Bab 18
Fast update malam ini.
Sabar ya cintah-cintahku, semua ini hanya ujian.
🤣🤣🤣🤣
Rani
Mas, ntar sore aku berangkat ke Jakarta.
Pesannya masuk, saat istirahat siang. Terakhir melihatnya hari minggu saat aku dan Tara berpamitan setelah makan malam.
Kapan balik surabaya?
Rani
Kalau nggak ada masalah, InsyaAllah senin siang landing.
Lama banget?
Rani
Aduh, mulai kapan Mas Ara jadi seperti ABG gini?
Kasih kabar ya, sesempatnya Rani.
Rani
InsyaAllah
Fii amanillah. Jangan lupa kabari Mas.
Tidak ada balasan dari pesan terakhir itu. Ini sudah hari minggu malam, jika sesuai jadwal seharusnya Rani sampai Surabaya besok siang.
Rani, are you okey?
Sampai senin pagi, pesan itu tidak terbaca. Telponku berkali-kali juga nggak ada yang dijawab, pesan yang kutinggalkan juga tidak mendatangkan hasil.
Menghubungi Radja yang hanya memberiku jawaban, "Dia baik-baik saja, Mas. Tadi cuma titip pesan kalau lagi butuh sendiri. Saya nggak tahu dia ada masalah apa, buatku dan Mas Prabu, asalkan dia selalu memberi kabar, itu sudah cukup."
Aku memutar otak, apakah aku atau Tara ada salah bicara atau mungkin ada sikapku yang buat dia nggak nyaman.
"Kenapa Rani nggak keberatan waktu Tara panggil Ibu?"
"Mas, keberatan?" Dia melepas tangan dan melipat tangan didepan dada.
"Kenapa jadi difensif gitu sih? Mas hanya tanya, Rani nggak keberatan? Pada dasarnya Mas nggak keberatan, meski Tara memanggilmu Ibu itu bukan berarti dia melupakan ibu kandungnya. Juga bukan berarti kamu mengambil posisi ibu kandungnya."
"Mas keberatan, kan?"
"Nggak sama sekali. Nggak akan ada yang bisa gantikan Pradnya, karena memang dia tidak akan terganti. Dia selamanya akan menempati posisi di hatiku. Tetapi bukan berarti Rani akan bersaing dengannya. Kalian berdua menempati tempat yang berbeda."
"Jadi, Mas nggak keberatan Tara memanggilmu Ibu. Atau mau Mas panggil kamu Ibu juga?"
"Ngaco! Ayo pulang." Ajak Rani, setelah membayar pesanan. Dia menolak saat aku mengulurkan kartu debit ke petugas kasir.
"Iya, Bu." Ledekku.
Mengingat malam itu, rasanya semua baik-baik saja. Atau aku terlalu cepat. Mungkin ada sesuatu yang kukatakan membuatnya nggak nyaman.
Aku tak mau berandai-andai, jadi aku mengirimnya pesan untuk meminta maaf.
Mas nggak tahu ada salah omong atau ada sikap yang buat Rani nggak nyaman.
Atau mungkin sikap Tara yang terlalu manja ke Rani membuat tidak nyaman.
Jika itu semua membuat tidak nyaman, Mas minta maaf.
Seminggu setelah pesanku terkirim, aku berusaha untuk tidak mengecek apakah dia membaca atau bahkan membalasnya. Aku ingin segera menyelesaikan proyek rumah kolonial.
Radja bilang, aku harus memberikan dia waktu. Jadi aku beri dia waktu sebanyak yang dia minta, karena aku berencana meminta waktunya untuk seumur hidupku. Saat dia membutuhkan waktu dariku, aku akan memberikannya.
Minggu kedua pasca Rani. Aku masih sibuk dengan pekerjaanku.
Dalam perjalanan waktu, desain awal rumah kolonial yang sudah dikepala menjadi sedikit berubah. Entah kenapa aku memasukkan elemen-elemen yang dia pernah tunjukkan dulu.
Aku berangkat ke yogya hari ini. Selain menengok Tara, aku ingin melihat produksi ubin yogya. Sekalian hunting beberapa furnitur yang aku mau.
"Ibu Rani apa kabarnya, Pak?"
"Pertama ketemu itu tanya kabar bapaknya dulu, jangan kabar orang lain." Jawabku pura-pura marah.
"Kemarin kan sudah tanya, Bapaaak."
"Tante Rani sepertinya baik-baik saja meski belum mau balas chat Bapak."
"Bapak nggak mau datangi apartemennya?" Sempat terpikir untuk datang kesana. Tetapi setelah apa yang Radja katakan bahwa dia membutuhkan waktu, aku mengurungkan niatku.
"Nggak lah. Tante Rani lagi butuh waktu. Jadi Bapak kasih dia waktu sebanyak yang Bapak bisa," jawabku.
"Bapak bakalan tetap menunggu?" Good question. Aku akan tetap menunggu? Sampai kapan aku menunggu? Aku gak bisa menjawabnya.
"Nggak tahu. Bapak juga bukan lelaki yang keburu pengen nikah saat ini. Bapak sudah punya Tara dan Ibu. Meski Ibu sudah meninggal, kan masih ada Tara yang jadi teman Bapak.
Jangan terlalu kuatir sama Bapak. Sendiri atau berdua, Bapak baik-baik saja."
Terlihat kelegaan di wajah Tara, mungkin dia pikir Bapaknya akan patah hati.
