Bab 7

Paramitha Rahayu
Bapak jangan lupa hari ini janjian ketemu sama Tante Kinanti
Picture sent

Aryo Gemblung
Widih ... ini yang Arsitek ya, Yang @Paramitha Rahayu

Paramitha Rahayu
Iya Om

@Paramitha Rahayu Iya
Kasih tahu Bapak tempat dan waktunya
Jangan disini, nanti Om-mu rame
Pusing bapak bacanya

Aryo Gemblung
Mas Ara gak asik ah
Yang, nanti wapri Om ya

Namanya Kinanti. Dari profil yang Tara kirim kemarin malam aku jadi tahu umurnya 38 tahun, janda beranak 1.

Menghembuskan nafas yang terasa sesak di dada. Terasa ada yang mengganjal dan membuatku sulit untuk bernafas lega.

'Nya, harus beginikah jalanku?' Gumamku dalam sepi. Sekali lagi kulihat data Kinanti. S1 dan S2 Teknik Arsitektur di ITS. Meski ada sedikit rasa tidak nyaman membayangkan harus berkenalan dengan orang baru, tapi setidaknya ada sesuatu yang bisa dibahas nanti. Mungkin ....

Seketika aku ingat kencan terakhir yang tidak terlalu buruk sebenarnya. Aku bahkan sudah lupa namanya, karena mengingat nama seseorang bukan sesuatu yang mudah bagiku. Bukan inginku untuk mempermainkan seseorang. Tetapi usaha untuk memulai lagi, bukan sesuatu yang mudah untukku. Tidak disaat hati ini masih meragu.

Tiba-tiba aku teringat dengan senyum yang kulihat waktu itu, Rani. Ah, bodoh bodoh. Harusnya aku bisa datangi dan menyapanya, menggunakan alasan berterima kasih dan menanyakan nomor telepon.

Rani. Kenapa saat mengingat wajahnya, tidak terasa sesak di dada. Kenapa berbeda jika aku memikirkan wanita-wanita yang disodorkan Tara ataupun Ibu.

Notifikasi pesan membuatku tersadar, Tara.

Paramitha Rahayu
Bapak
Beneran gak masalah ketemuan sama tante Kinanti?

Gak masalah

Paramitha Rahayu
Kenapa aku merasa ada yang salah ya?
Tara tahu kemarin waktu Bapak ke yogya, udah jelasin semuanya, tapi kenapa aku masih merasa ada yang salah

"Bapak gak ingin menikah lagi?" Tanyanya.

"Mau jawaban jujur atau bohong?" Saat ini kami berdua duduk berdua dibawah pohon mangga seperti waktu.

"Jujur."

"Jujur, Bapak belum memikirkan untuk menikah lagi. Jangankan terfikir, terlintas saja nggak ada." Jawabanku sepertinya membuatnya kaget.

"Karena Bapak terlalu mencintai Ibu dan Bapak merasa tidak adil dengan pengganti Ibu?"

"Itu dan alasan lainnya." Jawabku.

"Alasan lainnya apa?"

"Bapak merasa sudah cukup. Apa yang Bapak punya bersama Ibu selama menikah kemarin, buat Bapak itu sudah cukup."

"Eyang sering bilang jangan ndisiki kersone Gusti Allah. Bapak juga sering bilang Allah Sang Pembolak balik hati, siapa yang tahu hari ini nggak siap. Tahu-tahu besok Bapak jatuh cinta lagi. Bisa, kan?"

"Astaghfirullah. Terima kasih sudah mengingatkan Bapak."

Kemarin kan kita sudah bahas ini.
Jika Allah mengijinkan Bapak untuk menikah lagi, maka Bapak akan menikah lagi

Paramitha Rahayu
Bapak terpaksa, nggak?

Nggak sayang

Paramitha Rahayu
Ikhlas

InsyaAllah, Ikhlas

Paramitha Rahayu
Alhamdulillah. Tara love bapak.
Terima kasih sudah mau ketemuan Tante Kinanti
Have fun Bapak

Have fun, bisakah? Bisa, gumamku sendiri

*
*
*

Malam ini, Tara membuat janji untukku bukan di Cafe atau Lounge bintang 5 atau restoran hotel yang mahal. Malam ini Tara membuat janji di rumah makan Handayani di jalan jemursari.

