Bab 12

Yuhuuuuuu .....



Kalau dipikir-pikir, sebenarnya salah apa hari senin pada kita selama ini hingga membencinya. Sampai kalimat i hate monday selalu muncul.

Tapi saat ini, bagaimana aku bisa membenci hari senin saat mendapat pesan begini di pagi hari..

Rani
Pagi, Mas Ara

Kalau para perempuan selalu mempunyai kata untuk menggambarkan betapa bahagianya mereka saat sang pujaan mengirim pesan. Kalau buatku, pesan dia pagi ini membuatku semangat, meski belum bertemu kopi sama sekali.

Pagi. Rani.

Rani
Mmm ... saya mau bayar hutang makan malam.
Nanti malam, bisa?

Tanpa menunggu lama, aku langsung mengetik jawaban.

Saya jemput dimana?

Rani lalu mengetikkan nama salah satu apartemen di jalan Ahmad Yani dan jam untuk menjemputnya. Setelah menjawab pesannya, aku pun bersiap memulai hari dengan penuh semangat.

Tengah hari Aryo memberitahu kalau urusan rumah kolonial mungkin maju dari jadwal pelunasan. Aku sudah tak sabar ingin memulai memperbaiki rumah itu. Setelah tahu bahwa itu rumah masa kecil Rani, ada sedikit impian ingin menjadikan sebagai rumahku dengan dia disana.

Mungkin aku bisa mengorek sedikit kepribadiannya nanti malam,mengenalnya lebih jauh. Jadi aku bisa memasukkan ke dalam desainku. Membayangkan Rani dirumah itu membuat desain yang sudah mulai terbentuk menjadi sedikit berubah.

Aryo gemblung
Nanti malam bisa mampir rumah gak Mas?

Sorry, nanti malam sibuk.

Aryo gemblung
Pasti sibuk kencan.

Anak kecil nggak boleh banyak tanya.

Aryo gemblung
Good luck Mas
💪💪💪

Sengaja tidak menjawab pesan yang sudah mulai tak tentu arah itu, aku mencoba membuat desain berdasarkan foto bagian dalam rumah kolonial.

Malam ini aku sengaja memakai kemeja putih pemberian Rani yang dilipat sampai ke siku dan celana jeans warna biru. Makan malam santai dengan harapan bisa membuatnya nyaman denganku sehingga bisa membuatnya sedikit terbuka padaku.

Aku menunggunya di Lobby. Nggak sampai 10 menit setelah mengirim pesan sudah di Lobby, Rani muncul dengan rok semata kaki, kaos lengan pendek yang sewarna dan dimasukan kedalam rok dihiasi ikat pinggang kecil. Tak lupa sneaker warna putih.

Manis sekali.

"Hai, Mas. Maaf kelamaan nunggu, kita mau makan malam dimana?" Sapanya setelah sampai di depanku.

"Sebenarnya Mas lagi ingin makan masakan Indonesia, tapi kalau hanya ke rumah makan sebelah nggak seru." Sebelah apartemen ini ada rumah makan Indonesia, cukup hanya berjalan kaki. Tapi jarak tempuh yang terlalu dekat bisa membuatku rugi. Waktu yang kuhabiskan dengan Rani pasti terbatas.

"Kenapa? Enak Mas, tinggal jalan kaki."

"Terlalu dekat, nanti waktu ketemuan kita hanya sebentar."

"Ya sudah, gimana kalau makan malamnya ... di Yogya aja. Makan mie godhog malem-malem gini kan enak," godanya.

"Oke, Yogya ya. Siapa takut." Kataku sambil melangkah menuju mobil, Rani mengikuti langkahku.

"Mas, aku bercanda lho. Ya gak ke Yogya juga lah makan malamnya."

Aku tersenyum melihatnya, "Mie kuah jawa, mau? Aku ada tempat enak di jalan Peneleh."

"Gak ada yang lebih dekat?"

"Semakin jauh semakin bagus, jadi waktu berdua sama kamu bisa lebih panjang." Ucapku sebelum membuka kunci mobil dengan remote di tangan.

