Bab 7
"Apa maksudmu, acara makan bersama?" Aku mendongakkan kepala dari buku cetak biologi yang separuh distabilo pada Lily yang bergelantungan di gagang pintu kamarku.
"Makan malam perdana keluarga setelah pernikahan Grandpѐre," kata Lily. Lalu ia menyeringai. "Ya, aku sudah mencari arti kata itu di kamus."
"Boleh pass tidak? Besok ada ulangan sel dan jaringan dan yeah, ini penting sekali." Sebenarnya ulangan biologi masih dua hari lagi, tapi aku hanya beralasan lantaran tidak ingin mengambil risiko bertemu dengan Rylan nanti.
"Grandmѐre akan kecewa," kata Lily. "Jangan salahkan aku kalau nanti wajahmu diedit lagi ke dalam foto keluarga." Ia tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya.
"Oh, itu idemu, ya?" Aku memelototi Lily sambil mengarahkan ujung stabilo kuning ke arahnya dengan mengancam.
"Apanya! Aku hanya anak kelas tujuh yang polos dan tak tahu apa-apa!" seru Lily membela diri, lalu melompat ketika sesosok makhluk menerjang masuk melalui bawah ketiaknya. Makhluk kecil itu menjatuhkan diri di atas tempat tidur dan memeluk bantal gulingku.
"Hei, hei, keluar, keluar!" perintahku, mendorong Rose turun dari kasur.
"Aku mau tidur di sini nanti!" katanya sambil berguling untuk menghindariku. "Boleh, ya, boleh, ya?" Ia berdiri di atas kasur dan melompat senang.
"Ih, kamar jorok begini," cela Lily, tapi malah ikut bergabung bersama Rose. Dia berlebihan. Sebagian besar barangku sudah kutata di lemari dan rak. Hanya ada sebuah keyboard yang tergeletak di lantai karena mejanya patah dan sekardus kumpulan boneka dan patung kecil yang kurencanakan taruh di sudut setelah membeli rak pajangan.
"Hei!" teriakku lagi. "Aku benci ini! Seharusnya ini kamar pribadiku dan bebas dari gangguan kalian. Keluar sana!"
Rose menurut dan melompat ke lantai, hanya untuk mengambil boneka kuda berwarna merah muda di kardusku. "My Little Pony!" serunya. "Mau!"
"Kamar ini bahkan tidak menerimamu. Hari pertama saja lampunya sudah pecah," ejek Lily, berguling di tempat tidurku.
"Keluar!" Kutarik Lily-"Dasar Squidward!" decaknya-dan Rose, praktis menyeret mereka keluar dari pintu kamar, lalu mencabut boneka dari pelukan adikku yang paling kecil itu.
Kemudian melihat Papa berdiri tidak jauh di sana, menatap kami sambil berkacak pinggang.
"Ganti baju dalam lima menit!" perintahnya dengan nada tak terbantahkan.
***
Aku tidak bisa menolak lagi ketika Papa mulai menyuruh kami bersiap-siap, lalu memberi ceramah dengan bahasa yang hanya kupahami separuh selama perjalanan. Pokoknya yang bisa kutangkap kira-kira hanya 'kau-memang-punya-kamar-pribadi-tapi-kau-tidak-boleh-memperlakukan-adikmu-seperti-itu', tapi dijabarkan dalam setengah jam.
Kudalih dengan mengatakan kalau aku tidak ingin mereka sakit akibat debu-debu di kamarku, tapi Lily langsung menyahut, "Sedang menipu siapa kau?" di kursi paling kanan dengan bahasa Mandarin sempurna yang membuat iri berhubung tidak ada satupun kalimat Mandarin yang bisa kuucapkan dengan lancar selain 'wo ai ni'-bukan berarti aku sering mengucapkannya.
Selain wajahku yang tidak mendukung, lidahku juga tidak mau diajak bekerja sama.
"Dan Papa tidak mau mendengar kau berbicara yang aneh tentang Rylan lagi, mengerti?" tambah Papa, masih menggunakan bahasanya.
"Je comprends, Papa." (Aku mengerti, Papa.)
