Bab 15
Kencan yuk kencaaaaan .....
Happy reading
"Keberatan untuk mampir sebentar di tempat pertama kita ketemu?" Setelah menurunkan 2 orang yang kekenyangan coto makassar, aku nggak mau cepat-cepat mengantar Rani pulang.
Dia tampak berpikir beberapa menit sebelum menjawab, "oke."
Kami berdua duduk di kursi pojok yang kemarin dia tempati. "Mas duduk tepat di belakangmu. Sebenarnya heran juga, waktu itu kenapa bisa dengar suaramu ya."
"Waktu itu masih sepi kan Mas."
"Spt yang Tara cerita tadi. Itu siapa?" Aku ingin tahu tentang pekerjaannya.
"Jadi aku sama temen-temen itu seperti manager untuk beberapa penulis. Ada penulis yang suka anonim, itu tugas kami mewakili mereka untuk berurusan dengan penerbit. Atau bahkan penulis yang nggak anonim pun kita juga wakili."
Secara garis besar, pekerjaannya seperti manager artis begitu. Mengurusi segala sesuatu yang behubungan dengan buku.
"Inget yang kita ketemu di lounge waktu itu? Aku lagi meeting bahas film itu. Salah satu novel Spt yang Tara bilang tadi, akan jadi film tahun depan."
"Sebenarnya bisa sih dia mewakili diri sendiri. Tapi dia ingin pertahankan anonymous dia. Bookish dan penulis ada perjanjian tertulis, kami mewakili dia di semua urusan yang berhubungan dengan buku. Termasuk film." Matanya berbinar saat menjelaskan detail pekerjaannya.
"Pekerjaan kamu menarik ya. Melakukan pekerjaan yang kita cintai itu menyenangkan. Meski ada saatnya kita jenuh, cukup istirahat. Recharge tenaga dan mulai kembali."
"Betul." Rani mengeluarkan tablet dari tasnya, mengutak atik sebentar dan menunjukkan sesuatu padaku.
Aku kira akan melihat foto atau pekerjaan dia yang berhubungan dengannya, ternyata itu foto kolase dengan judul Nika's Dream House
"Kamu buat ini?" Melihat foto yang dia kumpulkan dari pinterest membuatku tertarik bertanya lebih lanjut.
"Iya. Terkadang aku kepikiran sesuatu, seperti bagian ini." Dia menunjuk foto ceiling salah satu cafe yang dilapis dengan anyaman bambu yang dipernis.
"Aku ingin salah satu ruang di rumahku ada begini. Nggak perlu semua, hanya satu ruang aja. Bilang aja di ruang keluarga atau ruang makan."
Menggulir layar tabletnya, aku menemukan banyak foto yang dia kumpulkan. "Saya suka ide kamu."
"Makasih."
"Ubin yogyakarta begini bisa juga untuk backsplash. Mudah dibersihkan dan terlihat cantik." Aku membuka pinterest, mengetikkan kata kunci dan terlihat banyak foto yang bisa dijadikan inspirasi.
"Mas," dia menunjukkan satu foto penggunaan ubin yogya di meja nakas, "aku mau ini."
"Boleh. Untuk kamar utama kita ya." Jawabku usil yang langsung dapat hadiah lemparan tisu bekas.
"Jangan bercanda!"
"Kenapa kamu kira Mas bercanda?" Tanyaku dengan suara se-normal mungkin. "Dari semua yang sudah terjadi diantara kita, nggak mungkin kamu nggak terasa kalau Mas ada niatan lebih. Ya kan?"
Rani melihatku dengan mata yang terlihat mulai gelisah. Beberapa kali dia membuka dan menutup mulut, sepertinya ada yang ingin disampaikan tapi batal.
"Mas akan jujur sama kamu. Mas sudah pernah meminta ijin sama kakak-kakakmu untuk mengenal Rani lebih dekat."
"Apa jawaban mereka?" Wajah ketusnya sudah kembali, meski terlihat tidak ramah untuk dilihat, dia tetap terlihat manis.
"Mereka jawab, Good luck."
"Mereka benar! Kalau gitu aku juga mau bilang Good luck, Mas." Entah apa yang berubah. Wajah ketusnya tadi diwarnai senyum meski tipis.
"Oke. Kalau gitu Rani harus jujur bilang kalau Mas berhasil bikin kamu jatuh cinta. Deal!" Aku menantinya menyambut uluran tanganku.
"Deal. Tapi Mas juga harus mundur kalau nanti aku jujur bilang nggak bisa jatuh cinta atau bahkan menikah dengan Mas. Deal!" Dia sebutkan syarat sebelum menggenggam uluran tanganku. Kami mengucapkan kata, "Deal" secara bersamaan.
"Karena perjanjian sudah disepakati, jadi jangan keberatan kalau Mas mulai usaha."
