Bab 13

"Kenapa buku?" Pertanyaan pertamaku setelah masuk mobil dan memutar kunci mobil.

"Aku kuliah di sastra Inggris, Mas. Kelar kuliah Alhamdulillah diterima di TapakMedia. Meski gak langsung jadi editor sih. Jangankan editor, junior editor aja belum."

"Berapa lama disana?"

"Kisaran 5-6 tahun lah ya. Terus keluar."

"Kenapa?"

"Bosen. Aku itu sukanya baca novel, tertarik untuk kenal sosok dibalik novel itu sendiri. Ingin tahu mereka mendapat ide dari mana, atau apa yang membuat dia menulis itu. Macem seperti itu lah."

"Kamu cocok sama Tara," potongku. Dia tersenyum ke arahku.

"Waktu di sana, akhirnya kenal beberapa penulis novel gitu. Akhirnya aku iseng tawarin jasa editing. Awalnya mereka tolak sih, tapi ada yang mau." Begitu gedung apartemennya sudah mulai terlihat, "Ceritanya bersambung deh. InsyaAllah next time aku cerita."

"Oke, aku bakalan tagih hutang ceritanya."

Aku turun dan mengantarnya sampai ke lobby sebelum berpamitan, "Thank you Mas Ara. Aku kenyang malam ini." Katanya.

"Sama-sama, Rani. Sampai ketemu lagi ya. Chat aja kapan ada waktu lowong, kita bisa makan keluar lagi."

Rani melambaikan tangan sebelum berbelok ke arah lift. See you soon Rani.

For your eyes only
Picture sent

Paramitha Rahayu
Itu bukannya tante Rani

Kelakuanku persis anak ABG yang baru pertama kenal pacaran, padahal usiaku saat ini sudah setengah abad lebih. Secara diam-diam aku mengambil foto Rani saat menjemputnya tadi.

Waktu itu ada yang menyapanya sesaat setelah tersenyum melihatku berdiri di lobby. Saat itulah aku mengambil gambarnya. Kalau Aryo tahu kelakuan kakaknya, pasti akan jadi bahan olokan sepanjang sisa hidupku.

Iya
Bapak malam sama dia tadi

Paramitha Rahayu
Beneran?Bapak kok beda kalau sama tante Rani?
Aku curiga

Beda gimana?

Paramitha Rahayu
Biasanya Bapak nggak sesantai ini ceritanya. Nggak seperti 2 kencan yang Tara aturin kemarin.
Bapak suka Tante Rani?

Nggak tahu.
Kalau Bapak tertarik, Tara keberatan gak?

Paramitha Rahayu
Nggak dong Bapaknya Tara.
Tara nggak boleh egois, Bapak juga butuh teman hidup.
Sebesar apapun sayang Tara ke Ibu, situasinya sekarang kan sudah berbeda.

Anak Bapak bijak sekali

Paramitha Rahayu
Bapak baru tahu? Tersinggung aku🤪

Nduk, kamu sudah cukup dewasa untuk memilah-milah semuanya.
Kalau Bapak ingin mencoba sama tante Rani, Tara bilang kalau ada sedikit saja keraguan. Meski sedikit saja, Bapak berhenti.

Paramitha Rahayu
You are good to go, Sir.
Tara selalu doakan yang terbaik untuk Bapak.

Makasih, Nduk.
Bapak istirahat dulu
Love you

Paramitha Rahayu
Love you, Bapak

***

Manusia, hanya bisa berencana. Yang berlaku hanya ketetapan Allah semata. Beberapa hari setelah makan malam itu, aku ingin mengajaknya keluar lagi. Tapi ternyata keinginan itu belum bisa terlaksana, aku harus terbang ke Bali besok pagi.

Hai.
Sebenarnya pengen ajak Rani makan siang, tapi ternyata besok pagi harus ke Bali.

Rani
Hai, Mas.
Sayangnya seminggu ini aku juga lagi ada di Semarang.

Sepertinya memang belum boleh untuk makan siang.
Kapan balik Surabaya?

Rani
Kereta sabtu malam, sampai Surabaya minggu pagi.

Kenapa nggak pakai pesawat?

Rani
Lagi kepengen naik kereta

Mas jemput, boleh?

Rani is typing ...

15 menit kemudian.

