Bab 9

Kaki kurus William menapak cepat di atas tangga. Lima anak tangga di bawah, aku mengikuti sambil terengah, nyaris terpeleset karena keramik yang kecil dan licin. Mulanya aku masih bisa melihat punggungnya, kemudian hanya tumit, dan sekarang tinggal suara langkah sepatunya yang tergesa. Aku mencengkram pegangan besi yang berkarat, bertanya kapan kami akan segera sampai karena rasanya undakan ini tidak berujung. Beberapa kali cowok itu harus berbalik dan menarikku agar lebih cepat.

Kami disambut kekosongan langit malam yang janggal seakan angkasa telah memiliki batas. Seolah jika kau bisa melayang dan mengangkat tanganmu cukup tinggi, kau akan menyentuh atap lain yang tak terlihat, dan sebenarnya kau sedang terperangkap di dalam sebuah kardus yang tertutup. Beberapa lampu menyala di pinggir atap, memancarkan cahaya oranye yang membuatku tidak nyaman. Tidak ada bangunan lain di sekitar. Bahkan tiang listrik, burung menyasar, atau segala tanda-tanda kehidupan lainnya.

Di dunia ini hanya ada warna hitam, lantai atap, dan sinar oranye yang hampa.

Serta sosok manusia besar dengan mata sekelam monster yang berdiri di depan kami. 

Segalanya terjadi begitu cepat ketika Jackson menyerbu bagai banteng marah, dan detik kemudian William sudah terlempar di bawahnya.

“Hentikan!” teriakku, anehnya tidak terdengar apa pun. Aku membuka mulut lebih lebar lagi, tapi tetap tidak ada suara yang keluar. Harus meminta pertolongan. Mengerahkan sekuat tenaga, aku menggerakkan kakiku yang terasa seperti batu, dan tiba-tiba saja tepi atap sudah di depan kaiku. Aku berteriak ke dasar bangunan yang sepi tanpa ada yang merespon. Ke mana semua orang? 

“Hentikan!” jeritku lagi saat menoleh pada William yang tidak bergerak lagi dibawah tinju tanpa henti Jackson. Tapi, rasanya seakan ada lubang hitam tak kasat mata di sekelilingku, yang menyerap setiap bunyi yang lolos dari tenggorokan. Aku memejam, tidak berani melihat lebih jauh kondisi William.

Saat kubuka mataku, Rylan berdiri di depan. 

Tidak mungkin. Aku berkedip lagi. Rupanya itu Jackson. Setelah kedipan kedua, Jackson digantikan oleh makhluk paling mengerikan yang pernah kulihat. Sosok itu berwarna hitam, dengan kulit terkelupas memperlihatkan daging yang membusuk. Tidak ada rambut, telinga, hidung, dan mulut, hanya kedua bola mata merah yang menatap kosong. Tubuhnya tumbang dan menimpaku, spontan mengundang jeritan panjang yang rasanya merobek leherku. Aku merasakan udara panas yang berasal darinya ketika kami terjatuh dari atap bangunan dan melayang …. 

Begitulah caraku terbangun disertai sentakan kaget di ujung kaki.

Aku mengerjap panik saat menemukan ruangan kamar yang gelap. Terakhir kali aku berada dalam situasi seperti ini, ada makhluk hitam yang muncul tiba-tiba. Tapi, tunggu, saat itu aku hanya bermimpi, dan sekarang aku seratus persen yakin sedang berada dalam keadaan terjaga. Tidak akan ada sosok hitam apa pun ….

Baiklah, salah satu kemungkinan paling masuk akal adalah aku terbangun dalam kondisi buta akibat terlalu sering terpapar sinar UV. Pilihan yang lebih optimis adalah mati lampu. Aku menghitung napasku sendiri, kehilangan arah setiap mencapai napas kelima, lalu berulang kali mengucapkan doa Salam Maria yang tiba-tiba kulupakan setengahnya. Setiap detik yang berjalan memperkuat rasa benciku terhadap kegelapan.

Cahaya samar bulan dari luar jendela di samping tempat tidur yang menyusup masuk melalui celah gorden tidak banyak membantu, tapi setidaknya hal itu langsung membuatku tersadar ... kalau mataku masih normal, dan lagi-lagi udara dingin yang menerpa lengan terbukaku menunjukkan kalau sekarang juga tidak sedang mati lampu. 

Oke, pasti lampunya rusak lagi karena tidak kuat menerima arus listrik yang besar, disebabkan oleh energi listrik yang berasal dari petir menyambar salah satu sumber penghantar listrik dan merambat ke kabel lampu kamarku yang baru dibeli. 

Yeah, aku mengarang teori itu.

Punggungku menegak waspada ketika mendengar bunyi kardus yang berisi sisa bonekaku menggesek lantai. Aku berusaha mengatur napas yang mulai tidak beraturan, memejamkan mataku sesaat—lalu segera membukanya setelah menyadari kalau tindakan tersebut sama sekali tidak menghasilkan perbedaan—kemudian merangkak dengan pelan di atas tempat tidurku. 

