HAWA - Bab 8
"Dengar-dengar ada yang bawa lamaran buat Gus Fawaz, lho."
Astagfirullah.
"Katanya sih, puteri kiayi dari jawa. Cantik deh pokoknya. "
Ini tuh cobaan atau musibah sih?
Belum aja maju perang udah dipukul telak kenyataan. Sakit nya sampai ulu hati, boookkk! Dengar lelaki yang setiap malamnya selalu disebut dalam rangkaian kata manis berbentuk do'a kini akhirnya ada yang maju untuk melamar nya juga.
"Tapi kan, Teh Halwa juga belum nikah. Masa Gus Fawaz udah ada yang ngelamar, sih." Aku mencoba mengutarakan apa yang bercokol dalam hati kecil ku. Iya, kan. Memang begitu adanya.
"Kamu ngga tahu, kalo Teh Halwa bakalan nikah tiga bulan lagi?" Bercanda nih si Salsa, masa sih? Emang iya, kok aku ngga tahu.
Huaaaaa.
Kalo gitu caranya, ngga menutup kemungkinan Gus Fawaz terima lamaran dari puteri kiyai itu dong. Yaallah, hamba patah hati deh kayaknya. Sesak gini jantung hamba.
"Serius? Sama siapa?"
"Bukan dari kalangan anak kiayi juga sih, katanya pengacara muda yang sempat satu kampus sama Teh Halwa."
Sudah tidak diragukan lagi jika Salsa yang membawa beritanya. Ini bukan sekedar kabar burung, aku yakin. Karena Salsa adalah salah satu santriwati kepercayaan ibu--- istri Ustadz Abu Bakar. Ini bisa dipastikan keakuratannya. 99% akurat.
Sekarang yang menjadi permasalahan adalah fokusku mendadak terbagi. Hanya karena Gus Fawaz. Mencintai dalam diam itu indah, pernah aku katakan bukan? Ya inilah bonus keindahannya. Sakit yang teramat saat diri dilanda rasa tidak percaya berlebih.
"Bakal calon istrinya ini tuh, lulusan kairo juga. Kalo kata ibu, cerdas dan berkualitas. Mumpuni untuk mendidik anak-anak nya kelak." Masih bakal calon tapi sakitnya sudah seperti melihat Gus Fawaz akad esok hari saja. Mood ku anjlok. "Ibu juga udah suka banget sama kepribadiannya." lanjut Salsa yang malah terdengar ditelingaku sudah seperti kompor meleduk.
Sampai kapan aku berpeluh rindu disepertiga malam? Tanpa diketahui sang objek utama dan hanya disaksikan rabb-ku. Sampai akad dan acara resepsi digelar baru rinduku terhenti? Itu baru bayangan saja, tapi aku jadi meringis sendiri.
Pikiranku mulai tidak waras sepertinya.
"Gangika, ngapain sih kamu ngeringis-ringis gitu. Ada yang sakit?"
Adaaaaaaa, Sa.
Hatiku ambyarrrr dengar kabar darimu.
"Ah, ngga kok. Salah lihat kali kamu, aku lagi bayangin kalo Teh Halwa nikah, ini pondok bakalan seramai apa, ya?" Wajahnya yang sempat kebingungan kini berubah antusias dalam sekejap. Jika saja kabar yang ku dengar hanya soal pernikahan Teh Halwa, maka dengan antusias dan hati yang sumringah aku akan meladeni Salsa sama menggebunya.
Karena ini akan menjadi kabar bombastis seantero pondok. Tapi sayang, fakta pertama menurunkan keantusiasan ku untuk membahas soal Teh Halwa dan calon suaminya itu.
Ada masa depan ku yang menjadi taruhan.
***
Setelah acara dilanda resah hanya karena mendengar kabar dari Salsa tadi siang, malam ini aku bertemu langsung dengan sosok yang menjadi tersangka utama keresahan hatiku. Gus Fawaz Sidrotul Muntaha.
Beliau sedang mengisi kajian rutin setiap kamis malam, dengan tema yang belum pernah sama sekali terpikirkan dalam otakku.
