Bab 17
Karena aku sayang Mas Ara, jadi update lagi pagi ini.
Siapa tahu besok bisa update lagi.
Pesan rani masuk saat kami keluar dari komplek makam keputih.
"Bacain pesan tante rani." Aku mengulurkan ponsel padanya.
"Katanya meeting udah kelar, Pak. Tara balas kita udah dijalan ya."
Surabaya lumayan lengang saat weekend, jarak antara makam keputih ke Sutos kurang lebih 10 km bisa ditempuh kurang lebih 30 menit.
"Hai, Mas." Sapanya begitu masuk mobil, Tara sudah lompat ke kursi belakang begitu mendekati Sutos. "Hai, Sayang." Sapanya kearah Tara.
"Hai tante. Hari ini cantik sekali." Rani selalu berpenampilan santai, gak seperti wanita seusia dia.
Hari ini, lagi-lagi celana capri diatas mata kaki warna biru dongker dan kemeja linen putih tanpa lengan. Jangan lupa sepatu sneaker putihnya yang hari ini seragam dengan Tara.
"Supermall aja ya, meski agak ramai. Setidaknya banyak pilihan mau makan dimana." Putusku.
"Oke." Jawab Rani, "Tara nggak masalah ke Supermall?"
"Nggak masalah, Tante." Jawabnya. "Pak, mumpung ke mall, boleh nambah 1 ya."
"Nambah apa?" Tanya Rani.
"Nambah sepatu, Tante. Bapak selalu sulit kalau aku minta sepatu." Jawabnya dengan sedikit menghempaskan punggung ke kursi.
"Emang kenapa?"
"Kamu nggak tahu aja ada berapa sepatu yang dia punya sekarang."
"Mas juga nggak tahu aja ada berapa sepatu yang kupunya, kalau tahu pasti geleng-geleng kepala." Dia terkekeh begitu melihat ekspresi kaget diwajahku. Tetapi disaat yang bersamaan, aku bahagia karena kemungkinan membawanya masuk kedalam keluarga kecilku tidak terlalu sulit. Melihat kecocokan dia dan Tara.
Tara yang awalnya tak bersemangat langsung berubah 100%, "Ada berapa, Te?"
"Tara punya berapa?"
Tanpa di aba-aba, mereka menyebut satu angka bersamaan. Anehnya angka mereka hanya selisih 1 pasang.
"Kalian berdua ini kenapa sih, kaki cuma sepasang tapi punya sepatu sebanyak itu!" Aku terheran-heran dengan mereka berdua.
"Ya kan beda outfit, beda sepatu, Mas. Nggak mungkin juga pakai sepatu itu terus-terusan, kan?"
"Betul Tante, Tara setuju. Belum lagi kalah kalau mau sedikit formal kan nggak bisa mau pakai sneaker putih gini."
Akhirnya mereka berdua sibuk membandingkan sepatu mulai dari harga, model sampai kenyamanan saat dipakai. Entah memang aku yang malas berganti-ganti sepatu atau mereka memang penggila sepatu. Hingga toko pertama yang dituju saat sampai di Supermall pun toko sepatu.
Sudah lama sekali aku nggak merasakan seperti ini. Melihat Tara tertawa lepas, tanpa ada beban. Menggandeng Rani yang berjalan disampingnya juga tersenyum mendengar entah apa yang Tara ceritkan.
"Bapak, ayooo." Melepas gandengan Rani, Tara berjalan kearahku. Sekarang aku berjalan diantara mereka berdua. Tara langsung bergelayut manja di lengan kiriku. Iseng aku menawarkan lengan kananku yang ditolak Rani dengan lembut.
Kami bertiga berjalan tak tentu arah, sambil berpikir mau makan apa kita siang ini. Tiba-tiba ada yang menarik lenganku dari sebelah kanan, "Maaf, mumpung lewat. Aku mampir ke toko buku dulu, Mas."
"Ayo." Ajakku setelah menempatkan telapak tangannya kedalam telapak tanganku yang langsung terasa pas disana.
Baru dua langkah, Rani menarik lembut tangannya dan melihat kebelakang. Tara terdiam melihatku dan Rani. "Sayang, kenapa?" Rani mendekati Tara dan memeluknya.
"Tara suka liat Bapak sama Tante Rani. Maaf ya tante, lebay memang akutuh."
Aku mendekati mereka berdua, memeluk pundak Tara di sebelah kiri dan tangan kananku menggandeng Rani. "Ayo. Kalian kan bisa lama kalau di Periplus."
Sekali lagi aku terlupakan, begitu masuk Periplus mereka berdua bagai masuk dunia tersendiri. Membiarkan aku sendiri.
"Bapak nggak mau cari sesuatu?" Aku menggeleng dan memeluknya, mencium pelipisnya. "Makan yuk, Bapak laper."
"Pak. Bapak tahu nggak kalau tante Rani itu punya keponakan seumuran sama Tara."
Sekali lagi aku menggeleng, "Keponakannya itu manggil dia Ibu, karena dia nggak mau panggil tante. Kalau Tara ikutan manggil Ibu, keberatan gak ya?"
Aku terdiam melihatnya, "Bukan berarti Tara lupa sama Ibu, hanya ingin bisa akrab aja. Bapak keberatan nggak sih?" Katanya.
