2

Hal pertama yang kulakukan ketika seberkas cahaya memasuki celah kelopak mataku adalah mengerjap. Dua kali. Tiga kali.

Apa yang terjadi?

"Kau sudah sadar?" Sebuah suara ramah yang penuh perhatian memasuki indra pendengaranku. Aku berusaha membuka mataku lebih lebar, dan langsung berhadapan dengan sepasang mata biru cerah, tepat di depan wajahku.

Aku memejamkan mataku lagi untuk berpikir. Namaku Taylor. Aku tidak amnesia. Tapi ini di mana? Apa yang terjadi hingga aku bisa tiba terbaring di sofa keras ini?

"Bodoh," seru seseorang dari arah lain, di luar jangkauan pandanganku. Karena masih pusing, aku tidak bisa memastikan dari mana arahnya. Yang pasti suara itu terdengar menyebalkan. "Kau sedang menanyakan orang pingsan apakah ia sudah sadar? Memangnya dia bakal bangun dan menjawab belum?"

"Dia sudah membuka matanya," bisik si mata biru. Dia memiliki kulit pucat dan rambut pirang nyaris putih, yang hampir membuatnya terlihat seperti albino jika bukan karena warna matanya.

Kemudian terdenar suara langkah kaki yang mendekatiku. Dari sudut kiri mataku, aku menemukan seorang laki-laki berambut coklat acak-acakan yang menatapku sinis seolah-olah aku adalah benda rongsokan tak berguna. "Dasar tolol," cetusnya, tidak jelas kepada siapa. Rasanya aku ingin bangkit dan mencekik lehernya, tapi tubuhku tidak bisa digerakkan. Aku mati rasa! "Berarti gadis itu sudah sadar."

"Minggir, minggir, minggir!" Sebuah suara melengking yang tegas lain terdengar, membuat si laki-laki pirang dan coklat itu menjauh dari pandanganku. Aku ingin menoleh, tapi leherku terasa kaku. Jadi saat ini aku hanya bisa menatap langit-langit yang terbuat dari kayu.

"Sudah sadar rupanya." Seorang gadis berambut hitam pendek dengan riasan mata hitam yang tebal tersenyum riang di atas wajahku seperti laki-laki pirang tadi. Bedanya, jarak kami kali ini lebih jauh, dan gadis itu tidak sekedar diam menatapku. Ia mengguncangkan sebuah botol kaca kecil sambil tersenyum. "Jangan khawatir soal tubuhmu yang sekaku papan---bukan itu maksudku, Louis!" Ia menoleh dengan kesal ketika terdengar dengusan menyebalkan si laki-laki rambut coklat. Gadis itu menatapku lagi dan mendekatkan botol kaca berisi cairan hijau tua itu ke mulutku. "Beberapa tulang punggungmu patah akibat benturan keras dan sekarang sedang dalam masa pemulihan kilat, makanya tubuhmu 'kubekukan' sementara. Minum ini agar kau bisa menggerakkan sendi-sendimu selagi menunggu pemulihan tahap akhir."

Aku berusaha menutup mulutku rapat-rapat ketika mulut botol kaca itu sudah menyentuh bibirku. Maksudku, aku terbangun di tempat antah berantah, dengan orang-orang asing di sekitarku. Bagaimana kalau cairan hijau itu beracun?

"Dia tidak mau, Hailey," celetuk Louis. "Wajahmu terlalu mengerikan."

Harus kuakui si rambut coklat itu benar juga.

Hailey, gadis serba hitam itu---selain kedua bola matanya yang juga hitam, ia memakai jaket kulit ketat berwarna senada. "Oh, diamlah, Lou."

Suara langkah kaki lain---mungkin beberapa orang, jika mendengar jumlah derapan di atas lantai kayunya---mendekatiku, hingga sekarang setidaknya ada lima orang yang mengelilingi tubuh telentangku. Aku merasa seperti ingin dioperasi, oleh orang-orang aneh.