"Dari mana kau belajar itu?" Mama menoleh padaku sambil tersenyum. Walaupun Mama setengah Prancis, ia tidak pernah mengajari kami bahasanya. Bahkan aku jarang mendengarnya menggunakan bahasa itu selain ketika Mama berbicara pada Grandpѐre-itu pun hanya pada waktu tertentu.
"Well, tidak ada salahnya mempelajari bahasa ibu."
"Tapi, kau tidak mau mempelajari bahasa ayah," tukas Papa sambil menggerutu.
Aku ingin bilang kalau ceramah-ceramah Papa yang menyebalkan membuatku kehilangan minat untuk mempelajarinya, tapi demi keselamatan diri, aku diam saja.
Untunglah akhirnya Mama membelaku. "Ayolah, kita sudah sepakat kalau bahasa universal kita adalah bahasa Indonesia."
"Dan bahasa Inggris," tuduh Papa. "Akhir-akhir ini kalian sering pakai bahasa Inggris."
"Kau sendiri bahkan menggunakan bahasa yang tidak kumengerti," bela Mama.
"Aku berusaha mengajarimu selama ini," bela Papa.
"Haruskah kalian bertengkar hanya karena masalah bahasa?" sela Lily, mencondongkan tubuhnya ke tengah kursi mereka. "Ini tidak keren. Bayangkan saja kalau besok ada berita, 'Sepasang Suami Istri Memutuskan Berpisah Karena Perbedaan Bahasa'."
"Choi! Mulut jelek!" Papa mendelik marah pada Lily melalui kaca mobil.
"Bercanda, Papa," kata Lily, menyandarkan tubuh sambil merapikan roknya yang agak mengembang. Kali ini, kami bertiga mengenakan gaun hitam bermodel kembar yang sebenarnya sengaja dipesankan Mama untuk pesta pernikahan Grandpère. Tapi, Papa dengan segala aturan konservatifnya mengatakan kalau warna hitam tidak bagus untuk pernikahan, jadi kami baru memakainya sekarang.
Aku lega karena Rose belum menonton Man in Black, jadi ia tidak akan mendapat inspirasi untuk menjuluki kami sebagai Agen D, Agen L, dan Agen R.
"Aku hanya sedang belajar menulis judul," sambung Lily, "Menjadi tim redaksi di sekolah benar-benar melelahkan." Ia mulai mengoceh layaknya pebisnis yang sedang menceritakan kesibukannya.
"Sejak kapan kau bisa menulis?" Aku mengangkat alisku pada Lily.
"Sejak pertama kali memegang pensil," jawab Lily dengan nada mencela seolah aku baru saja menanyakan hal bodoh.
"Aku suka menulis puisi!" Tiba-tiba Rose berseru.
"Siapa?"
"Aku!" teriak Rose semangat. "Aku dapat-"
"Yang tanya," potong Lily, membuat Rose menyandarkan tubuhnya dengan cemberut.
"Lelucon murahan," komentarku.
Joanne dan Grandpère sudah menunggu di ruang makan VIP di sebuah restoran China, di mana terdapat meja lingkaran besar yang dikelilingi sepuluh kursi. Chan-chan, memakai baju bercorak daun hitam duduk di samping Joanne, menggonggong keras saat kami masuk beramai-ramai bersama Oncle dan Dave, mengakibatkan Rose bersembunyi di balik gaun Mama dan memilih kursi terjauh dari anjing itu.
"Aw, kompak sekali pakaian kalian," komentar Joanne pada aku, Lily, dan Rose ketika seorang pramusaji meletakkan masakan terakhir-semangkuk besar sup yang masih mengepul. Sekarang ia memakai qipao dengan desain agak modern sehingga bagian roknya jauh lebih mengembang, yang untungnya berwarna hitam dengan bunga-bunga keemasan sehingga tidak terlihat semenggelikan ketika ia duduk di ruang tamu kami kali pertama. Tapi, Joanne tidak melupakan tas kerang besarnya yang ia letakkan di atas paha. "Benar-benar menggemaskan."
Menggemaskan mungkin kata teratas yang terdapat di daftar hal-hal yang sering diucapkan pada Rose, tapi aku tidak yakin apakah kata itu cocok untuk cewek berusia enam belas sepertiku.