"Lakukan yang membuat Tara senang. Asal nggak buat tante rani merasa nggak nyaman ya."
Entah apa yang terjadi hari ini. Rani nggak menolak gandengan tanganku tadi dan sekarang saat kita berjalan menuju tempat makan siang kami.
Setelah duduk menanti pesanan kami, Tara berbisik sesuatu ke telinga Rani. Rani menjawabnya dengan anggukan dan mencium kening Tara. Aku penasaran tapi menahan diri untuk nggak bertanya.
Nggak lama setelah itu, aku mendapat jawabanku. "Bu." Tara mendorong minuman pesana Rani.
"Makasih, sayang." Jawab rani. Aku berusaha menyembunyikan wajah bahagiaku, tapi gagal. Rani melihatku lalu mengedikkan bahunya.
"Pak." Tara mendorong minuman pesananku. Setelah itu kami bertiga sibuk dengan makanan masing-masing.
Terjadi kemacetan saat kita keluar dari SuperMall, seperti biasanya. Warga surabaya tumplek blek di mall jadi kemacetan hanya diseputaran mall.
Sampai di apartemen Rani bersamaan dengan terdengar adzan Mahgrib. "Mau langsung pulang atau berhenti shokat dulu?" Tanyanya.
"Ra, sholat disini atau dirumah?" Tara yang tiduran sambil bermain ponsel persis anak kecil, membuat Rani tersenyum.
"Hmm." Jawabnya.
"Mampir saja dulu, dari pada lewat Mahgrib-nya. Parkir aja Mas."
Apartemen Rani kecil, terdiri dari 1 kamar tidur, 1 kamar mandi. Dapur kecil langsung terlihat di sebelah kanan begitu kita membuka pintu. Sofa disebalah kanan menempel dinding kamar, televisi di sebelah kiri, dikelilingi oleh rak penuh dengan buku.
Rani buru-buru masuk kamar, tak lama keluar sambil membawa sajadah yang masih wangi. "Mas sholat dipojok sini aja ya. Tara sholat di dalam aja, gantian sama Ibu."
Setelah sholat, kami bertiga menikmati view Surabaya di malam hari dari jendela apartemen Rani.
"Tara balik yogya kapan?" Tanya Rani sambil mengusap-usap punggung Tara yang tiduran berbantal pahanya.
"Besok pagi, Bu. Kereta pagi. Jadi ngantuk di usap-usap gitu." Katanya.
Aku mengeluarkan ponsel dan mengabadikan momen langka ini. Saat berusaha untuk mendapatkan posisi yang pas, pop-up pesan Aryo masuk
Aryo Gemblung
Mas, makan malam kerumah lah. Aku kangen kesayangan nih.
Gombalmu, Yo!
Aryo Gemblung
S
ak karepmu, pokoke makan malam dirumah
Sorry, Mas-mu lagi pacaran.
Picture sent
Aryo Gemblung
Weits ... makin akrab aja itu calon bini.
Pasti kowe ngiri to, Mas!
Iri kenopo?
Aryo Gemblung
Pengen gegermu di usek-usek pisan tho!
Jempolmu bahaya, Yo!
"Bobo aja dulu. Bapak nggak keburu kan?" Panggilannya buatku gelagapan, juga karena terlalu konsentrasi membalas pesan Aryo sampai melupakan mereka berdua. Setelah berhasil menguasai diri dan menyembunyikan senyum di bibir. Akupun menjawab pertanyaan Rani.
"Tara itu gampang tidur kalau udah capek gitu. Kadang kuatir juga dia di yogya. Tapi karena tinggal di rumah mertua, jadi aku bisa tenang."
"Mertua sehat semua?"
"Mertua sudah meninggal lama. Tinggal adiknya Ibu yang disana. Tara manggilnya eyang juga."
"Di daerah mana, Mas?"
"Daerah sagan. Gampang carinya, kalau pas kesana mampir aja." Pintaku.
"Cari makan dibawah yuk Mas. Nanti Tara bangun pasti lapar, udah masuk jam makan malam ini." Rani berdiri setelah mengganti pahanya dengan bantal. Membuat Tara tidur lebih nyenyak.
"Tempel catatan di kaca depannya aja, Mas."
Setelah memastikan pintu terkunci, kami berdua berjalan menuju lift.
Menggenggam tangannya, aku berkata, "Makasih ya."
"Untuk?"
"Untuk hari ini. Untuk semua yang Rani lakukan untuk Mas dan Tara."
"Hhmmm," jawabnya pelan.
"Apa ini tandanya usaha Mas mulai menunjukkan hasil positif?" Tanyaku saat kami bergandengan tangan menuju Primarasa yang jaraknya tidak sampai 5 menit berjalan kaki.
"Usaha aja terus, Mas. Kali aja aku berubah pikiran. Siapa yang tahu, ya kan?" Jawabnya.
Aku tahu ada sesuatu dibalik jawabannya, ingin rasanya mendesak dia untuk bercerita tentang keengganannya. Tapi aku gak mau terlalu mendesaknya, jadi aku putuskan untuk menikmati apa yang ada sekarang.
Happy reading yak
Love ya!
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top