Aku bukan lelaki romantis yang selalu membukakan pintu mobil untuk pasangannya, jadi aku menunggu Rani masuk dan memasang seat belt sebelum menyalakan mesin mobil. Sepertinya dia juga bukan type perempuan yang ingin di romantisin setiap saat.

Jarak dari apartemen Rani ke jalan Peneleh mungkin kisaran 10 km, dengan arus lalu lintas yang terkadang macet di beberapa titik bisa menguntungkanku nanti.
Membuatku punya banyak waktu bersamanya.

"Boleh tanya sesuatu, Mas?" Dia bertanya.

"Monggo."

"Kenapa aku?" Tanyanya singkat

"Kenapa tidak?" Jawabku pun singkat.

Mukanya langsung berubah mendengar jawabanku, "Kok jengkelin sih jawabannya. Aku mulai nyesel nih mau aja diajak dinner."

"Hehehe. Selama 5 tahun aku sendiri, bukan berarti nggak ada Tara dalam hidupku, ya. Aku harus menjadi Bapak dan sekaligus Ibu buat dia. Nggak boleh ada kata capek atau berhenti, harus kuat. Nggak boleh tumbang ataupun menyerah. Selama ini nggak pernah sekalipun terlintas ingin memulai kembali dengan seseorang."

"Terus kenapa sekarang usaha ke aku?" tanyanya, "Ayolah ... kita bukan anak muda lagi yang masih pakai malu-malu atau pakai lempar kode, kan? Aku tahu yang Mas lakukan sekarang."

"Saat Tara dan Ibu memintaku untuk mulai membuka hati, disini ...." Aku menyentuh dada, "disini tuh ada pertentangan."

"Mas gak ikhlas."

"Memang nggak. Aku merasa aku baik-baik saja sendiri. Aku sudah terbiasa untuk sendiri. Menjadi kuat untuk Tara. Bilang saja begini, aku menutup diri dan mendirikan tembok tinggi di sekitarku. Yang perlu mereka tahu adalah seorang Baswara Gunawan baik-baik saja."

"Sekarang mereka memintaku untuk menurunkan dinding pertahananku dan memintaku untuk mulai mengenal orang lain. Harus me-reset segalanya, termasuk hati. Sedikit mengerikan sih sebenarnya."

Aku melirik ke arahnya, dia serius mendengarkanku, tanpa mengomentari kalimat panjangku dia membuang pandangan ke arah sebelah kiri dan membiarkan kesepian mengisi sisa perjalanan.

Tak lama kemudian kita sampai di tempat tujuan. Semoga dia gak keberatan dengan pilihan tempat makanku.

"Disini gak apa-apa, kan?"

"Emang kenapa?" Dia bertanya. Aku hanya mengedikan bahu, memperhatikan dia sibuk melap meja dengan tisu. Kebiasaan kecil yang buatku lucu karena Pradnya selalu melakukan hal yang sama begitu juga Tara.

"Aku bukan perempuan yang alergi makanan begini lho Mas. Jangan ngerendahin gitu, deh!"

"Sorry. Bukan bermaksud ngerendahin, kali aja kamu nggak suka. Karena aku paling suka makan mie godhog begini. Apalgi mie godhog Yogya, paling enak itu."

"Bener, Mas. Minggu kemarin aku baru balik dari Yogya. 3 hari disana, aku hanya makan itu untuk makan malam. Aku mikirnya mumpung bisa makan mie godhog asli, ya kan?"

"Pak Pele?" Tanyaku.

"Iya Mas. Biasa kesana juga?" Kedatangan pesanan kami menginterupsi jawabannya. Dia geser piring pertama yang diletakkan ke arahku lalu mengambil sendok dan garpu, mengelap pakai tisue sebelum meletakkannya dipiringku.

Aku kaget melihat gesture santainya melakukan itu, seolah itu hal yang biasa dia lalukan padaku.

Kami makan dalam diam, saat melihatnya menikmati setiap suapan, membuatku terdiam. Dia terlihat sungguh menikmatinya. Tak pernah aku melihat orang yang sepertinya, bukan hanya mulut tapi juga hati yang menikmati makanan.

"Ini enak banget, Mas. Ada rasa udangnya gitu ya, kuahnya kental banget. Enak. Makasih ya udah bawa aku kesini."

