Bab 1
Bab baru di kalender yang baru, happy reading.
Dinginnya AC menyambut badanku yang penuh peluh siang ini. Udara kota pahlawan siang ini benar-benar panas. Man pernah Surabaya tidak panas? Buatku meski terkadang terasa seperti tinggal di kerak neraka (Naudzubillah), Surabaya akan tetap membuatku betah. Panasnya, lalu lintasnya, taman kota bahkan kemacetannya yang nggak seperti Jakarta selalu membuatku nyaman.
Cafe yang terletak di jalan sulawesi ini terlalu sering jadi tempatku menghabiskan waktu kosong. Beberapa pegawai saja sampai hafal dengan pesananku. Seperti siang ini.
"Siang Pak Ara, yang biasa?" Tanpa perlu menyebutkan, mereka sudah hafal.
"Terima kasih," ucapku sambil mengulurkan dua lembar uang seratus ribu.
"Terima kasih, Pak. Nanti saya antar ke tempat duduk Bapak," Katanya sambil mengulurkan struk pembelian dan uang kembaliankku.
Setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, aku melangkah mencari tempat untuk duduk. Kulihat sudut yang selalu menjadi tempat favoritku sudah terisi seorang pemuda dengan kacamata bertengger di hidungnya. Aku memutuskan untuk menempati kursi di dekatnya. Tak lama kemudian, minuman dan kudapan yang kupesan sudah tertata rapi diatas meja.
RAB dan beberapa perubahan desain sudah yang kukerjakan selama seminggu ini menjadi teman ngopi siang ini. Lamat-lamat terdengar lagu lawas Vina Panduwinata yang berjudul Cinta mengisi ruang dengar cafe ini. Entah mereka sengaja atau nggak, terkadang disaat cafe sedikit sepi mereka memutar lagu-lagu lawas seperti ini. Bukan lagu baru yang nggak kukenal.
Sejak kubertemu
Kutelah jatuh hati padanya
Kudengar dia menyebutkan nama dirinya
"Maaf terlambat, Mas Adhi ya? Saya Arunika Pramesti Maharani, panggil aja Nika." Kudengar suara itu dari arah belakang.
Ini aneh. Pernah kau merasa kenal dengan aroma, suasana atau bahkan suara? Membawa perasaan akrab atau sesuatu yang pernah kita rasakan. Suara itu. Suara itu akrab di telingaku. Membawa perasaan nyaman. Feels like home.
Aku terdiam mendengar dan menikmati suara itu, bahkan aku menajamkan telinga ingin menangkap sebanyak mungkin suara wanita itu. Suaranya lembut, ada penekanan di saat-saat tertentu tapi nggak ada kesan sombong. Bukan mendayu-dayu tapi bisa membuatmu terhanyut.
RAB dan desain yang terbuka di tablet diatas meja pun terlupakan, entah kenapa menguping pembicaraan orang di belakangku lebih menarik ketimbang pekerjaan yang harus selesai besok pagi.
"Kenapa Surabaya, Mbak?" Terdengar suara lelaki yang sepertinya mewawancara wanita itu. Orang pentingkah dia? Aku nggak bisa melihat dia, karena posisi punggung wanita itu tepat di belakang punggungku saat ini.
"Kenapa Surabaya?" Ada jeda beberapa menit, sepertinya dia menyusun kalimatnya.
"Kenapa nggak? Buat saya Surabaya nggak kalah dengan Jakarta ataupun kota-kota besar lainnya. Iya memang, semuanya terpusat di Jakarta. Tetapi buat saya pribadi Surabaya juga menyimpan potensi pembaca terbesar. Bagi mereka yang suka jajan buku nggak penting buku itu cetak di Surabaya ataupun Jakarta, kan? Yang penting isinya. Betul?"
Tanpa sadar aku pun mengangguk-anggukkan kepala, seolah setuju dengan pernyataannya.
"Mas nya tahu nggak? Sebagian besar penulis yang sudah terbit bukunya baik di penerbit mayor ataupun indie itu bahkan nggak tinggal di Jakarta. Teknologi memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan siapapun dan dari manapun. Jadi, kalau menjawab pertanyaan Mas. Kenapa Surabaya. Saya jawab ... kenapa nggak Surabaya!"
Jawaban yang bagus. Kenapa nggak. Apapun yang mereka bicarakan, aku setuju.