'KITA BISA MENUNDA DIRI KITA UNTUK BERTAUBAT TAPI KITA SAMA SEKALI TIDAK BISA MENUNDA DARI KEMATIAN KITA'
"Banyak diantara kita yang lengah akan dusta dunia. Berfoya-foya tanpa kenal waktu, menilai sesama hanya dari penampilan dan gaya hidupnya saja. Tapi pernah terpikirkan tidak, jika itu adalah saat terakhir kita bisa mencicipi kesemuan yang ditawarkan dunia. Izrail itu diberi akses kemudahan oleh Allah untuk mencabut nyawa setiap mahluk di muka bumi tanpa perlu negosiasi. Dunia dan seisi mahluknya bagaikan satu meja berisi makanan yang bisa kapan saja dicomot untuk dimakan, persis. Seperti itulah juga gambaran Izrail mencabut nyawa setiap manusia dimuka bumi. Oleh karena itu, masih mau diantara kalian untuk menunda taubat dengan alasan 'nanti aja kalo udah tua. Bahkan kematian tidak perlu mengenal tua atau muda nya. Jika sudah kehendak Allah, bayi baru lahir saja bisa tiba-tiba meninggal dunia."
Isi kajian malam ini benar-benar membuatku takut hingga tidak barang sedikitpun aku mengalihkan pandangan. Bukan karena Gus Fawaz yang mengisi kajian ini, tapi aku sadar belum ada amal yang bisa menolongku disaat ajal menjemput. Bahkan aku tidak bisa memperkirakan dimana dan kapan izrail mendatangiku.
Aku jadi teringat akan penjelasan Ustadz Abu Bakar dalam kitab Daqoiqul akhbar sewaktu pasaran dibulan romadhan. Kita terbentuk dari tanah yang kelak akan menjadi tempat dimana kita wafat. Misalnya seperti ini, kamu meninggal di madinah maka jauh sebelum itu allah telah menciptakan kamu dari tanah yang ada di kota madinah tersebut.
Kullu nafsin dzaaiqotul maut.
Membahas soal kematian memang tidak akan pernah ada habisnya.
"Gan, kamu ngga takut sama pembahasan malam ini?" Asha menoel pundak ku dan berbisik pelan. "Takut banget, Sha. Sampai ngga kebayang pertama kali Izrail muncul nanti wujudnya akan seperti apa, ya?"
"Aku masih suka ghibahin orang, Gan. Belum lagi masih sering jahilin pengurus kalo disuruh ke masjid, aku suka pura-pura ketiduran. Amalku juga belum bisa menolongku dari pertanyaan mungkar nakir dialam kubur deh, kayaknya. Kalau aku di diskualifikasi buat masuk surga, gimana?"
Astagfirullah, Asha. Ngelawak nih anak. Bahasanya kental humor dalam pendengaran ku. Asha... Asha. Ck!
"Yaudah, sesuai tema kajian malam ini. Taubat itu ngga boleh ditunda, baiknya disegerakan. Kita perbaiki diri dari sekarang ya, biar bisa jawab pertanyaan mungkar nakir nanti dan bisa lulus masuk surga."
"Beneran ya, Gan. Ajak aku lengkapi sunnah-sunnah. Biar bisa bantu kekurangan dari yang wajib-wajib." Asha sepertinya benar-benar ketakutan. Aku juga sama, Sha. Belum sempurna dalam beribadah tapi kita bisa kok belajar bareng-bareng buat istiqomah.
Pertanyaan dari Gus Fawaz menghentikan acara bisik-bisik tetanggaku dengan Asha.
"Ada yang ingin bertanya seputar kajian malam ini? "
"Saya, Ustadz." Dibalik penghalang antara santri dan santriwati terdengar seseorang berteriak mengajukan pertanyaan. "Iya, silahkan. Mau bertanya apa?"
"Kalo Izrail itu dicabut nyawa nya sama siapa Ustadz?"
Sontak hal itu mengundang tawa dari santri dan santriwati yang lain. Menciptakan kehebohan yang sebenarnya apa yang patut ditertawakan untuk pertanyaan nya.
"Menurut salah satu kitab yang pernah saya baca, bahwa Izrail mencabut nyawanya oleh dirinya sendiri. Disaat seluruh mahluk yang ada didunia sudah meninggal. Sampai izrail berkata 'Wahai rabb-ku jika aku tahu dicabut nyawa akan sesakit ini akan kuperlakukan mereka sebaik-baiknya perlakuan." Aku baru sadar, jika memang pertanyaan ini seperti guyonan tapi mengandung makna yang cukup dalam. Ini menjadi ilmu baru untukku.
Sesi tanya jawab berlangsung begitu seru sampai akhirnya Gus Fawaz mengakhiri kajian malam ini. Inilah yang aku suka dari kajian yang diadakan setiap minggu, selalu ada saja hal baru yang menambah wawasan bagi kami.
Segala puji bagi allah yang telah memberikan ilmu-ilmu dengan perantara sesama mahluk-Nya.
######
To be continued..
Minggu, 1 maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top