"Kalau kau tidak mau pulang, terserah," kata salah seorang dari mereka. Suaranya beratnya familier.... "Tidak usah minum, dan kau akan terbujur di sana selamanya."

Aku mengarahkan bola mataku ke kiri bawah, dan mendapati laki-laki rambut panjang berjaket kulit berdiri di sana sambil melipat lengannya. Dia laki-laki yang memesankan air putih itu!

Lalu mendadak semua kejadian berputar ulang di kepalaku. Pacarku memutusiku, lalu aku nekad ke kelab malam untuk mendapatkan perhatiannya---yang gagal TOTAL---lalu seorang pria berjaket kulit memesankan air putih untukku, hingga sampai Taylor meneleponku lagi hanya untuk menyakiti hatiku, kemudian ada hantaman, dan aku pingsan.

Bagus, dan semuanya gara-gara Taylor McAdam.

Aku membuka sedikit mulutku hingga Hailey menuangkan isi botol itu ke dalam tenggorokanku sambil tersenyum senang. Bukan berarti aku menyerah, tapi aku sadar jika aku tidak melakukannya, mereka toh juga bakal memaksaku.

"Aku masih tidak percaya kau membawa pulang seorang gadis alih-alih mayat Varl," dengus seorang pria berambut pirang panjang sambil melangkah menjauh ketika cairan hijau mirip lumpur itu melewati tenggorokanku dengan rasa karet menjijikkan.

Tunggu. Apa katanya tadi? Mayat???

Aku menegakkan punggungku sambil terbatuk. Hailey menepuk belakang punggungku dengan cemas dan bergumam, "Astaga, tidak perlu seburu-buru itu, er, siapa namamu?"

"Taylor," jawabku tidak sabar. "Kalian ini kelompok pembunuh bayaran?"

"Wah, kalimat pertama yang keluar dari si gadis benar-benar menyenangkan," dengus Louis sinis di seberang sofa.

"Tapi suaranya indah," tukas si pirang mata biru di sebelahnya. Ia duduk di kursi kayu dengan posisi terbalik, kepalanya ia sandarkan di atas sandaran kursi dengan kedua tangan masing-masing di sampingnya.

Aku tidak punya waktu untuk menanggapi si rambut cokelat menyebalkan dan berterima kasih pada si pirang imut. Sekarang aku sibuk memelototi si pirang panjang yang mengingatkanku pada Lucius Malfoy itu. Tapi ia malah melipat kedua lengannya dengan santai menatapku, seolah-olah pelototanku adalah pemandangan lucu.

"Kelompok pembunuh bayaran terdengar jinak," cetus seorang gadis berambut ikal merah yang duduk di--mataku terbelalak--tengah pegangan tangga.

"Sepakat," timpal seorang pria kurus berambut merah yang sangat mirip dengan gadis tadi, berdiri di bawah tangga dekatnya, "terlalu kekanakan."

"Pembunuh bayaran saja bakal gemetaran melihat kami."

Kurasa mataku sudah semakin terbelalak hingga ke tingkat terjelek sekarang.

"Diam, anak-anak," tegur Lucius Malfoy (bukan nama sebenarnya, aku yakin).

"Kau bukan ayah kami," balas mereka serempak.

Hailey menghela napas lelah. "Kalian konyol. Taylor kecil kita ketakutan."

Sekarang aku mengernyit ke gadis berambut hitam yang duduk di sampingku. Bukan hanya karena terkejut karena ternyata ia memiliki perasaan yang paling lembut di antara semua orang ini (selain si pirang mata biru), tapi karena ia baru saja menyebutku Taylor kecil seolah aku balita yang tersesat atau semacamnya, padahal aku gadis enam belas tahun setinggi 175 cm.

"Beritahu saja," celetuk si pirang imut.

"Yah, sebelum akhirnya aku mengaduk-aduk pikirannya sampai ia tidak ingat arah jalan pulang lagi," timpal gadis rambut merah.