"Sama Pak Pele, enak mana?" Tanyaku cengar-cengir.

"Beda dong. Gak bisa disamakan karena itu dua makanan yang berbeda." Aku melihat piring makannya yang sepertinya tidak banyak berkurang, sedangkan aku sudah separuh lebih yang masuk ke perut. Sepertinya dia tipe orang yang lama kalau makan.

"Kaldu kuahnya beda banget. Tapi aku jadi kangen mana mie godhog Yogya, nih." Ternyata diantara dia mengunyah makanan, terkadang dia hanya menyesap kaldu dan seperti menghayati rasa yang ditimbulkannya dengan sedikit menutup mata. Terlihat lebay, tapi tidak baginya. Dia terlihat menggemaskan.

"Tadi diajak ke Yogya gak mau?" Candaku.

"Nope! Aku punya segudang pekerjaan."

"Ngomong-ngomong, kamu salah satu owner Bookish?" Rani terkejut sampai-sampai dia melihatku dengan mata melotot.

"Dari mana Mas tahu?"

"Hari pertama kita bertemu, ingat?" Aku mengingatkan pertemuan fenomenal kami berdua waktu itu.

"Yang aku nabrak Mas itu?"

"Yang kalian tempati adalah tempat favoritku. Saking seringnya aku disana, mereka sampai hafal apa saja yang biasa aku pesan. Hari itu aku duduk tepat dibelakangmu. Jadi sempat mendengar sedikit wawancara kalian."

"Ooo ... ternyata hasil nguping." Ledeknya sambil meraih sendok makan kembali, "iya, aku co-owner. Ada 2 orang lainnya selain aku. Mas tahu bookish?"

"Berkat Tara. Waktu dengar Bookish, langsung tanya Tara. Dia bilang kalian keren. Dia pernah liat Instagram story kalian."

"Makasih." Aku sudah menyelesaikan makan dan bisa konsentrasi mencari tahu tentang perempuan manis di depanku ini.

"Gak sulit kerja bertiga gitu?" Partnership terkadang membuat orang jadi bertengkar. Yang awalnya teman bisa jadi lawan.

"Alhamdulillah nggak. Jadi kita bertiga itu beda tempat semua. Ada Tya di Jakarta, Chandra yang biasa dipanggil Ican di Semarang dan aku di surabaya. Pada awalnya kita juga nggak langsung memutuskan jalan bertiga gini sih. Ceritanya panjang."

"Mas punya banyak waktu, sampai besok pagi juga nggak masalah." Aku tergoda untuk terus mendengarnya bicara.

"Mmm ... next time aja deh."

Dengan senyum kemenangan, aku menjawab, "it's a date."

"Terserah deh, Mas mau sebutnya apa. Yang pasti aku sudah kasih warning. Aku nggak lagi cari suami, jadi jangan ada ide untuk merayuku untuk jatuh cinta sama Mas."

"Whoo ... slow down girl, aku belum siap jatuh cinta. Jangan desak aku." Mengangkat kedua tangan keatas sebagai tanda menyerah dan tersenyum melihat wajahnya yang kelihatan jengkel.

"Gak lucu, Mas. Aku bayar dulu ya." Aku menahan tangannya saat dia akan berdiri.

"Ego laki-lakiku terluka kalau kali ini kamu lagi yang bayar. Ijinkan aku tetap menjaga egoku." Dia tertawa melihat wajah seriusku.

Bahaya, tiba-tiba ada rasa baru yang terselip di hati, rindu, nyaman dan ....

"Silahkan, Pak. Saya tidak akan menghalangi ego anda." Dia ayunkan tangan ke arah kasir, aku menunduk berterima kasih sebelum berlalu untuk melakukan pembayaran.

Saat berbalik untuk kembali ke meja, dia memanggil dari arah luar. "Mas!"

Dia sudah berdiri dengan membawa kunci mobil dan ponsel yang tadi masih ada di meja.

Entah kenapa saat bayangin makan malam mereka tuh, bukan di resto mahal tetapi tempat yang biasa tapi enak dan ngenyangin perut.

Selamat menikmati Mamas Ara
Happy reading
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top