Bab 5

                                                                              

              Marvin mendengarnya. Masih didekapnya Hazel dengan erat. Dengan segenap rasa sayang dan rasa ingin melindungi isteri yang sangat dicintainya itu.

                “Everything will be okay,” jawabnya, penuh keyakinan.

                Hazel tidak lagi menyebut tentang Riana. Hanya pergerakan tubuh Hazel yang pelan-pelan  membuatnya harus menguraikan dekapan.

                “Apa karena alasan itu, kamu pergi?” Kali ini Marvin bertanya.

                Tetesan airmata Hazel masih bergulir di ke dua pipinya. Dengan lembut, disekanya setiap bagian kulit Hazel yang dilalui luruhan basah. Dia tidak akan membiarkan perempuan yang menjadi tempatnya menggantungkan harapan dan masa depannya itu menangis lagi.

                “Aku takut, Marv.” Hazel menjawab, dan airmatanya kembali jatuh.

                “Takut?”

                “Waktu kamu kecelakaan, aku selalu berpikir segala kemungkinan terburuk akan terjadi.”

                Marvin menggeser jempol kanannya berkali-kali untuk menghapuskan airmata Hazel. “Kita bersama sekarang. Nggak ada hal buruk yang akan terjadi.”

                “Aku punya hasil tesnya, Marv.”

                Marvin enggan mendengarkan topik tentang Riana lagi. Perempuan itu tidak mungkin mengandung anaknya. Sepanjang yang diingatnya, setiap berhubungan intim, dia selalu menggunakan pengaman. Walau jika mengingatnya lagi, dia merasa dirinya sangat menjijikkan.

                “Akan aku selesaikan secepatnya,” Marvin bersungguh-sungguh. Hubungannya dengan Hazel adalah kepastian, komitmen, dan masa depan. Sedangkan Riana hanya masa lalu. Tidak akan dibiarkannya masa lalu menghancurkan impiannya. Hanya satu perempuan yang diharapkan menjadi pendamping hidup selamanya. Dan sosok itu adalah Hazel.

                “Promise me,” Hazel menarik kerah kemejanya sebelum menghadapkan wajah Marvin lebih fokus padanya. “Kalau anak itu bukan anak kamu,”

                “Aku janji.”

                                                                                                ***

                Sepanjang berkendara, Marvin berusaha menanamkan sebanyak-banyaknya pikiran positif dalam otaknya. Sugesti demi sugesti berkelebatan dalam jarak yang semakin menipis.

                Siang itu juga dia akan menemui Riana. Untuk menuntaskan segala sangkutan mereka di masa lalu. Persetan dengan pengakuan Riana karena dia sama sekali tidak percaya.

                Sejak mengenal Riana, praktis Marvin tidak pernah lagi berhubungan dengan perempuan lain lagi. Hanya Riana tempat segala rindu dan cintanya tertuju. Meskipun hubungan mereka tidak disetujui oleh ke dua orangtuanya, namun Marvin tetap melanjutkan hubungannya dengan Riana. Mereka tidak terpisahkan satu sama lain. Sekalipun tanpa komitmen.

                Hingga sebuah pertemuan tidak terduga dengan Hazel di sebuah restoran, bertunangan dengannya dan sejak itu hatinya mulai bercabang.

                “You come,” Riana tersenyum padanya. “Aku pikir kamu nggak akan datang. Aku sempat dengar kabar kecelakaan kamu. Tapi kamu kan tau, aku nggak mungkin muncul di tengah-tengah keluarga kamu. Dan sejak itu, aku nggak pernah bisa hubungin kamu lagi. Kamu udah bener-bener sehat kan?”

                “Aku sudah sehat.” Marvin mengabaikan tentang kecelakaan itu.

                “Hubungan kita sudah berakhir, Ri.”

                “Itu kan menurutmu,” Riana bersedekap. “Setelah hubungan kita sudah sejauh ini? Marvin. Aku pikir kamu bisa memegang janjimu dengan teguh. Ternyata aku saja yang terlalu percaya sama kamu.”

                “Berapa banyak yang lo mau?” tanya Marvin. Dia sudah siap menggelontorkan sejumlah uang, tidak peduli berapa banyak. Asalkan Riana menjauh dari hidupnya, membawa serta kisah mereka di masa lalu.

                Riana tertawa kecil. “Sekarang kamu ngomongin soal uang. Sayang sekali, aku nggak tertarik. Dari dulu pun, aku nggak pernah ngincar uang kamu.”

