Bab 11

Aryo Gemblung
Owner setuju dengan angka penawaran dan waktu pembayaran yang kita mau, Mas

Alhamdulillah. Kapan ke notaris?

Aryo Gemblung
Galih bilang tunggu salah satu dari mereka ke Surabaya.
Itu rumah warisan, 3 bersaudara. 2 di Surabaya, 1 di Malang.

Oke. Kabari aja nanti


Hampir 2 bulan lebih hidupku kembali normal. Tara,Ibu dan Aryo tidak lagi merecoki masalah kencan. Kalau Bapak dari awal nggak banyak bicara. Hanya senyum melihat tingkah laku anak dan cucunya.

Ini berarti hampir 2 bulan juga aku nggak pernah bertemu dengannya. Rasanya Surabaya nggak sebesar itu, tapi ternyata sampai sekarang belum pernah aku tidak sengaja bertemu dengan wanita ketus berambut pendek yang tak pernah gagal membuatku tersenyum.

Malam itu. Setelah menutup sambungan telepon Tara, Aryo mengabari jadwal bertemu notaris untuk urusan jual beli rumah kolonial di hari sabtu minggu depan. Setelah menjawab oke. Mematikan lampu dan bersiap untuk tidur.

Sebelum benar-benar terpejam, aku teringat kalau besok adalah ulang tahun Pradnya. Aku merasa berdosa karena hampir melupakan hari istimewa dia. Meski kenyataannya, dia sudah tak ada disini.

Besok ulang tahun Ibu

Paramitha Rahayu
Iya. Bapak mau Tara pulang?

Gak usah. Bapak baik-baik saja.
M

inggu depan Bapak ke sana ya, kelar urusan notaris langsung berangkat.

Paramitha Rahayu
Untuk rumah kolonial? Yeeeaayy
Aku nggak sabar pengen lihat rumahnya.

Libur lebaran nanti kamu bisa lihat. Bapak tidur dulu. Love you kesayangan bapak.

Paramitha Rahayu
Love you, Pak

"Jadi langsung berangkat abis ini?" Saat ini kami berdua di ruang tunggu kantor notaris untuk menyelesaikan urusan rumah kolonial. Notaris yang ditunjuk menginformasikan bahwa 3 kakak beradik itu sudah dalam perjalanan.

"Pagi. Maaf kami telat." Seorang lelaki yang sepertinya seumuran denganku memasuki ruang tunggu, diikuti dengan lelaki yang lebih muda.

"Prabu, ini adik saya Radja. Mas Ara dan Mas Aryo, benar?" Aku menerima uluran tangan mereka satu persatu sambil menyebutkan nama.

"Maaf Mas, menunggu 5 menit lagi, gak masalah ya. Adik saya masih dalam perjalanan, tadi ada kecelakaan kecil." Kata lelaki yang menyebut namanya Radja.

"Innalillahi, adiknya gak apa-apa, Mas?" Tanyaku.

"Alhamdulillah Mas. Tadi sempat jatuh, kakinya terkilir." Prabu yang ternyata setahun lebih tua memintaku meninggalkan panggilan Pak menjadi Mas.

"Pagi, maaf terlambat." Suara yang lama tak kudengar lagi.

"Rani."

"Mas Ara."

Bersamaan kami memanggil, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya.

"Nika kenal?" Tanya Radja.

"Kenal, Mas." Katanya menjawab pertanyaan salah satu kakaknya. "Apa kabar, Mas?" Rani menghampiriku dengan tertatih-tatih. Segera kuhampiri dan menawarkan tangan untuk menahan badannya.

"Baik, Alhamdulillah," jawabku.

"Thank you." Jawabnya sedikit menunduk.

"Hai, saya Aryo. Adiknya Mas Ara." Aryo dengan cepat melihat situasi yang bisa dia ceritakan di grup nggak jelas itu.

"Hai, Arunika Pramesti Maharani. Panggil Nika aja."