"Loohh, bukannya dari kemarin sudah usaha," katanya.
"Oke. Mas ganti. Jangan keberatan kalau usaha Mas akan bertambah mulai dari sekarang ya. Nggak keberatan, kan?"
"Emangnya kalau aku bilang jangan, Mas nurut?"
"Ya, Nggak lah!"
"Nah itu tahu. Jadi percuma juga aku keberatan," dia terdiam, "pulang, yuk." Ajaknya.
Hari itu ditutup dengan mengantar Rani sampai di lobby apartemen dia. Sebelum turun, dia menoleh dan berkata, "Jangan terlalu kencang usahanya. Aku takut jatuh cinta sama Mas." Secepat dia berkata begitu, secepat itu pula dia membuka pintu mobil dan keluar.
Aku dan Tara pulang setelah makan malam di rumah Ibu. Melihat Bapak dan Ibu yang semakin tua, aku jadi berpikir. Mereka berdua masih diberi kesempatan saling menemani, mungkin hingga tutup usia. Bagaimana denganku. Aku bukan ingin menggugat Dia Sang Pemilik segalanya, aku hanya mencoba memantapkan hati.
Memantapkan dan memantaskan diri untuk memulai lagi. Bersama Rani aku merasakan ada sesuatu yang lebih, bukan hanya sekedar tertarik. Kalau dibilang aku sudah jatuh cinta, mungkin saja iya. Tetapi untuk mengucapkannya selantang mungkin, aku masih ragu.
"Ra. Bapak bisa ngomong sebentar. Belum ngantuk, kan?"
Saat ini kami berdua duduk di meja makan, menunggu Mbok Dar menyiapkan pisang goreng untuk teman ngobrol.
"Kenapa, Pak?"
"Ke belakang aja yuk, Bapak kangen lihat anggrek-anggrek Ibu." Tanpa menunggu persetujuannya, aku melangkah menuju teras belakang. Tempat Pradnya menghabiskan Me time dia selama ini.
"Alhamdulillah, tanaman anggreknya Ibu nggak mati semua ya Pak. Padahal Bapak nggak biasa tanam-tanam, kan."
Tara benar, tanganku ini nggak pernah cocok dengan tanam menanam. Pradnya pernah memintaku untuk menancapkan tanaman serai. Saat itu ada 2 titik yang ingin dia tanami serai. Anehnya, serai yang dia tanam tumbuh subur. Sedangkan yang aku tanam jangankan subur, hidup saja enggan.
"Kamu inget serai Ibu ya," Tara tertawa, "sini, duduk sebelah Bapak."
Bangko atau bangku kayu jati ini sengaja didatangkan dari jepara. Pradnya memilih desain paling simple tapi terlihat bagus. Bagian atas sengaja dipasang kasur tipis, jadi bisa beralih fungsi menjadi day bed.
Tara bergelung disampingku, jantungku berdetak kencang. Ragu ingin mengatakan tetapi aku perlu meminta pertimbangannya.
"Bapak tertarik sama rumah kolonial kita itu." Kalimat pembukaku.
"Kan sudah dibeli Bapak."
"Maksudnya, Bapak tertarik untuk tinggal disana." Tara sedikit tersentak lalu duduk menyamping melihatku.
"Bapak ... Bapak mau ninggalin kenangan Ibu? Lalu rumah ini?"
Wajahnya bukan terlihat marah tetapi sedih, "Bapak nggak akan bisa meninggalkan semua kenangan Ibu. Bapak nggak akan mampu menghilangkan Ibu dari hati dan pikiran, sampai kapanpun."
"Lalu kenapa ingin tinggal dirumah itu?"
"Rumah ini sudah menjadi rumahmu. Rumah ini nggak akan berpindah tangan kepada siapapun. Bapak sudah memastikan itu."
Kira-kira setahun sebelum Pradnya meninggal, dia mempunyai ide untuk merubah hak milik rumah ini dari atas nama dia ke nama Tara. Rumah ini kita bangun berdua, tetapi kepemilikan sengaja aku buat atas nama Pradnya.
"Kenapa dibalik nama jadi Tara?"
"Biar nanti dia nggak kesulitan kalau kita berdua sudah nggak ada lagi. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi sama dia beberapa tahun lagi. Mungkin aja kita berdua sudah mati dan dia membutuhkan uang, biar bisa dia jual dan nggak pakai ribet."
"Dengerin Bapak dulu. Bapak juga belum memutuskan apa-apa sampai saat ini. Masih sekedar wacana atau ide belum sampai masuk tahap direncanakan. Bisa?"
"Bapak mau nikah sama Tante Rani, ya?" Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuatku berpikir, apakah memang itu tujuanku ingin melepas rumah ini?
Happy reading semuanyaaah
Love ya!
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top