Jadi mereka bukan pembunuh bayaran, tapi psikopat.

"Salahmu membawa dia ke tempat kita, Harry," Lucius Malfoy mendelik ke laki-laki berambut panjang.

"Aku sudah mengulang berkali-kali," kata laki-laki itu lelah. "Aku tidak bisa membiarkannya tergeletak begitu saja di depan kelab malam dalam keadaan berdarah-darah."

Berdarah-darah? Aku menatap kedua lenganku. Tidak ada bekas luka apa pun.

Oh astaga. Sweter dan rokku penuh dengan bercak darah. Bagaimana bisa??

"Gadis culun di kelab malam?" Louis terkekeh. "Tunggu. Gadis culun saja tidak akan memakai itu ke kelab malam." Ia menunjuk sweter merah mudaku.

"Hentikan!" teriakku. "Aku tidak culun. Dan hentikan segala omong kosong kalian. Kenapa aku bisa di sini?"

"Seharusnya kau melontarkan pertanyaan itu ketika membuka mata pertama kali, Tay," komentar si pirang imut. "Omong-omong namaku Neil."

"Aku sudah bilang." Harry, laki-laki berambut panjang itu menatapku datar. "Kau pingsan di depan kelab setelah ditabrak vampir."

Hailey berjengit seperti penyihir di dalam novel Harry Potter yang mendengar nama Voldemort. "Kau membocorkannya."

Aku tertawa tanpa rasa humor. "Apa maksud kalian? Kalian pikir aku bodoh?"

"Memang," celetuk Louis.

"Yah, semua orang itu tolol kecuali dirimu," timpal laki-laki rambut merah. "Tapi begini deh, kalau kau penasaran---lagi pula kau juga akan melupakannya." Ia berjalan ke samping Harry, lalu menepuk pundaknya dengan ekspresi serius. "Kau adalah penyihir, Harry."

Harry memutar bola matanya.

Aku melongo. "Apa?"

"Bukan, seharusnya kau diam saja." Gadis berambut merah melambaikan tangannya padaku dengan tak sabar. "Itu dialog Harry."

"Kami tidak punya istilah," kata Lucius Malfoy lantang sambil berjalan mendekatiku, mengabaikan tingkah aneh pasangan berambut merah. "Dulu kami disebut penyihir, karena kekuatan-kekuatan kami."

Penyihir?!

"Tapi aku lebih suka menyebut kaum kami sebagai pemburu vampir," lanjut Lucius Malfoy tanpa menghiraukan ekspresi terkejutku. "Karena itulah kegiatan kami."

Pemburu vampir?!

Kalau aku tidak ingat aku hanya minum air putih, aku pasti sudah yakin kalau sekarang aku sedang mabuk berat dan diculik oleh sekawanan pemabuk kurang kerjaan.

"Omong-omong," tambahnya dengan ekspresi jengkel, "namaku Vegas. Jangan menyebut-nyebutku sebagai Lucius Malfoy." Semua orang di ruangan mendengus, tapi, diluar dugaan, dengusan Harry paling keras. Tanpa memedulikan mereka, Vegas melangkah keluar ruangan, tapi aku masih bisa mendengarnya bergumam kesal, "Lucius Malfoy? Ini kan model rambut Legolas!"

Aku hanya bisa terpaku, tidak mengerti bagaimana Vegas bisa mengetahui pikiranku, sampai akhirnya Hailey menepuk pundakku lembut. "Kau sudah hampir sepenuhnya pulih."

"Bagus, saatnya aku beraksi," kata si gadis rambut merah sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dengan senyum mengerikan. Ia meluncur turun hingga menimbulkan bunyi decitan yang tidak enak didengar, lalu berjalan menghampiriku.

"Macey, ekspresimu seram," komentar Hailey.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanyaku ngeri pada Macey.