"Kok kamu manggilnya Rani, Mas?" Aku melotot menjawab Aryo. Pengen aku getok pake sepatu anak ini. Belum sampai niatan itu terlaksana, Galih muncul memberitahukan kalau kita bisa mulai sekarang.

Dengan sabar aku membantu Rani berjalan tertatih-tatih hingga ke salah satu sofa di depan meja kerja notaris yang ditunjuk. Perempuan yang sekarang warna rambutnya menjadi coklat terang itu tetap terlihat manis.

Kurang lebih satu jam kita menyelesaikan jual beli rumah di depan notaris, ketika akhirnya selesai kita sepakat untuk bertemu di rumah itu 2 minggu lagi untuk serah terima setelah aku dan Aryo menyelesaikan pembayaran.

"Hai," aku menyapanya setelah semua urusan selesai. Kami semua masih di ruangan sang notaris menunggu waktu untuk makan siang. Aryo tadi memberi ide untuk makan siang sama-sama bersama Galih dan si notaris yang ternyata teman Aryo SMP. Betapa kecil Surabaya kalau begini.

"Hai, Mas. Apa kabar?"

"Tadi kan sudah dijawab. Kamu apa kabar?" Sebenarnya aku ingin segera menanyakan janjinya dulu, tapi dengan keberadaan kedua kakaknya. Lebih baik menunggu saat hanya berdua saja.

"Jadi, Mas Ara ketemu Nika dimana?" Radja mulai mencurigai sesuatu, mungkin karena melihatku terlihat akrab dengan adiknya.

"Kita ketemu di cafe waktu aku ada wawancara beberapa bulan yang lalu itu lho Mas. Nggak sengaja nabrak Mas Ara dan buat kemeja dia kotor."

"O gitu. Kalian?" Jarinya dilarikan antara aku dan Rani bergantian.

"Nggak, Mas. Mas Ara ini temen. Jangan buat spekulasi macam-macam, aku lagi males dengar omelan Mas Prabu."

"Mas Ara. Kalau butuh bantuan, bisa hubungi aku, 24/7." Aku menerima kartu nama yang Radja ulurkan. Setelah mengucapkan terima kasih, kusimpan kartu itu dalam saku celana.

"Dinner?"

"Ini masih siang Mas Ara!" Jawabnya ketus.

"Maksudnya nanti malam. Dijemput dimana nanti?" Masih dengan suara rendah aku mencoba merayunya untuk makan malam berdua. Aku nggak mau mengambil resiko Aryo tahu masalah Rani.

"Aku chat Mas Ara saja nanti." Matanya melotot dan melirik-lirik ke kanan. Wajahnya jadi lucu, aku benar-benar nggak tahan melihatnya. Mendekati Aryo yang berbicara sama Prabu kakak pertama Rani. Ternyata dia pegawai Bank Indonesia dan ditempatkan di Malang, setelah beberapa kali keliling berpindah-pindah.

"Sudah lama kenal Nika, Mas?" Tanya Prabu.

"Iya, Mas. Sudah berapa lama kenal Mbak Nika?" Aryo ikut-ikutan menanyakan itu, tetapi dengan nada yang menjengkelkan. Ditambah dengan ekspresi usilnya. Nanti malam pasti ramai di grup.

"Kenal baru beberapa bulan yang lalu. Sebenarnya. Kalau nggak keberatan, bisa bicara sebentar, berdua?" Prabu menjawab dengan anggukan dan memintaku untuk mengikutinya.

"Yo, mas tinggal sebentar." Kupegang pundaknya sekilas, tapi masih sempat mendengarnya berbisik.

"Iya. Aku mau kenalan sama calon kakak iparku dulu."

Saat sudah hanya berdua dengannya, aku mengatakan keinginanku untuk mengenal adiknya.

"Maaf, saya harus bertanya. Dilihat dari usia kita yang gak terpaut jauh, kemungkinan Mas Ara ini sudah berkeluarga?" Tanyanya tanpa tedeng aling-aling.

"Alhamdulillah, saya sudah berkeluarga. Sampai 5 tahun lalu saat istri saya meninggal. Sekarang hanya berdua dengan Tara, anak saya."