                “Jadi mau lo apa?”

                Riana tersenyum. “Nikahin aku. Nggak perlu pesta yang mewah. Aku hanya butuh status dan pengakuan dari kamu.”

                “Dan lo ngaku hamil?”

                “Aku memang sedang hamil anak kamu.”

                Anaknya.

                Riana baru saja mengatakan sesuatu tentang anaknya. Apakah hal itu merupakan fakta atau rekayasa, hanya Tuhan dan Riana saja yang tahu.

                Marvin menggeser pandangannya, diikuti balikan badannya hingga memunggungi Riana. Dia menutup mata sejenak, mencari-cari kata apa yang bisa diutarakannya saat itu. 

                “Aku nggak mungkin ngaku, kalau aku nggak yakin,” Riana menambahkan ketika Marvin masih juga belum bersuara.

                Riana melipat tangan di depan dada. Diamnya Marvin bisa berarti  Marvin sedang memproses ucapannya sampai dirasanya masuk akal.

                Atau… mungkin Marvin terpikir sebuah metode yang bisa dipakai untuk mengetes apakah bayi dalam kandungannya adalah anak Marvin atau bukan.

                “Hmm, kamu mau ngelakuin tes DNA?” Riana yakin Marvin dan keluarganya yang sangat terhormat akan menempuh cara itu. Tapi mereka harus sabar menunggu sampai bayinya lahir. “Kamu nggak percaya kalau anak ini adalah anak kamu?”

                “Nggak.”

                Riana kini tertawa kecil. Sekedar penghiburan untuk batinnya yang mulai frustrasi.

                Di mana Marvin-nya yang dulu? Laki-laki yang menyayangi dan bersedia melakukan apapun untuknya, termasuk menentang mamanya yang melarang hubungan mereka?

                “Marvin, Marvin. Aku nggak nyangka kamu bisa jadi pengecut seperti ini. Jelas ini anak kamu. Aku harus gimana lagi untuk ngeyakinin kamu?”

                “Kita nggak pernah berencana untuk punya anak kan?” Marvin balas bertanya.

                “Jadi, kamu nggak percaya sama aku?”

                “Nggak. Gue nggak percaya.”

                “Kenapa?” Riana mengemukakan dugaannya yang dia tahu memang menjadi alasan Marvin meninggalkannya. “Apa sikap kamu yang berubah dingin sama aku karena isteri kamu?”

                Marvin sebetulnya tidak ingin putus dengan menyisakan terlalu banyak rasa sakit di hati Riana. Sebab bagaimanapun juga, mereka pernah saling mencintai. Jadi, dia merasa perlu berhati-hati dalam memberikan jawaban.

                “Gue nggak mau ngekhianatin pernikahan gue. Gue tau gue udah nyakitin lo, tapi gue sadar, hubungan kita harus diakhiri.”

                “Kenapa, Marvin? Apakah sikap kamu seperti ini karena kamu cinta sama dia?!”

                “Iya.”

                Marvin tidak pernah meragukan perasaannya.

                “Lalu bagaimana dengan perasaan aku selama ini ke kamu? Nggak ada artinya lagi buat kamu?”

                “Gue cuma bisa minta maaf.” Marvin menunduk sejenak. Posisinya sekarang benar-benar sulit. Hubungannya dengan Hazel sedang membaik, tapi muncul kabar bahwa Riana tengah hamil.

                “Maafin gue, Ri. Maafin gue karena gue cinta sama isteri gue sendiri.”

                “Stop it!” bentak Riana. Mendadak hatinya kembali sakit. Mengapa laki-laki yang sungguh-sungguh dicintainya malah dengan mudahnya mengatakan kalau dia mencintai perempuan lain? Marvin tidak bisa memperlakukannya seburuk ini. Setelah dulu membuainya dengan kasih sayang dan cinta, kini Marvin membuangnya seolah-olah dia hanya seonggok sampah yang tidak berguna.

                Benar-benar tidak adil!

                Ketika akhirnya Riana tertunduk dan menangis, Marvin hanya diam terpaku. Suara isakan Riana dan hela napasnya yang begitu berat mengisi keheningan pagi di apartemen itu.

                “Mending kamu pergi sekarang, Marv,” usir Riana.

                Ketika Marvin menuruti permintaannya, mengemasi jaket dan kini berada di ambang pintu, Riana memandangnya penuh marah.

