Bab 14

Because i'm happy ....
Aku seneng bangeeeet baca komen satu-satu persatu.
Beneran kaga nyangka kalau pesona Mas Ara membuat coklat menjadi leleh kata riswayati
Thank you ... thank you

Bonus untuk kalian semua yang sudah membuat Mas Ara semakin semangat pepetin Mbak Rani.

Love you all
😘😘😘😘

Hari ini serah terima kunci rumah kolonial dilakukan. Kami semua sepakat akan melakukannya dirumah. Rumah yang semakin hari makin membuatku yakin kalau aku menginginkannya untukku sendiri.

Aku pun sengaja meminta Tara untuk pulang ke Surabaya, nggak sabar ingin mendengar pendapatnya tentang rumah ini.

"Gimana kuliahmu, Yang?"

"Baik Om," Jawab Tara tanpa mengangkat kepala dari ponsel yang tak pernah lepas dari tangannya itu.

"Kamu udah bilang?" Tanya Aryo melihatku yang duduk di samping kirinya.

"Belum, nanti saja. Aku ingin dia melihat dulu sebelum menanyakan pendapatnya."

"Tanya apa? Bilang apa ke siapa?" Kepalanya nyembul diantara pundakku dan Aryo. Membuatnya terlihat seperti anak kecil. "Bapak rahasia-rahasiaan ama aku sekarang."

"Sstt ... nanti aja. Kita sudah sampai."

Terlihat beberapa mobil sudah terparkir disana, sepertinya mereka sudah sampai.

Kami bertiga menyebutkan salam, saat sampai di pintu ruang tamu. Langsung saja terdengar suara yang membuatku rindu selama beberapa hari ini.

Rumah yang terlihat kosong membuat suara kami semua jadi menggema. Tara melihatku dan tersenyum karena mengenali salah satu suara yang menjawab salamnya. "Ada Tante Rani ya," bisiknya.

"Kamu kok tahu?" Padahal Tara hanya bertemu sekali, itupun hanya video call.

"Tara inget suaranya."

Tiga kakak beradik, Galih dan Notaris itu duduk di kursi yang masih ada disitu. Sepertinya mereka sengaja meninggalkan kursi kayu itu.

"Apa kabar Mas." Radja berdiri dan bersalaman bersama Aryo, dan Tara. "Ini siapa?"

"Paramitha Rahayu, Om. Anaknya Bapak Ara ini." Jawab Ara setelah mencium punggung tangan Radja

"Hai Tara, saya Radja. Kakaknya dia." Radja menunjuk Rani yang muncul dari arah belakang. Sambil membawa beberapa botol minuman.

"Tante Rani, apa kabar?" Tara mendekatinya, lalu mencium punggung tangannya. Yang berbeda adalah Tara mencium pipi kiri kanan Rani. Sempat kulihat wajah Rani sedikit tegang, mungkin kaget dengan sambutan Tara. Tapi langsung berubah dengan cepat dan tersenyum.

"Hai, akhirnya bisa ketemu juga kita. Kenalin itu kakak tante yang nomer 1, namanya Prabu."

Tara memang ramah, persis seperti ibunya. Semenjak kecil diajari untuk berkenalan dengan mereka yang belum pernah bertemu dan mencium punggung tangan mereka yang lebih tua semua satu persatu.

Begitu proses serah terima dimulai, Tara menghilang. Dia ingin menjelajah setiap sudut rumah tua yang terlihat tetap bersih ini.

Nggak lama kemudian, Rani meminta ijin meninggalkan kami semua. Aku kira dia ada pekerjaan yang nggak bisa ditinggal. Diluar dugaan, ternyata Rani menyusul Tara dan mengajaknya berkeliling.

Saat notaris itu berpamitan, Tara dan Rani muncul dari pintu samping. Melihat Tara bercerita dan Rani terlihat mendengarkan dengan senyum tak lepas dari bibir mereka membuat aku semakin yakin dengan pilihanku. Semoga tidak ada keberatan dari mereka berdua nantinya.

"Bapak tahu kalau Tante Rani itu yang handle penulis Spt?" Tanya Tara sambil bergelayut manja di lengan kananku. Sedetik sebelumnya dia berjalan disamping Rani dan bergelayut manja disana seperti yang dia lakukan kepadaku.

"Spt apa sih? Bapak nggak ngerti, Nduk."

"Hadeh Bapaaak. Yang mau jadi film itu lho!" Jawabnya jengkel.

"Mana Mas tahu Spt itu siapa." Kataku pada Rani yang hanya ditanggapi dengan senyuman. "Kamu tahu, kaki ini melangkah ke bioskop hanya karena anak ini."

"Aku sebenarnya nggak hanya jual buku, Mas. Bookish itu semacam agensi untuk penulis, jadi kami bertiga itu semacam manager penulis lah."

Sebelum aku sempat menanyakan detail pekerjaan, Tara berbisik, "Ajak Tante Rani makan siang, Pak."

"Kamu aja yang ajak, coba." Aku menyemangati Tara untuk mengajak Rani makan siang berempat bersama Aryo.

Tara mendekati dan kembali bergelayut di tangan Rani, "Tante suka coto makassar, nggak?"