"Terima kasih, Grandmère!" kata Rose manja, seolah ingin membuktikan kalau ia memang makhluk menggemaskan yang paling sempurna. Lalu mengerucutkan bibir pada Chan-chan yang menyalak sekali padanya.
"Tidak apa-apa, Rose," kekeh Joanne sambil mengelus kepala peliharaannya, "Chan-chan bilang kau imut." Kalimat itu membuat wajah kecil Rose berubah cerah. Aku yakin sekarang Rose jadi kepingin pindah tempat duduk ke samping anjing itu.
"Jadi sekarang kalian Women in Black? Ada misi yang harus dituntaskan?" goda Rylan. Aku sudah berusaha menciptakan jarak terjauh di antara kami, tapi setelah duduk di salah satu kursi, tiba-tiba saja ia sudah berada di sebelahku.
"Apa itu?" tanya Rose penasaran.
"Begini." Rylan meletakkan sumpit yang baru saja ia lap, lalu menunjukku, kemudian adik-adikku. "Ini Agen D, lalu Agen L, dan Agen R. Kalian adalah agen rahasia yang akan menyelamatkan Bumi dari alien."
"Woah, keren!" Rose berseru senang, lalu perhatiannya segera teralih ketika Mama meletakkan potongan ikan di piringnya.
"Aku suka adikmu, dia lucu," kata Rylan ketika aku mendeliknya. Ia meletakkan sumpit dan sendok kuah di atas piring kosong di depanku, sampai akhirnya aku tersadar kalau ternyata sedari tadi Rylan sedang mengelap peralatan makanku.
"Apa? Kali ini menuduhku pedofil?" tanyanya pelan ketika menerima tatapanku.
"Gelar baru itu cocok untukmu," balasku ringan.
Di sampingnya, Chan-chan tiba-tiba mencakar rompi abu-abu satin Rylan dan berusaha menyusup ke dalam. Joanne memanggil Chihuahua-nya dengan lembut, menunjuk bebek peking yang khusus ia pesan untuknya, tapi Chan-chan terlalu sibuk mengendus kemeja hitam Rylan. Aku mencoba mengelus kepalanya, lalu menarik tangan dengan jengkel saat hewan mungil itu menggigit ujung jariku. Terkekeh, Rylan menggendong Chan-chan dan mengembalikannya ke pangkuan Joanne.
Rylan membuka plastik berisi tisu basah, lalu menyerahkan satu padaku. Gigitan Chan-chan tidak terlalu sakit, tapi tetap saja mengejutkan.
"Maaf, aku tidak makan ikan." Aku mengangkat tangan dengan refleks, menolak ketika Rylan menyumpit sepotong ikan kuah jahe ke mangkukku.
"Oh, Daisy, menu khususmu ada di sini." Joanne menunjuk beberapa lauk yang paling banyak berwarna hijau, lalu memutar meja. "Sebentar ... nah, ini dia," senyumnya ketika capcay, sapo tofu, dan sup jamur berhenti di depanku. "Anak ini, selalu mendapat paket makanan khusus."
"Terima kasih, Joanne," kataku tulus.
"Kau vegetarian?" tanya Rylan, terkejut.
Oh, jangan lagi.
"Daisy takut gemuk," celetuk Dave di seberang. Di sampingku, Lily tertawa menyetujui.
"Sejak dia membawa pulang koleksi video penyiksaan hewan dan otaknya dicuci," cerita Papa. Ialah yang paling menentang keputusanku setahun yang lalu, sampai aku harus melakukan pidato paling emosional yang pernah kulakukan sepanjang hidup tentang betapa vegetarian tidak hanya akan bermanfaat bagi kesehatan kita, tapi juga menyelamatkan lingkungan dan ini adalah bentuk kepedulianku pada semua hewan, apa pun jenisnya. "Aku tidak tahu lagi, deh, harus berbicara dengan bahasa apa. Bagaimana supaya Daisy mengerti kalau tidak ada nutrisi yang akan diserap tubuh jika hanya memakan sayur sepanjang hidupnya?"
Aku menghela napas, membenci topik ini.
