Bab 10

Semanjak Aryo mempunyai pekerjaan sendiri, dia mulai bergabung denganku dalam investasi properti. Meski terkadang harus melewati perdebatan sengit sampai Pradnya harus turun tangan menengahi kami berdua, kerjasama itu membuahkan hasil untuk kami berdua.

Terkadang Aryo mendapatkan info properti yang dijual dari teman SMAnya yang bekerja di salah satu property agency.

Seperti siang ini, Aryo menelpon di jam istirahatnya, "Mas, Galih kasih kabar rumah di dekat jalan Imam Bonjol ada yang dijual."

"Mahal, Yo." Daerah situ terkenal dengan peninggalan rumah-rumah arsitektur belanda.

Rumah kolonial memang kokoh dan terlihat tak lekang waktu. Sebagian besar bangunan itu memang tidak diijinkan untuk merubah bagian luarnya. Kalau punya kesempatan, aku juga gak akan merubah bagian eksterior bangunan. Sayang.

"Ayolah, Mas. Kita bisa percantik bagian luarnya. Untuk bagian dalamnya, aku percaya Mas Ara bisa membuatnya terlihat modern. Mungkin industrial look atau apa itu namanya. Ayolah, aku tahu Mas tertarik"

"Kirim detailnya, nanti Mas lihat dulu." Nggak sampai semenit, Aryo mengirim detail bangunan kolonial itu.

Nggak sampai semenit juga, dia berkata, "Sudah dilihat?"

"Yoo ... pesan kamu masuk belum ada semenit. Kapan aku punya kesempatan baca kalau menit berikutnya kamu sudah tanya. Kerja dulu sana! Nanti malam Mas mampir ke rumah, sekalian bawa obat herbal untuk Bapak." Tanpa menunggunya protes, aku memutus sambungan telepon itu.

Informasi dari Galih ini lengkap termasuk tahun pembuatan dan spesifikasi bangunan itu sendiri. Menyisihkan informasi itu, aku kembali pelajari berkas-berkas yang Rara susun berdasarkan tanggal.

"Ra!" Panggilku.

"Ya, Pak."

"Tolong carikan data rumah kolonial yang di Malang dulu. Saya butuh nama-nama vendor dulu itu." Saat memutuskan apakah proyek itu layak atau tidak aku harus mempertimbangkan segala sesuatu termasuk vendor yang bisa diajak kerjasama. Vendor yang sudah terbiasa dengan bangunan kolonial.

Malam itu, aku melangkahkan kaki menuju pintu samping rumah Ibu. Setelah mengucap salam, aku langsung masuk kamar mandi untuk cuci tangan, kaki dan muka sebelum menemui Ibu dan Bapak di kamar.

Mereka berdua sudah lanjut usia, setelah sholat Isya pasti sudah berada di kamar. Tapi malam ini saat aku ketuk pintu kamar mereka, tidak terdengar suara sama sekali. Kubuka pintu sepelan mungkin, ternyata Bapak dan Ibu sudah tertidur dengan nyenyak. Menutup pintu kembali sebelum menuju meja makan, tempat favorit Aryo. Aryo dan makanan memang tidak bisa dipisahkan.

"Makan, Mas." Melihatku yang baru saja dari arah kamar bapak, dia berkata, "Bapak sama Ibu sudah tidur setelah sholat Mahgrib tadi. Bilangnya agak capek."

"Piye, Mas?" Dengan mulut masih penuh makanan, dia bertanya.

"Kunyah dulu, Le." Tegurku yang mendapatkan tabokan di punggung. "Asem, tanganmu Yo!"

"Kalau hitungan sih masuk. Tapi harus sabar nunggu kejual. Nggak seperti rumah-rumah lainnya ini. Uang kita ngendap bisa lama, tapi bisa juga cepat. Siap?" Aryo melihat istrinya, untuk beberapa saat mereka berkomunikasi lewat pandangan mata. Aku tersenyum melihatnya. Bocah gemblung berubah jadi lelaki baik.

"Kata nyonya, ayo!"

*

*

*

Sebelum berangkat bersama Aryo, aku mengirip pesan yang cukup singkat "Hai" untuk Rani. Nggak berharap mendapatkan balasan secepatnya, tapi aku ingin dia melihat aku usaha untuk mengenalnya lebih dekat.

Disinilah kami berdua sekarang, di hari sabtu pagi. Memarkir mobil di depan rumah model kolonial yang masih terawat. Halamannya luas dengan rumput yang terpotong rapi. Terlihat bunga mawar merambat di dinding sebelah kiri. Sepintas kita bisa melihat rumah ini masih terawat.

"Kita janjian jam berapa?" Tanyaku.

"Galih bilang jam 9, Mas."

Aryo mengeluarkan ponsel dan menghubungi Galih, tak lama kemudian terlihat teman SMA Aryo itu keluar dari pintu utama. Dengan senyum 3 jari mereka berpelukan singkat seperti lama nggak ketemu, padahal tinggal sekota.

"Apa kabar Mas?" Kusambut uluran tangannya, saling bertukar kabar sebelum dia meminta kami berdua untuk masuk.

"Pemiliknya nggak tinggal disini, Mas. Tapi aku bisa pastikan, rumah ini terjaga. Ada asisten mereka yang tinggal disini. Sesekali saja pemiliknya tidur disini." Aku melihat beberapa perabotan dari kayu jati yang terawat juga. Lantai asli belum dirubah, membuatku lebih semangat.