"Memanipulasi ingatanmu hingga kau hanya akan menganggap ini sebagai mimpi," jelasnya santai. "Tenang saja, prosesnya tidak lama. Kau hanya akan merasa sedikit pusing, tapi itu tidak---"

"Tunggu, tunggu!" seruku sambil bergerak mundur ketika Macey mulai duduk di pinggiran sofa. "Aku masih belum sepenuhnya paham."

"Kau tidak perlu paham," tukasnya. "Justru kau tidak boleh paham."

"Tunggu!" seruku lagi sebelum ketika ia mendekatkan telapak tangannya ke tanganku hingga gadis itu kesal. "Bisa kau sekalian ubah ingatanku yang lain juga?"

Sepertinya ia tidak pernah menduga pertanyaan ini, karena kedua alis kemerahannya mulai bertautan. "Kau manusia aneh."

"Bahasa halus untuk tolol," celetuk Louis.

Aku tidak menghiraukan Louis. "Aku ingin melupakan mantan pacarku."

Tawa meledak di sepenjuru ruangan---tawa Louis paling keras. Tapi Hailey berbaik hati dengan menghiburku dengan kata-kata sedih.

"Terserah." Macey mengangkat bahu setelah tawanya mereda. "Yang penting kau lupa soal kami."

Suara deringan ponsel di kantong rokku membuat Macey harus menunda kegiatannya lagi. Ia berdecak kesal.

"Maaf," gumamku sambil mengeluarkan ponselku. Aku nyaris menjatuhkan perangkat tersebut ketika menatap nama yang tertera di layarnya.

Teddy.

Menelepon di pukul ...

Tunggu. Sekarang sudah pukul dua belas malam?!

"Kenapa kau tidak mengangkat teleponku?" sembur Teddy ketika aku mengangkat telepon.

"Aku pingsan," lirihku takut-takut, tapi diam-diam merasa senang ketika menyadari nada cemas dalam suaranya.

"Kau minum?" serunya tidak percaya.

"Tidak," sergahku, "sebenarnya---"

"Di mana kau sekarang?" potongnya.

Kenapa, Teddy? Kenapa baru sekarang?

"Tunggu." Kemudian aku menutup bagian bawah ponsel dan menatap mereka. "Di mana ini?"

"Bodoh," dengus Louis. "Kau pikir kami akan mengatakannya?"

"Pacarku akan menjemputku!" tukasku marah.

Louis tertawa mengejek. "Kupikir kau bilang mantan pacar tadi. Atau pacar baru? Duh."

Tiba-tiba ponsel di tanganku ditarik. Aku menengadah untuk menatap si pencuri, dan mengernyit ketika mendapati Harry sedang mematikan ponselku. "Tidak ada yang boleh kemari. Aku akan mengantarmu pulang."

"Kau tidak boleh seenaknya!" aku berteriak marah. "Aku menunggu berjam-jam sejak tadi untuk ini!"

"Benarkah?" Mata hijau Harry menatapku dingin. "Setelah kau dengan bodohnya ke kelab malam sendirian, padahal kau tidak bisa minum satu tetes minuman keras pun, lalu dia tidak mengangkat teleponmu selama sejam, dan ketika ia menelepon, ia malah menyakitimu? Kupikir kau bahkan ingin melupakannya tadi."

"Itu adalah kalimat terpanjang Harry," komentar laki-laki berambut merah sambil tercengang. Macey mengangguk untuk mengiyakan.

Harry membuang muka, tidak menghiraukan si rambut merah, kemudian menatap Macey. "Segera lakukan tugasmu, dan aku akan mengantar dia pulang."

Sebelum aku sempat menyanggah, tiba-tiba Hailey berseru, "Tunggu!" Ia membungkuk ke bawah kasur, mengambil sesuatu yang tampak seperti kalung perak berkilauan.

"Kita tidak bisa menghilangkan ingatan Taylor sekarang," gumamnya sambil menatap kalung berbentuk tiga lingkaran yang bersinggungan tersebut. "Karena Taylor sedang berada dalam bahaya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: