Bab 6

"Itu benar-benar jahat." Vivian menyetujui saat mendengar ceritaku di perpustakaan. Kami duduk di deretan meja yang membentuk persegi besar dengan menyisakan ruang kosong di tengah-tengah di mana berisi sebuah meja lebar dengan beberapa kursi—yang selalu kosong, lantaran jarang ada yang mau duduk di sana dan menjadi pusat perhatian kecuali Jackson dan geng Rebecca yang populer.

Aku tidak tahu kenapa Vivian harus bertanya lagi padaku soal kehebohan yang terjadi sepanjang pagi tadi, karena semua orang bisa membaca beritanya di depan kelas. Tapi, karena menghargai usahanya untuk berada di pihakku, tanpa sadar aku menceritakan lebih banyak lagi tentang kekejaman Jackson. Seperti misalnya ia sengaja menyenggolku hingga aku jatuh ke kolam kecil di hutan saat studi lapangan kelas sepuluh (baiklah, keseimbanganku memang kurang stabil saat itu, tapi bagaimana bisa dia tertawa terbahak-bahak dan merekam saat aku hampir tenggelam, kemudian membagikannya ke satu angkatan?) dan ketika ia menyembunyikan bekalku dan meletakkan di atas mejaku keesokan harinya dalam keadaan basi (aku tidak punya bukti dia melakukan ini, tapi seseorang mengaku melihat Jackson mengambilnya), lalu aku pernah menemukan buku tulisku yang hilang di salah satu laci yang waktu kubuka ternyata berisi penuh tulisan 'Anak Buangan', serta masih banyak lagi.

"Kenapa, sih, Jackson bisa begitu membencimu?" tanyanya lagi dalam bisikan.

"Aku tidak mengerti," jawabku. Oke, dulu semuanya memang baik-baik saja, sampai suatu hari ketika ia memergokiku sedang membuka buku biologi kelas sembilan dulu, dan menanyakan apa yang sedang kulakukan. Aku bilang hanya melihat-lihat. Dia curiga apakah aku diam-diam mendapat bocoran kalau ada ulangan mendadak dan tidak ingin berbagi informasi, lalu segera kubantah karena alasanku membuka buku cetak itu hanya karena tertarik dengan foto-foto berwarna di dalamnya yang beresolusi tinggi. Sialnya aku, rupanya hari itu memang ada ulangan dadakan biologi. Seolah aku tidak bisa lebih sial lagi, saat ia memohon jawaban, aku tidak memberinya karena terlalu takut, sehingga ia mendapat nilai yang begitu parah sementara secara kebetulan nilaiku hampir sempurna. Rasanya seolah seluruh dunia berkonspirasi agar Jackson bisa membenciku, hingga saat ini.

"Aku tidak mengerti," ulangku lagi. Hanya William yang tahu soal ini, dan aku tidak siap memberitahukan pada Vivian. Terlalu konyol.

Vivian mengangguk, terlihat tidak ingin membahas lebih lanjut. "Nenek tirimu orang Inggris ya?"

"Setengah," jawabku, tidak terlalu senang dengan perubahan topik ini.

"Yang berdiri di sampingmu di foto itu cucunya?"

Menghela napas malas, aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini. Sudah dua cewek yang menanyakan hal itu dan berujung pada apakah aku mengetahui akun Facebook Rylan.

"Bodyguard," jawabku asal.

"Keren sekali. Siapa namanya?" Mata Vivian berbinar, membuatku sadar kalau ia hanya berusaha basa-basi tadi agar bisa mengorek informasi yang sebenarnya ia butuhkan. Seharusnya kujawab pembunuh bayaran saja tadi.

"Tidak tahu. Tanya saja sendiri," kataku datar, membuka buku bahasa Indonesia untuk mulai mengerjakan tugas, sebelum tersadar kalau aku lupa tugas apa yang diberikan Bu Ria tadi. Vivian yang tidak begitu terima dengan ketidakramahanku mendecih dan beranjak pergi.

"Analisis intrinsik dan ekstrinsik sastra lama. Ini," ujar William dengan suara rendah sambil memberikan sebuah buku kumpulan hikayat yang diterbitkan jauh sebelum aku lahir ketika aku melirik pekerjaannya. "Aku heran kenapa kau selalu marah setiap mereka menanyakan sosok misterius di fotomu."

"Topik soal Rylan selalu menggangguku," ucapku sambil menelusuri buku catatan, disusul uapan lebar. Keputusan Bu Ria membawa kami ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas adalah kesalahan besar. Ruangan ini memiliki AC paling dingin di sekolah, yang kucurigai sebagai siasat mereka agar murid-murid lebih suka mengunjungi perpustakaan ketimbang kantin.