                “Tapi aku akan pastikan pemutusan hubungan ini nggak akan mudah buat kamu.”

                Marvin berbalik sejenak, tapi kemudian terus menuju pintu. Menutup pintu, menutup hari yang melelahkan.

                                                                                                ***

                Suara dentingan sendok dan mug berbahan keramik terdengar dari sebuah pantry yang didominasi warna krem. Jenis suara yang cukup meramaikan ruang kecil itu selain suara percikan air di bak wastafel dan bunyi-bunyian alat masak di atas kompor.

“Lo bilang aja kalo butuh sesuatu,” kata Ajeng setelah meletakkan mug berisi kopi dan krimer ke hadapan Riana yang tengah duduk di sebuah meja makan sempit.

“Gimana kalo Marvin?” Riana mengaduk lagi kopi yang tadi dibuatkan Ajeng untuknya. Wajahnya masih nampak pucat karena sulit tidur semalaman.

Ajeng hanya tersenyum, dan mempersilahkan Riana menyantap nasi goreng buatannya. Pagi itu dia bangun lebih pagi untuk mencari bahan apa yang bisa diolah menjadi menu sarapan.

You know he’s not for you, Ri.”

“Itu kan menurut lo.” Riana mengembuskan napas pendek. “Marvin harus tau gimana gue cinta sama dia dan bakal terus struggle buat bayi ini.”

Ajeng tadinya ingin meninggalkan meja itu sampai Riana selesai dengan semua hal yang berhubungan dengan Marvin. Tidak bisakah sahabatnya itu melihat bahwa Marvin sudah menjatuhkan pilihan? Bukan soal benar atau salah, namun tentang skala prioritas. Marvin jelas harus memilih isterinya.

“Gue yakin Marvin bakal ngasih finansial yang cukup buat lo dan calon ponakan gue, tanpa kalian harus nikah.” Ajeng menyeruput teh melati yang dihidangkannya dalam sebuah cangkir bening.

“Pendirian gue nggak bisa diubah oleh apapun, Jeng. Gue hanya butuh status.”

“Dengan risiko, Marvin sekedar nikahin lo, trus ninggalin lo? Lo nggak bisa bikin keadaan jadi lebih mudah, Ri? Gue sahabat lo, yang sayang sama lo dan pingin lo bahagia.”

“Kebahagiaan gue adalah menikah sama Marvin. Apa gue berharap terlalu muluk, Jeng?” Suara Riana kembali terdengar mengeras.

“Lo cuma perlu berpikir realistis.”

Ajeng menghela napas, mengumpulkan oksigen lebih banyak. Dia bukan seorang penasihat untuk urusan percintaan, karena dia pun bukan perempuan yang cukup beruntung untuk memiliki pasangan. Tapi dari apa yang dilihatnya, bahwa Marvin dan Hazel memiliki status hubungan yang jelas. Sedangkan Riana apa? Statusnya hanya sebagai perempuan simpanan tanpa komitmen, hanya mengandalkan cinta semata. Apakah hanya dengan cinta lantas semua perempuan bisa bahagia?

Jawabannya adalah tidak. Cinta butuh kepastian. Dan kepastian ditunjukkan oleh komitmen.

“Marvin udah bahagia sama isterinya. I know, Jeng. Gue bahagia kalo Marvin bahagia. Tapi gimana sama gue? Bertahan sebagai seorang single mother yang bahkan masih bimbang bakal ngerasain yang namanya nikah atau nggak. Terserah lo bilang ini sekedar obsesi. I love him and I will not be fine without him.”

                                                                                ***

                  Ketika cinta tidak lagi berpihak padamu, lakukan semuanya yang kamu bisa hingga ia berbalik lagi padamu.

Yang artinya tidak ada pilihan lain.

Bagi Riana, memang tidak ada pilihan lain.                                        

Segera setelah bel dibunyikan, Riana membukakan pintu. Bukan Marvin yang datang, tapi Ajeng. Sahabatnya itu membawakan belanjaan untuk keperluan dapur dan keperluan sehari-hari. Dari salah satu plastik dari tiga plastik yang dibawa Ajeng, Riana bisa melihat dua kotak susu ibu hamil dibelikan Ajeng untuknya. Sahabat yang sangat pengertian. Dia tidak akan mendapatkan sahabat seperti Ajeng lagi di sepanjang sisa hidupnya.