"Tapi, itu baik sekali." Joanne berkomentar, "Aku punya teman yang merupakan anggota klub pecinta hewan yang bervegetarian dan mereka benar-benar luar biasa. Seorang dokter pernah menyarankanku untuk bervegetarian. Kurasa aku akan mulai mengikuti jejak Daisy," kekehnya.
"Tapi, Daisy masih muda," keluh Papa sambil menatapku kecewa. "Hais, terlalu muda, ya, nggak, Rylan?"
"Er ... menurutku itu bukan masalah. Banyak anak muda di luar sana yang vegan dan mereka sangat sehat," jawab Rylan kalem, seperti berusaha untuk tidak menyinggung Papa.
"Tapi, anak itu baru enam belas tahun!" Papa menggerutu. "Untuk apa ayam diciptakan kalau tidak dimakan."
Sudah berkali-kali Papa mengucapkan kalimat itu, dan tidak terhitung pula jawaban sama yang kulontarkan, yang entah bagaimana tidak bisa masuk ke pemikirannya. Jika itu orang lain, aku tidak akan mau repot-repot menghiraukannya. Karena ini Papa, rasanya aku ingin mengguncang-guncangkan bahunya dan berteriak, "Hei, sadarlah! Buka pikiran sempitmu!"
Tapi, hal itu akan membuatku berakhir berlutut di teras rumah semalaman. Jadi aku hanya membalas seperti biasa, "Dan kita bisa seenaknya menggorok leher ayam karena dia hanyalah ... seekor ayam? Bagaimana dengan anjing? Dia juga hewan." Seakan merasa dipanggil, Chan-chan mendongak padaku dari wonton yang disuapi Grandpère.
"Daisy," Mama menegur.
Papa mengangkat kedua tangan di depan wajahnya, dengan jari-jari saling bertemu dan telapak tangan menghadap bawah. Dia menaikkan sebelah tangan beberapa inci. "Pangkatnya lebih tinggi."
"Dude, have you heard that all lives matter?" Oncle terkekeh, tapi hanya untuk menggoda Papa. Ia tetap menusuk seekor udang dengan sumpit dan memasukkan ke mulut. "Aku juga kepingin vegetarian, kok, tapi tunggu usia 80," jelasnya buru-buru padaku.
"Tapi, siapa tahu Oncle mati saat umur 79, kita kan tidak tahu," cetus Lily, terlalu spontan, dan mengundang berbagai reaksi. Oncle menganga, Dave antara ingin tertawa atau prihatin untuk ayahnya, Papa dan Mama mendelik marah, dan Joanne tertawa gugup untuk mencairkan suasana.
"Lily!" tegur Mama. Papa ikut 'Hush-hush'. Anak itu menoleh padaku dan mengernyit, seakan bertanya, 'Memangnya aku salah?'
"Kalau mati, kan, tinggal bangun lagi," celetuk Rose, "kayak Tom&Jerry."
"Kalau sudah mati, ya, jadi hantu," kata Lily, yang membuat Rose menoleh Mama dengan tatapan horor seakan ingin meminta konfirmasi.
"Hantu itu tidak ada," tegasku.
"Sebenarnya," Rylan menimpali, "hantu itu ada."
Mama berdeham keras, menyelamatkan makan malam sebelum kami semua berakhir saling melempar dumpling. "Nah, jadi Grandpère punya kabar untuk kita semua."
"Soal berita pernikahan Grandpère di koran?" celetuk Dave sambil menyeringai padaku.
"Oh, itu idemu?" Tanpa sengaja aku menuding sumpit ke arahnya, lupa dengan segala etika meja makan. Lagipula tidak ada peraturan yang diikuti lagi sejak kami berdebat tanpa arah.
"Daisy," tegur Papa dengan nada panjang.
"Tidak, aku yang mengundang fotografer itu, Sayang. Aku baru tahu rupanya dia bekerja di Batam Pos saat itu, dan yeah, aku mengizinkannya untuk mempublikasikan berita kita," kata Joanne, melepas Chan-chan saat dia memutuskan pangkuan ternyaman adalah kaki Grandpère. Tidak ada gunanya menyediakan kursi khusus anjing.
Aku meletakkan sumpit. "Tapi, fotoku diedit!"