"Tante sebenarnya suka makan apa aja sih, asal bukan durian. Tante bisa pingsan kena bau durian."

"Ih kok sama ama Bapak. Kalau Tara sama Ibu lagi pengen makan durian pasti Bapak nggak mau anter, akhirnya kita pergi bertiga sama Om Aryo." Anak usil, menjelek-jelekkan bapak sendiri.

"Makan siang bareng yuk. Coto Makassar di Ahmad Jaiz, tante pernah coba?"

"Tanya Om Radja sama Om Prabu dulu ya, tadi tante bareng mereka berdua." Jawab Rani santai.

"Tante sini aja, biar Tara yang bilang." Jawabnya santai, seolah sudah lama kenal dengan semua orang.

Gak sampai lima menit, Tara kembali dengan senyum terkembang. "Ayo makan Coto Makassar."

"Kamu mau bawa mobil sendiri atau bareng Mas Ara?" Tanya Radja.

"Rani bareng kita saja. InsyaAllah aman kok," kataku.

Setelah bersalaman dengan kedua kakak Rani dan berjanji untuk saling berkunjung, kami pun pergi menuju jalan Ahmad Jaiz. Memenuhi keinginan tuan putri.

Entah apa yang mereka berdua rencanakan, begitu masuk mobil, Tara berkata, "Bapak. Nanti Tara turun di Grand city ya setelah makan, ada yang mau dicari."

"Tantemu ntar mau ke GC juga kayaknya, coba kamu tanya, Yang." Aryo menoleh ke arah Tara yang duduk di kursi belakang bersama Rani. "Atau gini aja, telepon tantemu, Yang. Bilang kalau ketemu kita di GC ntar."

"Ini kenapa pada ke GC semua sih? Kamu mau ke GC juga, Ran?" Tanyaku.

"Nggak, Mas," jawabnya geli.

"Nanti kalau sudah selesai, bilang ya. Bapak jemput."

"Bapak jemput di rumah Eyang aja nanti. Tara ikut Om Aryo pulang. Pergi aja dulu kemana gitu, berdua sama Tante Rani. Malam baru jemput ke rumah Eyang. Tara kangen botok telur asin bikinan Eyang."

"Waaah ... enak banget itu, Ra. Tante seneng banget, tapi ribet bikinnya. Jadi kalau pas pengen, mendingan beli."

Berawal dari Botok Telur Asin, bahasan mereka berdua bisa melebar kemana-mana. Sampai kita berhenti di depan ruko di jalan Ahmad Jaiz, mereka masih saja sibuk entah membahas apa.

"Ayo turun, makan dulu."

Coto Makassar di jalan Ahmad Jaiz ini bisa dibilang paling enak, menurutku. Dulu tempat ini sempit, terkadang untuk makan kita harus menunggu meja kosong. Sampai sekarang juga begitu sih.

Tapi setelah lantai 2 dibuka, kita bisa memilih mau dibawah atau diatas. Kualinya besar, asli dari tanah liat, mungkin itu yang membuat rasanya menjadi lebih nikmat.

Satu lagi, dulu ruko ini terbuka. Jadi panas dari luar bertemu dengan panasnya kompor menjadikan makan kita lebih nikmat karena berkeringat. Sekarang terdapat pintu kaca dibagian depan yang bisa tertutup rapat karena ada AC yang menyala terus.

Kami berempat memilih makan di lantai 2. Seperti biasanya Aryo dan Tara kompak memesan daging babat porsi jumbo.

"Jangan heran kalau lihat mereka duet begini. Makannya sama-sama banyak."

"Nggak masalah Mas. Aku baru sekali makan disini, cotonya juara memang." Jawab Rani.

Nggak menunggu lama, 2 porsi jumbo dan 2 porsi reguler sudah tersedia. Lengkap dengan buras, ketupat, irisan jeruk nipis, juga bawang merah goreng dan irisan daun bawang.

Kami berempat sibuk menikmati makan siang tanpa ada satupun yang berbicara. Seperti orang kelaparan, Tara dan Aryo sepakat untuk menambah 1 porsi jumbo yang akan mereka bagi dua.

"Bapak benar-benar heran melihat anak perempuan Bapak. Cewek nggak ada jaim-jaimnya, makan banyak banget."

"Jaim itu capek, Pak. Kalau lapar ya makan, kalau pakai ditahan atau diet segala bikin sengsara."

Aku jadi inget salah satu kencan buta kemarin, wanita yang nggak mau makan malam.

"Emang Bapak mau, Tara seperti Tante Kinanti kemarin. Isinya minum melulu bukan makan. Bayangin aja kalau saat ini kita makan ama Tante Kinanti. Betiga makan seperti gini, dia hanya minum es teh tawar. Aduh, nggak banget deh, Pak."

Aryo langsung tertawa, melihatku sedikit panik yang langsung menoleh melihat Rani. Ketakutanku ternyata nggak beralasan. Rani tak bergeming mesti Tara menyebut nama perempuan lain. Dia masih saja asik dengan mangkok cotonya. Bahkan dia juga sibuk memotongkan buras untuk Tara.

Aku jadi ragu, apakah bisa meruntuhkan dinding hatinya.

Nah lhooo ... kira-kira Mbak Rani leleh nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top