Rani
Aku nggak mau buat Mas Ara repot.
Biasanya yang jemput Mas Radja kalau dia nggak sibuk.

Oke. Bilang kalau Radja nggak bisa jemput ya.

Rani
Oke. Thank you

Keluar dari Bandara Juanda di hari Sabtu malam disambut oleh Aryo dan gerutuannya. "Kamu kan bisa naik taxi, Mas!"

"Apa gunanya punya adek kalau begitu," jawabku. Sebenarnya bukan ingin menyiksa Aryo, tapi malam ini ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan. Suatu wacana yang terlintas di pikiranku dan membuat nggak bisa konsentrasi.

"Yo."

"Hmm." Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan tol yang tidak terlalu ramai. Jalan tol dari bandara memang tidak pernah terlalu ramai seperti jalan tol arah keluar kota.

"Sepertinya Mas ragu mau jual rumah kolonial."

"Kenapa? Mau dipakai sendiri?" Tebaknya dengan sangat tepat.

"Sepertinya. Menurutmu gimana?" Aku masih belum pasti tapi ada rasa sayang membayangkan menjual rumah itu terjual.

"Karena Mbak Rani." Tebaknya lagi.

"Mungkin," jawabku singkat.

"Pada dasarnya kalau Mas maunya begitu, aku gak masalah. Toh disitu juga ada uang Mas. Atur ajalah, Tara gimana?"

"Mas belum bilang. Minggu depan waktu kita serah terima, rencananya Mas ingin bawa Tara juga."

"Oke."

Sedikit menenangkan pikiran saat aku sudah menyampaikan apa yang menjadi ganjalan selama beberapa hari ini.

"Makasih, Yo." Aryo mengacungkan ibu jarinya.

***

Minggu pagi, ada semangat baru yang datang, mungkin datang dari Semarang pikirku.

Sampai di stasiun Pasar Turi aku gak langsung turun, memutuskan untuk menanti sampai dia yang kutunggu terlihat di pintu keluar. Hampir 30 menit, akhirnya kulihat wajah yang hampir seminggu ini mengganggu pikiran.

Entah dia merasa aku memperhatikannya atau hanya kebetulan, dia tersenyum saat melihatku berjalan menuju tempatnya berdiri. Dengan wajah terlihat sedikit kesal dia berkata, "Pasti Mas Ara yang meminta Mas Radja untuk gak jemput ya!"

"Hai, Rani. Apa kabar?"

"Bener ya, Mas Ara kong kalingkong sama Mas Radja! Meski mulutnya sedikit ngomel tapi dia tetap berjalan menuju mobilku meski aku masih berdiri di tempat semula.

"Mas, ayo!"

"Siap, Nyonya," Jawabku pelan, tapi sepertinya dia mendengar karena tiba-tiba dia menoleh dan melotot ke arahku.

Mengarahkan mobil ke arah pintu keluar yang terlihat antrian meski tidak terlalu panjang. "Temani Mas sarapan, ya."

"Mas Ara kenapa jemput aku? Harusnya Mas Radja yang jemput!" Dia mengeluarkan ponsel dan sepertinya menelepon seseorang.

"Wa'alaikumusallam. Kok Mas Ara yang jemput!"

"...."

"Sudah. Ini lagi dijalan."

".... "

"Ya kan nggak enak Mas," suaranya sedikit pelan saat ini.

"...."

"Iya iya. Ya wis lah, mungkin sorean aku baru bisa kesana. Pengen tidur dulu sebentar."

Memasukkan ponsel kedalam tasnya kembali dan memiringkan badan ke arahku. "Kenapa mau jemput aku?"

"Kangen," jawabku tanpa melihat wajahnya. Sebenarnya aku yang nggak berani melihat reaksinya.

Saat kulihat wajahnya, dia melihatku dengan sorot mata yang terlihat marah, "Gombal! Gimana Bali?"

"Urusin kerjaan, ketemu Mika juga urusan pekerjaan. Mampir Pecel Bu Kris, mau?"

Setelah mendapatkan jawaban meski berupa kedikan bahu, aku mengarahkan mobil ke daerah Barata Jaya. Setidaknya disana kita bisa memilih ingin makan apa, jadi gak bingung kalau ternyata dia nggak suka makan pecel.