Rylan menyembunyikan tawanya dengan batuk kecil, lalu pura-pura minum, sementara Dave yang menyesap teh nyaris tersedak oleh tawa. Oncle Rey menyenggol lengan putranya sebagai teguran, tapi aku bisa melihat ia menyeka salah satu ujung matanya dengan sapu tangan sambil menahan guncangan di bahu. Baiklah, seluruh keluarga sedang menertawakanku sekarang.
"Ya, itu ideku juga," aku Joanne, terlihat salah tingkah. "Maaf, Daisy, kupikir kau akan kecewa kalau fotomu tidak ada di sana."
"Sudah, sudah, ini bukan masalah besar." Grandpère menenangkan. Ia kelihatan menyesal hadir dalam makan malam yang kacau ini. Dan semua ini dimulai dariku.
Nggak, deh, dari Rylan.
"Kau dengar, Daisy, jangan bertingkah kekanakan," tambah Mama ketika aku menggigit bibir cemberut.
"Hei, fotomu bagus, kok." Dave ikut menenangkan, tapi itu malah membuatku semakin dongkol karena ia masih tertawa.
"Sebenarnya begini, aku ingin membicarakan tempat penyewaan peralatan olahraga yang Joanne dan aku buka beberapa minggu lagi." Grandpère mengambil sotong dengan susah payah gara-gara kepala Chan-chan yang menghalangi. Joanne, kuperhatikan dengan kagum, menjepit daging itu dengan sumpit dan meletakkannya ke piring Grandpère tanpa kesulitan.
Grandpère dan Oncle adalah anggota yang tidak bisa memakai sumpit di meja ini. Aku heran bagaimana Dave bisa menggunakan alat makan itu dengan tepat, bahkan lebih lincah dariku, padahal ia tidak memiliki setitik pun darah Cina dalam tubuhnya.
Mendengar perkataan Grandpère, Papa langsung semangat dan meletakkan sumpit di meja. "Bagaimana, jadi di mana tempatnya?"
Sementara para orang tua mulai membahas bisnis Grandpère, Rylan merendahkan kepalanya dan berbisik padaku. "Daisy, apa hantu itu mengganggumu?"
"Kau tahu apa yang menggangguku? Kau." Aku sedikit terkejut dengan nada sinis sempurnaku yang menyerupai Lily. Kurasa ini bakat turunan.
"Maaf," gumamnya setelah mengambilkan bakso untuk Rose yang sedari tadi meminta. "Aku akan memberimu waktu untuk memahami. Cukup sulit bekerja sama denganmu jika kau menolak percaya."
"Kenapa aku harus bekerja sama denganmu?"
Sekarang giliran Dave yang menginterupsi dengan meminta Rylan mengambilkan merica. "Astaga, Dave, putar saja mejanya," komentarku, bosan mendengar panggilan 'Uncle Rylan' sepanjang makan malam.
"Apa, sih, yang kalian bicarakan sampai bisik-bisik misterius begitu?" tanya Dave penasaran.
"Kami berencana untuk mengedit fotomu ke dalam pernikahan ayahmu nanti," balasku, dan langsung merasa bersalah melihat bibirnya yang merapat kaku. Oncle, yang mendengarnya, menggoyangkan jari untuk menegurku dengan main-main. Istrinya sudah meninggal sejak melahirkan Dave, dan entah sudah berapa banyak wanita yang dibawa ke setiap acara keluarga, sampai Mama menceramahinya keras dan ia tidak berani mengundang pacarnya lagi.
Akhir-akhir ini, Dave sering mengeluh tentang pacar terbaru Oncle yang berusaha keras untuk akrab dengannya-saking banyaknya daftar nama yang kudengar, aku lupa kali ini entah Jessica atau Judith. Setiap kali Jessica-atau Judith-menginap di rumah mereka, Dave akan pulang ke rumahku dan memaksa bermain Uno, atau pergi bermain basket bersama teman-temannya sampai malam.
Berbincang pada Rylan membuat emosiku menjadi tidak stabil. Aku baru saja memikirkan cara untuk meminta maaf pada Dave ketika Rylan menuangkan teh tawar panas ke gelas keramik kecilku.
"Menjawab pertanyaanmu tadi," katanya, "kau akan segera tahu nanti."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top