Rumah makan Indonesia ini selalu jadi tujuan kami berdua saat bingung ingin makan dimana. Membayangkan Tom yam yang selalu menjadi pilihan makan saat kami berdua kesini membuatku lapar begitu menginjakkan kaki memasuki pintu masuk. Makan berdua dengannya disini, mendengarkan Tata bercerita tentang teman-teman atau gurunya di sekolah dengan mulut yang tak berhenti mengunyah tahu goreng. Dia selalu berhasil membuatku kangen.

10 menit lebih cepat dari waktu janjian membuatku sempat melihat lihat progress villa seminyak. "Mas Ara?"

Melihat wanita yang berdiri di depanku, "Baswara Gunawan." Kataku saat mengulurkan tangan.

"Kinanti Winara," jawabnya singkat.

"Silahkan."

"Makasih. Maaf, tadi ada mahasiswa bimbingan. Saya nggak bisa usir dia." Melihatnya tersenyum saat mengucapkan terima kasih setelah memesan minum.

"Nggak makan?" Isengku bertanya.

"Maaf, saya nggak pernah makan malam. Bisa-bisa langsung melar badannya."

"O begitu." Diet. Aku nggak habis pikir dengan perempuan yang mati-matian menjaga berat badan, hingga menahan lapar demi badan langsing. Padahal kalau dilihat, Kinanti ini tidak gemuk. Ya sudah lah.

"Saya lihat profilnya, ITS juga ya Mas?" Tanyanya.

"Iya, angkatan tua," jawabku mencoba melucu, "sudah berapa lama jadi Dosen?"

"Semenjak kelar S2 aku ...." Setelah itu mengalirlah cerita awal mula dia tertarik dengan dunia Arsitektur. Ketertarikannya dengan bangunan lama yang perlu dilestarikan di Surabaya. Bergabungnya dengan komunitas yang bekerjasama dengan pemerintah kota dalam upaya konservasi banguna tua membuatku tertarik mendengarnya.

"Mas Ara."

"Rani. Hai, apa kabar?" Aku kaget melihatnya berdiri di samping mejaku. Menyambut uluran tangan wanita yang beberapa kali kulihat meski dari jauh ini membuatku bersuka cita.

"Maaf, tadi waktu mau keluar aku lihat ada Mas disini. Maaf ganggu ya Mbak. Hanya mau nyapa saja ini. Silahkan diteruskan, aku balik dulu." Melihatnya tersenyum sopan ke arah kinanti sebelum berbalik untuk melangkah keluar.

"Rani, tunggu!" cegahku, aku berdiri dan berjalan mendekatinya.  "Terima kasih kemejanya ya. Maaf baru sempat bilang terima kasih."

"Nggak masalah, Mas. Saya yang harusnya minta maaf sudah buat kemejanya rusak."

"Bisa minta nomor telepon kamu?" Yes! Dalam hati aku berseru saat dia mengulurkan kartu nama, "terima kasih, Arunika Pramesti Maharani."

"Maaf, saya sudah terlalu lama ganggu Mas dan Mbak. Saya pamit, see you when i see you, Mas." Rani mengangguk ke arah Kinanti sebelum berjalan menuju pintu keluar.ñ

Setelah duduk didepan kinanti lagi, aku meminta maaf sudah membuatnya menunggu. "Teman Mas?" tanyanya.

Tanpa sadar aku tersenyum, "Sebenarnya, bertemu baru sekali. Dua kali sama tadi."

Aku memintanya kembali bercerita tentang pekerjaannya dan kegiatan komunitasnya.

Lebih dari satu jam aku menghabiskan waktu bersama Kinanti, dan selama itu dia hanya memesan minuman sampai 2 kali. Meski aku memaksanya untuk memesan makanan apapun, dia tetap menolak dengan alasan diet.

Saat aku baru saja membuka pintu kamar, nama Tara muncul di layar telepon genggamku, "Hai, Sayang."

"Gimana tadi, Bapak?" Suara Tara terdengar lantang di kamarku yang terasa sepi dan kosong.

"Baik," jawabku singkat.

"Bapak gak suka ya?" Dia mengenal bapaknya dengan baik sepertinya.

"Bapak suka ketertarikan dia pada dunia arsitektur. Bapak suka kegiatan komunitasnya melakukan konservasi bangunan lama di Surabaya." Jawabku panjang.

"Tapi Bapak nggak suka orangnya?"

"Kamu tahu, dia diet. Sejam lebih dia hanya minun sampai 2 gelas." Lalu aku menceritakan ketidaknyamananku padanya.