"Mbak Nika sudah pernah bertemu dengan mereka. Maksud saya penulis-penulis yang mbak handle itu." Sepertinya wanita bernama Nika itu bergerak di dunia literasi. Penulis, Editor atau mungkin Penerbit? Aku mencoba berspekulasi tentang wanita bersuara lembut yang semakin membuatku terpesona.
Terpesona karena suara, inget umur Ra.
"Belum semuanya. Mas tahu kan kalau di Bookish ada 3 orang. Saya, Chandra di Semarang dan juga Tya di Jakarta. Jika saya nggak bisa menemui penulis yang bekerja sama dengan kami, salah satu dari merekalah yang menemui penulis itu.
Kami harus bertemu dengan mereka yang sudah mempercayakan anak-anak mereka. Buat mereka, melepas naskah pada penerbit sama dengan melepas anak untuk pertama kalinya. Kita gak akan tahu apa yang terjadi diluar pintu rumah kita kan. Jadi kami bertiga berusaha untuk menjaga kepercayaan mereka dimulai dengan bertema mereka langsung bukan hanya lewat video call."
Menarik. Aku semakin tertarik mendengar penjelasannya. Mencari Bookish di laman pencarian dan menemukan kalau itu website toko buku online. Aku nggak pernah tahu tentang dunia literasi, tapi dilihat dari website mereka sepertinya dikelola secara profesional.
Tara. Kamu tahu bookish, nggak?
Mengetikkan pesan ke Tara setelah memastikan dia nggak di dalam kelas.
Paramitha Rahayu
Bapak keren ih. Kok tahu Bookish? Aku kan biasa beli buku disitu, Pak
Aku nggak pernah tahu Tara sering beli buku dimana. Salah satu kamar di lantai 2 memang sengaja dijadikan perpustakaan. Salah satu dinding yang menghadap halaman belakang terdapat window seats tempat favorit Tara. Selain itu, semua dindingnya ditutup dengan rak buku yang hampir terisi dengan penuh.
Tara terobsesi dengan membaca dan kerapian, beda denganku. Dia mendapatkan itu dari Ibunya. Rak buku yang ditata berdasarkan warna covernya. Meski terkadang menyusahkan mencari karena buku lanjutan karena berbeda warna, tapi perpustakaan itu memang terlihat lebih rapi.
Paramitha Rahayu
Bapak ngapain tanya Bookish?
Kayaknya Bapak duduk di belakang owner Bookish, dia lagi di wawancara gitu.
Paramitha Rahayu
Keren lho mereka, Pak. Aku pernah lihat live Instagram mereka. Seandainya aku ada disitu, udah aku mintain foto. Bapak tahu siapa yang diwawancara. Namanya siapa?
Nika atau siapa gitu? Posisi Bapak ada di belakang wanita itu, jadi bisa dengar mereka bicara.
Paramitha Rahayu
Paaak ...
Kalau sudah begini, anak perempuanku ini pasti ada maunya.
Sebelum kamu ngerayu Bapak, jawabannya ada NO!
Paramitha Rahayu
Bapak nggak sayang ama Tara lagi!
My drama queen yang selalu berhasil membuatku tersenyum. Aku rindu padanya.
Udah gede. Cara licik itu tidak akan berhasil. Got to go, Bapak masih harus balik kantor
Paramitha Rahayu
Ayolah, Paaak. Foto dari jauh aja deh.
Kuputuskan untuk membalasnya sekali lagi sebelum keluar meninggalkan cafe untuk kembali ke kantor.
Orangnya cantik
Paramitha Rahayu
Ecieee, Bapak bilang cantik, suka ya!? :)
Kalau Bapak bilang suka juga nggak apa-apa. It's time, Pak.
Bapak nggak yakin akan datang waktunya
Paramitha Rahayu
Jangan ndisiki kersone Gusti Allah, Pak!
Kamu ketularan Eyang, Nduk
Baru beberapa bulan dia tinggal sama Eyangnya, sudah membuatnya mulai berbahasa jawa.
"Mbk Nika kenal sama mereka berdua mulai kapan? Kalau dari cerita Mbak, sepertinya hubungan Mbak dan mereka berdua sudah seperti saudara."
"Saya bertemu dengan mereka berdua kira-kira 5 tahun yang lalu. Pada awalnya kami jadi satu di wag marketer buku salah satu penulis. Ingat kan beberapa tahun lalu banyak penulis memulainya di platform orange itu. Mereka mulai mudah menerbitkan bukunya.