Riana menarik kursi untuknya menonton Ajeng yang sibuk mengeluarkan isi belanjaan dari dalam kantung. Ajeng selalu melarangnya bekerja, sekalipun hanya sekedar menyusun bahan sayur dan buah di dalam kulkas.

“Jeng?”

Ajeng mengeluarkan kemasan telur dan mentega dari dalam kantung. “Hm?”

“Gue udah hubungin pengacara.”

“Pengacara? Buat kasus apa?” Ajeng yang terlalu serius menata barang-barang tidak akan terlalu menghiraukan ucapannya. Ajeng mungkin tidak perlu berpayah-payah memikirkan soal apapun yang direncanakannya.

“Untuk meminta tanggungjawab Marvin.”

Ajeng hampir menjatuhkan apel-apel merah yang akan disusunnya di keranjang buah.

“Lo serius?”

Riana melanjutkan. “Serius. Pengacara dari Mike Panjaitan Law Firm kedengarannya sudah cukup meyakinkan?”

Ajeng harus mengakui kalau akhir-akhir ini Riana kerap melakukan manuver-manuver yang menurutnya terlalu ekstrim. Dia sudah pasrah apapun yang akan dilakukan Riana sejauh itu menyenangkan hati sahabatnya itu.

“Terserah lo deh.”

Riana pun sudah menebak reaksi Ajeng. Tapi dia tidak butuh penolakan dari Ajeng untuk apapun yang dirasanya penting untuk hidupnya.

“Gue harap lo tetap dampingin gue ketika waktunya tiba.” Riana menatap Ajeng dengan wajah muram.

Ajeng membuang napas. “Ya. Gue pasti selalu bersama lo. Bukannya lo cuma punya gue?”

                                                                                ***

Ponsel di saku jins Marvin bergetar. Ponselnya sengaja disetting hanya dengan getaran saja supaya tidak mengganggu acara makan siang di rumah orangtua Hazel dengan suara deringan ponsel.

“Halo? Ya dengan saya sendiri,”

Marvin menyingkir dari ruang makan menuju teras di mana tidak ada siapa-siapa di sana.

“Pengacara?”

Seingatnya dia tidak pernah meminta jasa pengacara.

“Mike Panjaitan Law Firm?” Marvin mengulangi.

Hanya butuh waktu kurang dari semenit untuk memahami bahwa Riana baru saja menempuh jalur hukum untuk meminta pertanggungjawabannya. Hanya dalam waktu beberapa hari perkembangannya cukup signifikan.

“Marv, aku nyari kamu dari tadi. Makan siang udah siap. Papa sama mama udah nungguin di meja makan.”

Suara lembut Hazel menginterupsi pikirannya yang tengah kacau.

“Hei.” Marvin memasukkan lagi ponsel ke saku jinsnya.

“Telepon dari Lembang?”

“Mm, ya. Tadi…Gandi yang nelepon.” Marvin berbohong.

Hazel hanya mengangguk pelan, dan mengingatkannya lagi untuk segera ke ruang makan.

Sepanjang makan siang, Marvin berusaha mensinkronkan pikirannya dengan pembicaraan ayah mertuanya. Tapi pikirannya sudah tidak tenang sejak selesai berbicara dengan Pak Darmawan Panjaitan, yang mengaku akan menjadi pengacara Riana. Dia tahu, menyewa jasa pengacara sekelas Darmawan Panjaitan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Riana sepertinya tidak main-main dengan langkahnya kali ini.

“Marv, mau nambah sup ayamnya?” Hazel menepuk lembut lengannya.

“Mm, boleh,” jawab Marvin pelan, dengan senyum.

Hazel dengan sigap menyendokkan sup ayam ke mangkuknya yang masih bersisa setengah. “Kamu suka ayamnya yang banyak kan?”

Hazel nggak tahu apa-apa. Dia tidak boleh tahu apa-apa.

“Sudah.” Hazel kembali menoleh ke mamanya. “Ma, aku ke dapur dulu buat nambah sup ayam.”

“Eh, jangan. Biar mama aja.”

Gimana kalo Hazel tahu?

“Marv?”

“Iya?”

“Kamu ngelamun terus dari tadi,” Hazel yang duduk di sebelahnya menyentakkan lamunan Marvin. “Ada apa?”

Marvin mengelus punggung tangan Hazel. “Nggak ada apa-apa kok. Ayo makan lagi,”

Dari reaksinya, nampaknya Hazel memang tidak curiga. “Ayo.”

                                                                               

               

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top