"Maaf, Mas."

"Gak masalah. Jujur sebelum hari ini saya masih belum yakin 100% untuk mendekati Rani. Karena saya merasa dia membatasi ruang gerak saya."

"Apa yang membuat Mas yakin kalau gitu?"

"Saat melihatnya tertatih-tatih tadi, yang saya pikirkan hanya satu. Saya ingin ada disana setiap kali dia terjatuh. Mungkin Mas Prabu merasa geli mendengarnya, saya saja geli mendengarnya. Usia kita bukan lagi waktunya bermain-main, untuk itulah saya memberanikan diri untuk datang dan meminta ijin."

Dia hanya tersenyum lalu mengulurkan tangan, aku menerimanya dan tersenyum saat mendengar dia berkata, "Good luck. You're gonna need that."

Setelah Prabu meminta ijin untuk masuk terlebih dahulu, aku mengeluarkan ponsel,

Dijemput jam 6.30, bisa?

Rani
Reschedule, bisa
Malam ini mau makan malam keluarga

Okey


"Mas, ayo makan." Ternyata mereka sepakat untuk makan siang di rumah makan sebelah kantor notaris. Siang ini aku menahan diri, nggak terlalu banyak mendekati atau berusaha mengajak Rani untuk bicara.

Dan ternyata kakak-kakak Rani lebih tertarik mendengar rencanaku dengan rumah lama mereka itu.

"Sebenarnya Mas Ara masih pikir ulang untuk menjualnya lagi atau untuk ditempati sendiri, Mas." Celetukan Aryo membuat semua orang memperhatikanku.

"Saya sebenarnya terobsesi dengan rumah jaman belanda gitu. Waktu itu sempat mencari, tetapi belum dapat akhirnya kami memutuskan untuk membangun rumah di surabaya timur."

"Mas Ara mau rombak total?" Tanya Radja.

"Tentu saja nggak. Saya paling sayang kalau harus menghancurkan bangunan lama begitu. Rencana saya bagian luar hanya perbaikan bukan perubahan. Hanya cat saja sebenarnya. Rumah itu masih kokoh dan indah, sayang kalau dirubah."

"Bagian dalamnya?" Kali ini Rani yang bertanya. Aku menjawabnya tanpa memutus koneksi pandangan mata.

"Rencana saya ingin merubahnya sedikit. Tidak mengganti tata letak kamarnya, hanya ingin membuatnya lebih terbuka. Open floor plan begitu, jadi saat membuka pintu depan, kita bisa langsung melihat dapur."

"Menarik." Ucap Rani pelan dengan senyum di bibir.

"Mas, aku setuju ama yang ini. Mereka juga." Bisik Aryo di dekat telingaku.

"Mereka?"

"Makanya, cek group!"

Rasanya nafas ini hampir putus saat melihat Aryo mengirim fotoku saat membantu Rani berjalan tadi. Juga ada foto saat aku mengajak Rani makan malam. Aku kecolongan.

Paramitha Rahayu
Bapak, itu bukannya Tante Rani.

Aryo gemblung
Namanya Arunika Pramesti Maharani. Semua manggil dia Nika. Bapakmu aja yang sok romantis manggil Rani.

Aryo! Pulang ngesot kamu!

Aryo gemblung
Sorry Mas, aku tak tahan untuk berbagi

Paramitha Rahayu
Bapak, nanti makan keluar dong.

Hampir saja aku lupa, si anak gadis semalam sampai Surabaya. Tanpa kasih kabar sama sekali.

Ya sudah, atur sama tante Ifa aja.
P

esan ama Tantemu, Om Aryo ditinggal dirumah aja.

Aryo gemblung
Sorry ya Mas. Ifa dan Aryo itu sepaket

Paket hemat

Aryo gemblung
Sak karepmu, Mas


Cihuuuuyy .... ada yang ketemu Mbak Rani. Seneng dong. Iya kaaaan.

Wis ah, happy reading yaaak
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top