Bab 8
"Yo, dimana?" Tanpa salam aku langsung menanyakan keberadaannya.
"Lha ini sudah di depan terminal kedatangan," katanya.
"Kamu pake mobil apa sih? Aku sudah berdiri disini 15 menit nggak lihat mobil kamu!"
"Pake mobil kamu, Mas! Kamu dimana sih!" Bentaknya.
"Yo ... jangan bilang kalau kamu di terminal 1 ya!" Aku curiga dia salah tempat jemput.
"Lah, kamu dimana to!?"
"Terminal 2 Aryooooo!" Nah kan, kecurigaanku terbukti sudah. Bukannya minta maaf, Aryo malah tertawa terbahak-bahak lalu berkata, "Tunggu disitu."
Emang dikira aku mau nunggu dimana kalau gak disini. Dasar Aryo gemblung.
Setelah menutup telepon Aryo, aku membaca beberapa email laporan dari Rara sebelum menelepon Tara.
"Hai, Sayang," kataku setelah menjawab salamnya
"Bapak sudah landing?"
"Sudah, lagi nunggu jemputan ini."
"Om Aryo?"
"Iya. Dia salah jemput ke terminal 1 pula," jawabku jengkel membuat Tara terbahak-bahak. Setelah kurang lebih 20 menit aku dan Tara bertukar cerita, aku merasa ada yang memperhatikanku.
Saat melihat ke kanan, aku kaget melihat Rani berdiri disampingku dengan wajah yang terlihat tidak suka memandang ke arahku. Sebelum aku sempat menyapanya, dia membuang muka kekanan. "Tutup dulu ya, nanti Bapak telepon lagi."
"Ran," panggilku. Dia melihatku tapi ekspresi nggak sukanya tadi masih terlihat.
"Mas," jawabnya singkat, "aku duluan ya."
"Rani ...." Panggilanku hilang bersama angin, dia berlalu menuju mobil yang sudah berhenti tepat di depannya. Tanpa menoleh lagi kepadaku dia masuk ke kursi samping pengemudi, dan membiarkan seorang lelaki memasukan travel bag-nya ke dalam bagasi.
"Itu suaminya, kah?" Gumamku pelan.
"Suami siapa?" Suara Aryo tiba-tiba memasuki ruang dengarku dari arah sebelah kiri.
"Mulai kapan kamu disitu!" Bentakku.
"Mas, dari tadi itu aku udah di sebelah kirimu. Tadi aku lihat kamu lagi telepon sama senyum-senyum gak jelas gitu, jadi aku cari parkir. Kebetulan ada yang keluar."
"Kenapa gak panggil?"
"Wis yooo! Kamu aja gak denger! Ngeliatin siapa to?" Kekepoan Aryo terkadang membahayakan. Aku gak mau satu group tahu tentang itu, setidaknya tidak sekarang.
"Ayo pulang. Aku lapar!"
"Ondomohen yuk, golek sate." Ajaknya kurang kerjaan. Jarak jalan Ondomohen dari Bandara Juanda itu jauh, bahkan bisa melewati daerah rumahku dulu.
"Gak kurang adoh?" Jawabku sengit.
"Udah, ikut aja. Aku yang nyetir kan!"
"Kamu yang nyetir, bensin aku yang beli. Nanti makan juga aku yang bayar." Aryo terkadang terlalu pelit untuk keluar uang. Sudah hafal aku sama kelakuannya.
"Yo harus, resiko jadi kakak tertua." Jawabnya sambil meninggalkanku di belakang mobil untuk memasukkan tas ke bagasi.
"Sak karepmu, Le." Aku memanggilnya Le setiap kali ingin membuatnya jengkel, dan itu berhasil setiap kali.
+62853944*****
Pagi Mas, apa kabar?
"Mara?" Ucapku terlalu keras, sehingga membuat Aryo mendengarnya.
"Siapa?"
"Gak tahu. Lihat dari nama di profilnya sih Mara. Aku nggak inget pernah kenal nama Mara." Kucoba menggali ingatanku yang lemah dengan nama.
"Salah satu kencan butamu mungkin." Mendengar Aryo menyebut kencan buta, aku teringat dengan jebakan Tara dulu.
"Sepertinya iya, Mara si dokter gigi. Kenapa kesannya aku player banget sih. Ini gara-gara kalian semua." Arya mengedikkan bahu tanpa menoleh padaku, konsentrasi ke jalan yang mulai ramai memasuki tengah kota arah ke jalan Ondomohen yang biasa disebut jalan Walikota Mustajab.
Disini paling terkenal sate kelapa kesukaan Aryo, Pradnya dan Tara. Dulu yang paling semangat kesini adalah mereka bertiga. Saat kami berdua sampai disana, rame seperti biasa. Aroma bakaran menguar kemana-mana, membawaku kembali ke kenangan terakhir makan disini berdua dengannya.
"Pak, liburan ke Yogya yuk. Ibu kangen mie godhog."
"Tumben?" Tanyaku
Sambil menikmati sate klopo di depannya dia berkata, "Berangkat jum'at sore atau malam tunggu anak Bapak pulang sekolah dulu."
"Tara gak ada latihan basket minggu besok?" Tubuh Tara sepertiku, tinggi menjulang. Membuatnya mudah masuk tim inti Basket di sekolahnya.
"Nanti Ibu yang bilang, pasti mau. Dirayu pake ronde aja beres." Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Senyum yang berhasil membuat duniaku berhenti saat pertama aku melihatnya.
"Mas, jangan ngelamun!" Kata Aryo.
"Kamu tahu Yo. Terakhir kali dia makan disini itu hari kamis siang sebelum kita pergi ke Yogya hari Jum'at malam. Aku merasa menelan kumpulan jarum setiap kali makan disini selama 5 tahun belakangan ini. Kamu tahu kan kalau Tara ajak kesini, itu bukan karena dia lagi pengen makan. Tapi karena dia kangen Ibunya."