Terdengar tawa Tara yang membuatku rindu gadis kecilku itu.

"Oke oke ... aku bisa bayangin kalau kita makan malam bertiga, kita berdua makan sampai kekenyangan dan Tante Kinanti hanya diam nyesap minumnya sampai kekenyangen air. Bisa-bisa dia langsung ilfeel lihat kita berdua ya, Pak."

Tara benar, mungkin perempuan cantik tadi langsung buyar mood-nya melihat gaya makan kami berdua yang ugal-ugalan.

"Sayang. Minggu depan, bapak ada site visit ke Bali. Jangan buat janji temu apa-apa ya?" Meski aku sudah setuju untuk melakukan kencan buta seperti ini. Tetapi melakukan terlalu sering masih membuatku tidak nyaman.

"Siap, Boss," jawabnya.

Setelah mendengarkan kabar kuliahnya, aku menutup telepon untuk bersiap menyambut malam.

*
*
*

Mika sudah menungguku di salah satu cafe di Beachwalk siang ini. Ini hari terakhir aku di Bali dan karena kepadatan pekerjaanku, baru hari ini bisa bertemu dengannya.

Mika adalah agen properti yang bekerja sama denganku selama ini. Dia salah satu teman SMA Pradnya, yang tinggal di Bali setelah menikah dengan ekspatriat dari Australia.

"Hai Mas. Apa kabar?"

"Baik Ka, apa kabar? Mana Ben?" Biasanya dia selalu membawa Ben, suaminya, saat bertemu denganku.

"Hari ini Ben harus ketemu sama klien di Ubud, dia titip salam tadi. Kamu sih pulangnya cepet banget. Besok kan sabtu Mas, extend aja lah."

"Kalau aku extend ntar Tara marah aku liburan sendiri. Next time deh, kalau dia libur kuliah aja."

"Aryo, Ifa, Bapak dan Ibu apa kabarnya Mas?" Mika cukup dekat dengan keluargaku. Saat Pradnya meninggal, dia langsung terbang ke Surabaya berdua dengan Ben. Padahal waktu itu dia dalam keadaan hamil 7 bulan. Menemani Tara, memeluknya dan memberinya semangat. Selain Aryo, Tara juga dekat dengannya.

"Mereka baik, Aryo makin nyebelin. Ibu berkolaborasi sama Tara mencarikan aku istri." Sontak aku mendengar mika terbahak-bahak sampai beberapa orang melihat ke arah kami berdua.

"Sorry sorry, Mas. Mulai kapan kamu mulai dating lagi?" Aku menceritakan keusilan Tara yang membuatku terjebak di dunia kencan buta ini. Bisa kuduga, dia akan mendukung kelakuan keluargaku.

"Ya gak masalah Mas. Lima tahun itu lama, nggak pengen ada yang nemenin tidur?" Tanyanya dengan usil, menunjukan tanda kutip dengan jarinya saat berkata tidur.

"Heh! Jangan ikut-ikutan Aryo kamu." Aku mengedarkan pandangan di sekeliling cafe. Beberapa kali aku bertemu mika disini, tempatnya nyaman dan membuat betah. Jadi saat ke Bali selalu disinilah kami bertemu.

Saat itu aku seperti melihat sesorang yang akhir-akhir ini menemani pikiranku saat tidak penuh dengan pekerjaan ataupun Tara.

"Mas, ngeliatin siapa sih?" Panggilan Mika membuat pandanganku terputus. Dia melihat kearah yang sama denganku.

"Hah!?" tanyaku.

"Kamu ngeliatin apa? Atau ngeliatin siapa, kok sampai segitunya kalau ngelihat." Setiap kali melihat wanita berambut pendek, ingatanku selalu menuju Rani. Sepertinya aku melihat dia tadi, tapi nggak bisa meyakinkan diri itu benar dia atau hanya imajinasiku saja.

"Seperti lihat kenalan tadi, tapi nggak yakin," jawabku jujur.

"Samperin aja kalau mau, aku tunggu disini deh." Aku menggeleng dan meminta Mika untuk melanjutkan cerita tentang salah satu proyek kami berdua.

Kenapa disaat aku tak memikirkannya, wanita berambut pendek itu selalu muncul. 

Bapak Ara say hai from Beachwalk gaaeess.
Pict : pint

Happy reading
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top