"Kita semua tahu, untuk menembus penerbit besar seperti TapakMedia butuh kesabaran. Entah berapa kali penulis-penulis itu ditolak karena mungkin temanya kurang bagus, atau kepenulisan masih kacau. Disitulah mulai bermunculan penerbit-penerbit yang menawarkan cetak buku yang dijual secara online.
"Mbak jadi marketer?"
Danar is calling ....
"Hallo, Dan."
" Gimana proyek pacet? Aku email aja ya Mas."
"Oke, email aja detail semuanya. Buat janji sama Rara di kantor. Nanti dimarahi Rara kalau bikin janji nggak lewat dia. Kamu kan tahu galaknya sekretarisku itu."
"Siap, Boss!"
"Oke, thank you ya."
Sepertinya kegiatan menguping ini harus aku akhiri. Sudah terlalu lama berdiam disini, aku harus kembali ke kantor.
"Ra, kamu mau titip apa?" Aku tahu sekertarisku itu paling tergila-gila dengan salah satu menu di cafe ini. Setelah mendengar jawaban Rara, tanpa mengucap salam aku menutup dan berdiri untuk membeli pesanan Rara.
Kebiasaan membuang sampah sebelum meninggalkan cafe membuatku entah harus malu atau bahkan bersyukur. Saat ini tangan kiri memegang beberapa berkas juga tablet, sedangkan sampah gelasku ada di tangan kanan. Salahku. Tanpa melihat sekeliling, aku berdiri dan bersiap melangkah saat badanku ditabrak dari arah belakang.
Gelas yang masih terdapat sisa minuman itu mengotori lantai dan juga kemeja putihku.
"Ya Allah ... Ya Allah ... maaf maaf. Saya benar-benar nggak sengaja. Maaf ya Mas." Mendengar permintaan maaf itu membuat marah yang sudah di ujung lidah menguap entah kemana.
"Mbaknya nggak apa-apa?" Mungkin dia tidak sadar apa yang sudah dikerjakan. Setelah dia meminta maaf tadi, dia mengusap-usap kemeja bagian dadaku yang terkena tumpahan minum tadi.
"Eh. Saya nggak apa-apa, Mas." Suaranya memang benar-benar terdengar lembut sekali. Dia menarik tangannya dari dadaku. Kalau seandainya Tara melihat kejadian pasti langsung teriak, seperti drama-drama Korea yang biasa dia lihat.
Badan yang hanya setinggi dadaku membuatnya harus mendongak saat menjawab pertanyaanku.
"Maaf ya, Mas. Saya benar-benar nggak sengaja."
"Nggak masalah. Nggak ada korban tabrakan disini," Kataku mencoba melucu, yang bisa dipastikan garing kata Tara.
"Kecuali kemeja, Mas. Ijinkan saya untuk mengganti kemeja atau biaya laundry, ya."
"Terima kasih tawarannya, sayangnya saya harus segera kembali ke kantor. Masalah kemeja, jangan dipikirkan. Nggak masalah."
"Bisa saya minta kartu nama Mas. Saya benar-benar merasa nggak enak. Apalagi kemeja mas terlihat menyedihkan dengan noda sebesar itu."
Kalau dilihat memang menyedihkan, noda coklat kehitaman mulai dari sekitar dada sampai ke arah perut.
Meski aku dengan senang hati menghabiskan waktu mendengarnya berbicara, aku harus kembali ke kantor. Apalagi dengan kondisi berantakan seperti ini.
"Gini aja, Mbak. Saya kasih kartu nama. Meski sebenarnya saya nggak ada masalah kemeja bernoda ini. Saya memberi kartu nama semata-mata karena ingin memberinya. Deal!?" Aku melihat keraguan di matanya tapi memutuskan untuk nggak memikirkannya, karena aku harus segera kembali ke kantor.
"Baswara Gunawan, senang berkenalan dengan Mas. Mohon maaf sebesar-besarnya." Aku sambut uluran tangannya dan mendengarnya berkata, "Arunika Pramesti Maharani."
"Salam kenal Mbak Rani. Mohon maaf saya benar-benar harus pergi. Call me. If want to."
Dengan senyum dibibir aku meninggalkan cafe menuju kantor. Bahkan chat Rara mengingatkan pesanannya yang aku lupa pun tak bisa menghilangkan senyum di bibir. Sampai aku sadar kalau lupa meminta kartu nama wanita itu. Senyumku otomatis menghilang.
Ara bodoh!
Bonus gombalan Bapak Ara
Bab 1 DONE
Thank you yang sudah baca.
Vote, comment dan kritik akan diterima dengan senang hati.
Tbc
Shofie
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top