"Lantainya masih asli, Mas. Pintu-pintu kamarnya juga masih asli. Jati kualitas terbaik ini."

"Rumah saja atau full furnished?" Aryo tertarik melihat meja bundar marmer yang terlihat benar-benar bagus.

"Full furnished kalau kamu minat,Yo. Nanti aku bilang ownernya."

Kami melanjutkan tur keliling rumah. Masalah struktur, bisa dipastikan rumah jaman belanda itu kuat. Biasanya mereka kalah di bagian eksterior karena termakan usia, tapi karena rumah ini tetap dirawat jadi terlihat baik semua.

Hampir satu jam tur rumah dan sempat ngobrol di gazebo yang ada di halaman belakang rumah ini. Halaman belakangnya benar-benar nyaman, ada 2 pohon mangga yang rindang. Rumputnya juga terpotong rapi.

"Aku suka, Yo."

"Kandani gak percoyo. Aku tahu selera rumahmu, Mas." Aryo tersenyum congkak karena dia membuktikan kalau dia benar.

"Dibeli untuk dijual lagi atau dibeli untuk ditempati sendiri?"

"Kita beli dan renovasi saja dulu, urusan lain kita pikir sambil jalan. Minta Galih rincian harganya, jadi kita bisa mulai benar-benar menghitung berapa banyak kita harus investasi disini."

"Siap, Boss!" Jawab Aryo mantap.

Ponsel di saku bergetar lagi, tadi sempat berbunyi tanda pesan masuk. Karena masih ditengah-tengah urusan pekerjaan, jadi kubiarkan saja bergetar.

Rani
Hai, Mas. Maaf baru balas.
Beberapa hari ini lagi sibuk sama pekerjaan.

Kalau Aryo melihatku tersenyum hanya karena pesan, dia pasti mengejekku habis-habisan.

Alhamdulillah masih dibalas.
Apa kabar?

Rani
Baik Mas.
Kenapa punya pikiran kalau aku nggak bakalan balas pesan Mas?

Karena terakhir kita ketemu, kamu langsung kasih warning gitu.

Rani
Hehehehe

Lunch?

Rani
Lhooo ... kemarin kan sudah sepakat kalau urusan makan siang diserahkan pada semesta.

Oke oke
I

see you when i see you

'Semoga tidak butuh waktu lama' batinku

Rani
See you, Mas

"Hayo! Pacaran ya!" Hantaman Aryo yang kurasakan di lengan kanan, membuatku ingin membunuhnya. Pasalnya, aku kaget karena Aryo pasti sudah melihat aku tersenyum-senyum sendiri.

"Calon kakak ipar, ya?" Tanyanya lagi.

"Jangan jadi seperti emak-emak yang keponya berlebihan."

"Mas, kamu nggak ada jadwal kencan lagi ya. Grup sepi nih?" Selama beberapa minggu ini, Tara memang nggak mengatur kencan buta lagi karena aku memintanya untuk berhenti dulu. Lagian dia sudah setuju untuk sign out saja.

Ketidakinginan untuk melakukan kencan random ini meski pada awalnya sedikit sulit untuk Tara terima, tetapi akhirnya dia mengerti. Bapaknya bukan tidak ingin mencari pendamping lagi, tetapi lebih ke menyerahkan semua pada Sang Pemilik Segalanya.

"Nanti Allah yang pilihkan untuk Bapak. Bapak tidak lagi menutup hati. Bapak membuka selebar-lebarnya, karena Bapak yakin Allah-lah yang paling tahu kapan waktu yang tepat untuk bertemu jodoh kembali dan hanya Allah yang tahu siapa jodoh Bapak nantinya."

"Tapi Bapak akan sendirian, entah sampai kapan." Katanya sedih.

"Bapak nggak pernah sendirian. Bapak punya Allah dan kamu, meski anak Bapak ini jauh dan sudah mulai sibuk."

"Bapak dari beberapa yang pernah ketemu, emang nggak ada satupun yang buat Bapak klik?"

Aku menggeleng. Sedikit terdiam saat ingatanku menuju wanita berambut pendek itu.

"Oke. Tara sign out dari MR kalau begitu. Maaf ya, Pak. Kalau Tara buat Bapak keburu membuka hati."

"Tara sudah sign out dari aplikasi itu. Sebelum kamu mau ngomel." Aku menghentikan Aryo yang sudah siap membantah. "Aku bukan nggak mau membuka hati atau memulai kembali. Aku menyerahkan semua ke Allah. Karena aku percaya kapan dan siapa jodohku datang kembali, hanya Dia yang tahu."

"Kalau kamu udah sok bijak begini, gimana aku mau bantah. Mas."

"Yo wis menengo ae," jawabku.

"Bakso Trunojoyo, yuk."

"Kamu yang bayar. Sesekali anak muda bayarin orang tua."

"Yo wis ayo. Sebagai tanda hormatku padamu yang jauh lebih tua dariku." Meski kalimat itu terdengar kurang ajar, aku tetap tertawa mendengarnya.

Bapak Ara lagi sibuk jadinya agak telat update.

Baca berita banyak banget bencana, kasihan lihat korban banjir di jawa barat.
Stay safe everybody
Semoga bencana ini segera berlalu
Semoga semua dalam lindungan Allah SWT

Lots and lots of love
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top