Berusaha tidak menginjak lantai (suara gesekan kardus membuatku skeptis dengan keamanan lantai kamar), aku mengulurkan tangan dari ujung tempat tidur ke meja belajar, meraih benda persegi yang selalu menjadi solusi nomor satu dalam keadaan darurat: ponsel. Hal pertama yang kulakukan adalah melirik angka penunjuk waktu, walaupun—entah bagaimana caranya—sudah bisa ditebak.

03.01 A.M.

Aku menyandarkan tubuh ke dinding yang bersentuhan langsung dengan salah satu pinggir tempat tidur, berusaha menenangkan jantungku yang berdetak dua kali lebih cepat dari bunyi jarum detik jam dinding. Sialan, aku tidak bakal bisa tidur lagi dalam keadaan seperti ini. Tidak setelah mimpi buruk itu.

Oke, mungkin aku harus menyibakkan gorden agar cahaya di luar bisa menerangi kamarku sedikit, walau samar. Tapi, ketika tanganku sudah menyentuh ujung kain gorden, tiba-tiba bayangan sosok gelap dengan mata merah di luar jendela terlintas di kepala.

Mengurungkan niat, aku kembali menegakkan punggung dan mendesah.

Baterai ponselku kurang dari sepertiga. Menyalakan senter ponsel terus menerus akan menguras dayanya. Aku bahkan tidak sanggup bergerak turun dari tempat tidur untuk mencari colokan listrik. 

Setelah terduduk selama setengah jam dan—herannya—berhasil lolos dari kematian akibat serangan jantung, aku membuka aplikasi sosial media, berpikir untuk menghubungi makhluk hidup mana pun yang bisa kuajak bicara. William—oh sial, dia belum mengunduh WhatsApp, dan lagi pula ponselnya tidak pernah aktif setelah pukul 10 malam. Dave—tidak mungkin, dia hanya akan mencoba semakin menakutiku. Lily—walaupun sedang gempa bumi pun dia tidak akan membalas pesanku di jam tiga pagi. Papa—sudahlah, kalau aku benar-benar meneleponnya sekarang, aku akan mendapat ceramah bahasa Cina sebagai sarapan nanti.

Aku menutup ponselku dengan erangan frustrasi ketika kotak kecil di sudut layar menunjukkan kalau baterai ponsel tersisa kurang dari dua puluh persen. Suara jam dinding terdengar paling keras dan jelas, tapi kini ada getaran lain yang muncul di sela-sela detiknya. Bunyi itu berupa ketukan, dan arahnya dari samping tempat tidurku.

Suara tuts keyboard yang ditekan tanpa dinyalakan. Mula-mula pelan, dan sekarang terdengar semakin cepat dan keras, seolah ada yang memainkan keyboard tanpa nada ....

Mati aku.

Satu-satunya sumber cahaya yang tersisa hanyalah lampu belajar di atas meja. Mungkin aku bisa meraih benda yang terletak di ujung meja itu jika meregangkan tangan agak panjang. Aku sudah mencondongkan tubuh yang sudah basah oleh keringat dingin, meraba-raba permukaan meja yang dipenuhi buku-buku dan pena yang berantakan, sampai telapak tanganku menyentuh sakelar kecil di atas dudukan bulat, dan—

Bagaimana jika ada sosok yang terlihat di sudut kamar ketika aku menyalakan lampu?

Tapi, bagaimana jika aku tidak menyalakan lampu dan malah tak sadar ada sosok yang mendeÀkatiku dalam kegelapan?

Nyalakan, tidak, nyalakan, tidak.

Gelombang rasa dingin menyerang hingga ke puncak kepalaku.

Mungkin aku harus menelepon polisi segera, sebelum ponselku benar-benar mati ....

Persetan. Aku sudah menekan sakelar, hingga cahaya kecil dari cerobong hitam itu mulai menerangi setidaknya sebagian kamarku dengan luminositas setara lampu tidur.

Tidak ada sosok apa pun di kamarku. Hanya ada rak buku penuh novel yang terpasang di atas meja belajar, jam dinding bergambar kartun kodok yang tersenyum lebar berdetak di atas lemari, dan kardus-kardus di sekitar keyboard—aku tidak ingat apakah kardus-kardus itu masih terletak di posisi semula, dan tidak ingin mencari tahu.

Tidak ada tikus, atau makhluk apa pun yang berpotensi menghasilkan kebisingan kecil tadi—lagi pula, jika dipikir-pikir, tidak mungkin ada tikus yang bisa menimbulkan suara seteratur itu. Suara ketukan tuts keyboard tadi sudah berhenti, seolah makhluk itu tidak ingin aku memergokinya. Suasana kamar tampak begitu normal, seakan semua kecemasan dan ketakutanku tadi sama sekali tak beralasan.

Semuanya baik-baik saja.

Kecuali jika sebuah novel yang tiba-tiba terletak di atas meja belajar bisa dibilang baik-baik saja, karena aku ingat sudah meletakkan novel Harry Potter and the Half-Blood Prince di tempatnya sebelum tidur. Aku menjerit ketika mengangkat buku itu.

Novel kesayanganku terbelah menjadi dua bagian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top