"Bapaknya Tara memang hebat. Lalu rumah kolonial, apa kabarnya? Bapak masih ingin pindah kesana?"
"Masih. Terlepas dia mau sama Bapak atau nggak, keputusan untuk pindah kesana nggak berubah. Kenapa, Tara berubah pikiran?"
"Nggak dong. Lumayan itu uang sewa rumah. Tara mau pakai untuk nabung emas aja deh." Aku dan Pradnya memang selalu ingin Tara bisa belajar investasi untuk tabungan dia sendiri. Rumah atas nama dia itu bisa menjadi jalan pembukanya.
"Kamu nggak keberatan, kan?"
"Nggak lah, Pak. Nggak masalah kita dimanapun. Seperti Ibu biasa bilang kan, dimanapun kita tinggal yang penting itu bersama siapa bukan dimana."
Seharusnya aku ke Yogya lebih cepat. Tara selalu berhasil menjadi mood booster-ku selama ini. Saat aku capek dengan semua pekerjaan, pulang kerumah melihat senyum anak tengil itu selalu membuat capek itu hilang. Seperti saat ini.
Aku hampir seminggu tinggal di Yogya, menyerahkan semua pekerjaan rumah kolonial pada mandor yang sudah bertahun-tahun bekerja padaku. Dan untuk urusan kantor Rara tahu kapan waktunya menghubungi jika ada masalah yang urgent.
"Bapak nggak balik Surabaya?" Minggu pagi ini kami berdua menghabiskan waktu di Alun-alun Kidul yang biasa disebut Alkid.
"Kamu nggak suka Bapak disini?"
"Salah. Aku nggak suka Bapak melarikan diri."
Melarikan diri. Apakah itu yang kulakulan sekarang? Semenjak Radja bilang kalau Rani hanya membutuhkan waktu untuk berpikir, aku bertekad untuk tidak mencarinya dulu.
Aku kira aku sedang memberinya waktu sebanyak yang dia butuhkan. Tapi kenapa Tara mengatakan aku melarikan diri.
"Bapak nggak melarikan diri!"
"Kalau nggak melarikan diri, kenapa Bapak disini. Bukannya di Surabaya mencoba untuk mencarinya atau bicara padanya. Tanyakan kenapa?"
"Bapak memberinya waktu!" Jawabku sedikit keras.
"Sampai kapan? Sampai kapan, Bapak? Bapak sendiri yang selalu ingatkan, kalau ada masalah, bicarakan. Jangan melarikan diri."
"For your infomation, bukan Bapak yang melarikan diri tapi dia. Bapak masih ditempat. Menunggu dia untuk datang.
"Bapak sayang, terkadang kita perlu melangkah untuk selesaikan apapun itu. Bapak sendiri bilang kalau ada sesuatu yang belum diceritakan atau ada sesuatu yang menahannya untuk menerima Bapak. Kenapa nggak Bapak cari tahu."
"Jangan menanti dia untuk datang. Mungkin sekarang, Ibu Rani pengen Bapak mengejarnya bukan hanya diam menanti dia datang."
"Bapak sudah tua, Nduk." Membayangkan aku mengejar perempuan seperti anak muda kok menggelikan.
"Ya karena Bapak sudah tua, jadi harus lebih kreatif ketimbang kita yang muda-muda."
"Mungkin Bapak takut."
"Apa yang Bapak takutkan? Bukankah kehilangan ibu kemarin sudah hal paling menakutkan yang bisa terjadi pada manusia."
Aku terdiam.
"Apa hal terburuk yang bisa terjadi kalau Bapak mencarinya, meminta dia berbicara dan mengatakan semua yang dirasakan, clear the air between you two. What can possible gone worst than death. Bapak sudah pernah melewati itu. Dan aku berani bilang Bapaknya Tara ada lelaki terhebat. Lelaki yang dengan bangga kusebut Bapak."
Kau tahu hal terburuk dari menjadi seorang ayah, membuat anakmu sedih. Rasanya hati ini sakit melihatnya menangis, terlebih lagi akulah alasan dia menangis.
Kurengkuh tubuhnya, aku tak perduli ada berapa mata melihat kami berdua saling tarik urat dan berakhir berpelukan begini.
"Pulang, Pak. Cari Ibu Rani. Katakan apa yang perlu Bapak ucapkan dan dengarkan apa yang dia ingin katakan. Jika setelah itu dia tetap memilih untuk pergi, Bapak selalu punya Tara disini."
"Anak siapa sih ini bijak banget?"
Dengan senyum pongah dia berkata, "Maaf ya Bapak, kalau bijak begini berarti anak Ibu Pradnya Wahyu Paramitha." Jawabnya sambil menepuk dadanya bangga.
"Hidup Bapak kok berubah gini ya."
"Hidup kita semua berubah, Pak. Siapa sangka sekarang Bapak yang dapat nasehat dari anak muda begini. Tapi kalau perubahan itu baik untuk kita, kenapa tidak. Ya, kan?" Jawabnya.
"Aduh, sudah dong. Jangan terlalu bijak begini, Bapak merasa nggak berguna kalau begini."
"Sampai kapanpun Bapaknya Tara nggak akan Nggak berguna dan tak tergantikan. Bapak selalu jadi safety net-ku."
Sepertinya aku memang takut lalu melarikan diri sampai ke sini.
Love, ya!
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top