasih gambaran yang enggak-enggak tentang aku," Marvin masih memandang Hazel dengan rasa marah.
"Makanya jangan datang lagi ke sini,"
Marvin tahu Hazel masih bertahan membangun tembok tebal sebagai batas antara mereka.
"Kalau kamu nggak mau aku ke sini, kamu yang bawa Marvel ke Lembang."
Hazel merentangkan selimut yang menebarkan wangi bunga, hingga membentang di salah satu tali jemuran. "Kenapa aku harus susah payah?"
"Zel. Aku harus ngomong apa lagi ke kamu? Aku kangen sama Marvel. Aku nggak akan bisa selamanya pisah sama Marvel." Setiap kata yang diucapkan Marvin begitu dalam. Jika saja Hazel mau mencoba memahami sedikit saja.
Hazel mengambil lagi seprai untuk dijemur. "Daripada kamu uring-uringan nggak jelas, lebih baik kamu bantuin aku jemur pakaian. Nih. Tarik ujungnya."
Marvin mendengus, tapi mengambil juga ujung seprai yang satunya lagi. Mereka bersama-sama menjemur seprai sampai tersampir rapi pada tali jemuran.
"Ini mau aku bantuin jemur juga?" tanya Marvin sambil mengacungkan bra di tangan kanan dan underwear di tangan kiri.
"Marvin!! Kamu udah gila ya?" Hazel panik dan mengambil pakaian dalamnya dari tangan Marvin.
"Ntar dulu," Marvin menyembunyikan di balik punggungnya.
"Marvin! Maksud kamu apa sih?" Wajah Hazel memerah seperti kepiting rebus, dan dia sudah nyaris mencakar Marvin yang sudah lancang mengibas-ngibaskan pakaian dalamnya.
"Aku balikin ini, asal kamu ijinkan aku main sama Marvel."
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top