"Semarang, urusan pekerjaan?"

"Iya."

"Sebenarnya apa aja yang dikerjakan seorang Arunika Pramesti Maharani itu?" Selama ini yang aku tahu dia jual buku di website mereka. Tapi melihat kesibukannya, sepertinya lebih dari itu.

"Waktunya cerita episode kedua, nih?" Tanyanya dengan senyum geli di bibir.

"Sekarang episode kedua, nanti ada episode ketiga, empat, lima dan seterusnya." Aku menjawab dengan penuh kepercayaan diri.

Beberapa ruas jalan Surabaya di minggu pagi memang terlihat sedikit lebih lengang, sehingga tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di tempat tujuan yang sayangnya terlihat lebih rame.

"Rame, sepertinya. Mau cari tempat lain, kah?" Aku menanyakan setelah berhasil menemukan tempat parkir.

"Nggak apa-apa disini aja, Mas."

Sebelum turun, dia sempat melihat wajahnya di kaca yang menempel di sun visor. "Tetap cantik kok, ayo."

"Mas, gombalanmu itu lho!" Bentaknya sebelum turun dan menutup mobil sedikit lebih kencang.

Untungnya ada meja kosong di tempat makan yang ramai di minggu pagi ini. Terlihat beberapa orang dengan pakaian olahraga bersepeda, ada beberapa keluarga dengan anak-anak mereka membuat tempat yang tidak terlalu lapang ini terasa penuh.

Setelah menyebutkan satu persatu pesanan kami berdua, pelayan itu meninggalkan meja kami yang terletak di ujung belakang.

"Episode kedua, kapan dimulai?"

Sebelum menjawab, dia tersenyum melihatku. "Kenapa ingin tahu?"

"Karena Mas ingin kenal kamu."

"Kenapa Mas ingin kenal aku?" Aku yakin Rani tahu maksudku, tapi sepertinya dia butuh aku mengatakan sejelas mungkin.

"Karena Mas ingin kenal lebih dekat. Jangan bilang Rani nggak tahu maksud Mas. Kemarin bilang kita berdua bukan anak ABG lagi yang masih pakai lempar-lempar kode lagi, kan?"

"Ingat waktu aku bilang kalau nggak mencari suami, itu masih belum berubah lho!"

"Siapa bilang Mas ingin menjadi suami Rani." Pelayan datang mengantarkan pesanan kami dan menatanya di atas meja. "Makan dulu." Pintaku.

Rani makan terasa lebih lama dibanding terakhir kita makan bersama. Atau aku saja yang terlalu lama memandanginya sehingga lupa waktu.

"Mas, saya nggak berencana jatuh cinta." Katanya pelan.

"Mas juga nggak bilang mau buat kamu jatuh cinta, kan?"

"Mas maunya apa, tho!" Tanyanya dengan wajah marah yang tidak dia tutupi.

"Mas ingin kenal kamu lebih dekat, karena Mas ingin menjadi Imam kamu. Mas juga nggak buat kamu jatuh cinta, karena Mas yakin kamu sudah jatuh cinta." Senyum congkak tak lepas dari bibirku.

"Ya Allah ... kalau Tara melihat Bapaknya ngegombal begini, dia bisa ketawa gak selesai-selesai. Belum kalau ketambahan Aryo, habis sudah wibawaku di depan mereka berdua."

Tanpa kuduga, Rani malah tertawa terbahak-bahak lalu menutup mulutnya saat aku melihatnya. Air matanya sampai keluar karena menertawakanku.

"Kamu tertawa karena kePeDe-an Mas atau karena ketakutanku tadi?" Tanyaku.

"Semuanya ... aku harus acungi jempol karena Mas lelaki pertama yang mempunyai kepercayaan diri setinggi langit. Wajah Mas lucu banget waktu ingat Tara dan Aryo." Dia tertawa lagi. Membuatku semakin terpesona melihatnya. Saat dia tertawa lepas begini terlihat tidak ada beban yang dia bawa kemana-mana. Terlihat lebih bebas dan semakin cantik.

"Kamu, cantik."

"Gombal! Bayar sana, aku tunggu diluar. Kasihan yang mau pakai meja kita."


Mr Baswara Gunawan is in the house guys

Happy reading
Lope lope
😘😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top