"Tahu," jawabnya singkat.
"Setiap kali itu juga aku berusaha menahan sedih dan memasang wajah senormal mungkin. Terkadang aku capek, Yo." Mungkin karena perjalanan atau karena melihat wajah marah dan kecewa Rani tadi atau memang aku sedang mellow kangen Pradnya-ku. Membuatku menumpahkan beban pikiran ke Aryo siang ini.
"Mas kira Tara nggak tahu. Dia tahu Mas. Karena dia tahu kamu masih sedih, makanya sesekali dia ajak kamu makan kesini." Meminum teh hangat yang tinggal separuh dia lalu berkata, "Biasanya dia chat aku. Bilang, bapak masih sedih Om."
"Iyakah? Terus aku harus gimana, Yo?"
"Sudah 5 tahun berlalu Mas. Jangan digandoli."
"Aku gak gandoli, Yo." Bantahku, meski aku meragukan jawabanku sendiri.
"Kalau gak gandoli, harusnya sekarang kamu lebih banyak senyum. Harusnya kamu terlihat lebih ringan tanpa beban. Selama 5 tahun ini, wajahmu kelihatan tambah tua. Meski sebenarnya memang sudah tua." Aku geplak kepalanya. "Aduh! Bar bar kamu Mas."
"Gini lho, selama 5 tahun ini kamu berpura-pura bahagia. Padahal kami semua tahu kamu masih bersedih meski sudah berselang 5 tahun. Kamu terlihat menahan beban yang berat. Meski kamu bilang sudah ikhlas, tapi kamu masih berpegangan sama kenangan Mbak Anya."
"Sok tahu kamu."
"Mana dompetmu!" pintanya. Meski ragu aku mengulurkan dompet yang menjadi kenangan Pradnya. Dia mengganti dompet pemberiannya dengan dompet baru saat di Yogya saat itu.
"Ini, ini dan ini." Meski biasanya warung sate ini rame sekali, entah kenapa saat ini tidak terlalu rame. Kulihat cincin pernikahan Pradnya, cincin pertunangan dan foto yang menunjukkan senyum lebarnya ada di tangan Aryo.
"Kamu masih bawa ini kemana-mana, Mas. Meski kamu kencan sama ratusan perempuan nggak bakalan ada yang berhasil kalau ini semua masih dibawa kemana-mana!" Meski suaranya pelan, tetapi kalimat Aryo membuat hatiku nyeri.
"Kali ini coba kenali mereka. Benar-benar kenali mereka. Jangan karena Tara atau Ibu, tapi karena Mas ingin kenal mereka. Nggak ada yang meminta Mas cepat-cepat untuk nikahi mereka, nikah sama salah satu mereka maksudku."
"Yo!"
"Iya iya. Maksudku itu lah. Kenali mereka karena Mas pengen kenal mereka. Kenapa nggak coba sama Mara-mara tadi. Jangan ditolak dulu. Wis ah, Bayar, sana!"
Aryo bukan orang yang suka nasehati, dia lebih suka menyisipkan nasehat ke dalam guyonan atau perbuatan. Tetapi jika dia sudah serius begini, berarti sesuatu atau seseorang itu sangat dia kuatirkan. Aku nggak pernah merasa ada masalah selama ini.
Aku berusaha mengisi kekosonganku dengan pekerjaan, tetapi ternyata mereka melihatnya apa yang terjadi dibalik semuanya. Setelah membayar, aku masuk dan mendapati Aryo sedang menerima telepon. "Iya nanti Om sampaikan."
"Tara?" Tanyaku setelah dia akhiri sambungan telepon itu.
"Hmm, dia kuatir. Katanya suaramu tadi kedengaran agak serak. Satu lagi alasan untuk mencari istri, jadi ada yang merhatikan kesehatan kamu, Mas."
"Jalan, Pak. Sesuai aplikasi ya." Kataku sambil menutup mata.
"Mentang-mentang lebih tua, semena-mena sama yang lebih muda," omelnya sepanjang jalan.
"Masih mendingan aku duduk di depan buka di belakang, Le."
"Wis, Mas. Meremo ae, ngelu aku!"
Berpura-pura menutup mata sepertinya lebih aman, nasehat Aryo tadi sudah cukup membuatku merasa gagal menjadi Bapak yang kuat di depan Tara.
"Mas. Yang kamu lihat di bandara tadi siapa?" Tanyanya.
"Calon kakak iparmu." Jawabku iseng sebelum merasakan mobil berhenti mendadak. Aku duduk tegak melihat sekeliling apakah terjadi sesuatu, ternyata Aryo berhenti di lampu merah, dan saat ini posisinya terlalu dekat dengan mobil depan.
"Kamu apa-apan to! Kalau nabrak mobil depan gimana!"
"Kamu yang apa-apaan! Jangan kasih berita macem gitu dijalan!"
"Kenapa kamu marah. Tadi kan tanya, ya aku jawab. Salah!?"
"Bentar Mas," suaranya sudah kembali normal. "Aku tanya beneran, tadi itu pacarmu? Kalian ke Bali berdua? Mulai kapan kalian jadian, atau kapan kenalannya?"
"Yo! Kamu jangan cerewet, banyak tanya!"
"Mas, serius ini!" Aku kembali menutup mata menghindari pelototan Aryo.
Terdengar klakson dari mobil belakang, "Jalan, Yo! Sudah hijau itu."
Yuhuuuu ...
Malam ini update bersama sate kelapa.
Ada yang pernah makan sate kelapa?
Selamat makan, eh salah
Happy reading
😘😘😘
Shofie
Pict : pinterest
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top