"Tapi, topik Jackson tidak," tukasnya. Ia menaikkan pinggiran kacamata dengan telunjuk. "Kau semangat sekali menceritakan soal Jackson."

"Tidak ada hal yang lebih menyenangkan selain mengutarakan kebenaran," kataku sok. William mendengus. "Kau sendiri tidak pernah menceritakan apa-apa tentangmu dan Jackson. Apa yang terjadi di antara kalian berdua?"

William berhenti menulis dan menatapku sejenak sebelum kembali memelototi ujung pena di tangan seolah benda itu menyimpan rahasia terbesar hidupnya. "Entahlah. Alasan yang sama sepertimu, aku tidak mengerti."

"Ayolah, kau tahu kalau itu bukan alasan yang sebenarnya. Aku menceritakan semuanya hanya padamu, loh, tapi aku bahkan tidak tahu apa-apa soalmu. Ini tidak adil," desakku agak keras hingga Bu Ria mendesis menyuruh diam.

"Hmm." William tampak berpikir sejenak. "Apa yang terjadi di antara kau dan Rylan, kalau begitu?"

"Tidak, itu hanya Rylan. Bukan aku. Dan jangan mengalihkan topik."

Sesuatu mengenai dahiku dengan keras. Mengernyit kebingungan, aku mengambil gumpalan kertas besar yang terjatuh di mejaku, kemudian meratakannya. Seharusnya aku sudah bisa menduga ketika mendapati gambar Red Queen super jelek dengan tulisan 'Anak Buangan' di dahi lebarnya. Aku melirik si pelaku yang menyeringai jahat sambil mengucapkan kata ejekannya tanpa suara.

"Sialan, rasanya ingin menjejalkan gambar jelek ini ke lubang hidungnya yang besar," geramku.

"Biarkan sajalah," kata William menenangkan, diikuti lemparan bola kertas berikutnya yang memantul di pelipisnya. Ia membuka kertas itu, terlalu cepat sampai ia meremasnya kembali dan membuang ke tempat sampah terdekat, sehingga aku tidak sempat melihat apa pun. William terlihat pasrah.

"Apa itu?" tanyaku penasaran.

"Sama tidak pentingnya dengan punyamu."

"Punyaku penting, jadi punyamu juga penting," desakku.

Selama sesaat William tampak seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi suara ketukan pintu perpustakaan mengurungkan niatnya. Semua murid ikut terdiam, terutama cewek-cewek, penasaran dengan sumber bunyi tersebut seakan mengharapkan hal menghebohkan yang muncul, seperti kunjungan mendadak dari personil One Direction. Tapi, yang masuk hanya seorang murid perempuan yang belum pernah kulihat sebelumnya.

"Permisi, Bu. Miss Elly mau izin pakai perpustakaan untuk kelas XI IPS 3," katanya pada Bu Erna, petugas perpustakaan sekolah kami. Seluruh perhatian terpusat padanya, bukan dalam arti dia-luar-biasa-memesona-dan-bersinar-seperti-bintang yang sering dijuluki terhadap Rebecca, siswi paling cantik seangkatan, tapi gadis yang berdiri di depan meja Bu Erna itu bertubuh kurus kecil dengan seragam kelewat longgar, dan rambut pendek yang membingkai wajah pucatnya tampak mencuat ke mana-mana seolah sang pemilik tidak pernah repot-repot berpikir untuk menyisirnya.

"Perpustakaan penuh," seru Jackson. Bu Erna mengangkat bahu pada gadis itu.

"Dia anak baru itu, kan? Siapa namanya?" Aku mendengar seorang cewek berbisik.

"Ellen. Anak IPS, anak IPS," sahut yang lain dengan nada meremehkan. Sepertinya salah satu geng Rebecca.

"Zaman sekarang anak IPS malah lebih culun dari kita. Hihihi."

"Bilang pada Miss Elly kami hanya memakai perpustakaan sampai jam 12," kata Bu Ria, yang segera membuat seisi perpustakaan yang peka langsung heboh dan cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya.

Ellen mengangguk singkat tanpa ekspresi dan menggumamkan terima kasih sebelum keluar.

"Sampai di mana kita tadi?" tanyaku pada William setelah pintu perpustakaan ditutup.

"Sampai bagian amanat." William kembali sibuk dengan bukunya. "Sepuluh menit lagi tugas dikumpul, Des!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top