Bab 3

Selama sisa pesta berlangsung semakin canggung—setidaknya bagiku, karena Dave jelas-jelas menikmati ketika kami duduk di meja lingkaran yang disusun di bawah tenda terpisah dan Rylan menceritakan pengalamannya ketika berkuliah di London. Bahkan Rose mulai melupakan ikannya dan memilih Rylan sebagai tontonan yang lebih menarik dari SpongeBob Squarepants. Hanya Lily yang tetap terikat pada permainan kartunya.

Mengikuti jejak adikku, aku mencoba membuka ponsel, menggeser jariku tak pasti di atas layar kaca kecil karena tidak tahu apa yang sebenarnya harus kulakukan. Semua permainanku bergenre musik, dan tidak mungkin kumainkan di tengah keramaian ini. Tidak ada notifikasi baru atau pesan yang masuk, karena, yah, satu-satunya teman dekatku bukan penggemar sosial media. Tapi, aku butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatianku dari Rylan, karena setiap mengingat kejadian tadi, rasanya mau mati saja.

Kupikir semua ini akan segera berakhir, sampai Rylan mengatakan kalau ia ingin menginap di rumahku nanti untuk memberi privasi pada sepasang pengantin baru, yang mengakibatkan Rose berteriak senang. Dave juga ikutan kepingin menginap, tapi aku mengingatkan secara tegas kalau sebentar lagi ia akan SMA dan ia tidak boleh lagi tidur bersama para gadis termasuk sepupunya sendiri, sementara seluruh kamar di rumah kami sudah terisi penuh.

Kemudian Dave membuat kesimpulan dan menuduhku telah mengusir Rylan secara tidak langsung, yang membuat Papa langsung menegurku dengan berkata, "Hei, Rylan itu pamanmu loh."

Paman. Aku nyaris tersedak saliva-ku.

Dan kembali meringis di bangku paling belakang mobil sepanjang perjalanan pulang ketika Rose terus menerus membalikkan tubuhnya ke belakang menghadap kami dan menanyakan hal-hal tidak penting seperti, "Uncle Rylan, itu apa?" sambil menunjuk sesuatu yang jelas-jelas berbentuk pohon di sampingnya, dan dijawab dengan senang hati oleh Rylan. Atau yang lebih tidak penting, "Uncle Rylan, kemarin Rose makan dua ekor ikan!" (sebenarnya itu dua potong, tapi dia tidak bisa membedakannya). Dan yang paling parah, "Kalau Rose itu Patrick, Lily itu—"

"Er ce, Rose," tegur Papa di kursi kemudi.

"—Spongebob, dan Daisy—"

"Cece, Rose!"

"—itu Squidward, jadi Uncle Rylan itu Mr. Krab! Haihaihaihaihai!" teriaknya girang.

Aku hampir mati saat Rylan membalas sambil menirukan suara Mr. Krab dengan sempurna, "Kau tidak akan pernah mendapat resep rahasia Krabby Patty. Ar ar ar ar ar ar ar ar!"

Setelah itu Rylan mengajari Rose dan Lily cara menirukan tawa Mr. Krab dengan benar.

Terkadang Rose memiliki kemampuan yang mengerikan untuk membuat orang-orang di sekitarnya ikut bersikap konyol. Mungkin aku satu-satunya yang kebal.

Ketika kami sudah tiba di rumah, aku praktis menarik Mama ke dapur.

"Kita hanya punya tiga kamar!" bisikku sambil melirik Rylan yang sedang bermain dengan Rose di ruang tamu.

"Empat, kalau Mama tidak menimbun satu kamar lagi dengan tumpukan kanvas bersarang laba-laba," Lily menimpali di belakangku.

"Itu lukisan lama Mama," kata Mama agak tersinggung seolah Lily telah menghina anak kesayangannya. "Dan Rylan akan tidur di kamar lama Grandpѐre."

"Kupikir itu akan menjadi kamarku!" seruku tidak terima.

"Astaga, Daisy," desah Mama. "Hanya sehari saja."

"Seharusnya ini jadi malam perdana di kamar baruku," tukasku. "Aku masih harus memindahkan beberapa barang dan membereskan sedikit—"

"Yeah, kalau Rylan di kamar Daisy, Daisy harus di mana? Karena aku tidak mau menerima emigran kembali ke wilayah kekuasaanku," ucap Lily seenaknya. Lalu ia bertanya padaku, "Perdana itu apa?"

"Cari sendiri di kamus." Aku memutar bola mata pada Lily, lalu menatap Mama. "Mama tidak boleh membiarkan cowok asing tidur di ranjangku. Kita bahkan baru mengenalnya kurang dari dua puluh empat jam! Bagaimana kalau dia menyentuh barang-barangku, dan ternyata dia psikopat, atau dia ...."

Mama mengerutkan dahinya tidak setuju, tapi sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, sebuah suara berat menyahut dari pintu dapur.

"Er ... Aku tidak keberatan di ruang tamu," katanya sambil mengangkat alis dengan santai. "Maaf tidak sengaja menguping, aku sedang haus dan kata Hendra air minum ada di dapur."

Setelah itu, Papa memarahiku habis-habisan dalam bahasa Cina yang separuh kumengerti, sebelum Rylan meyakinkan Papa kalau itu tidak masalah dan ia bahkan tidak merasa ingin tidur akibat jet lag.

"Em, kau tidak perlu membantuku." Aku mengucapkan kalimat pertamaku pada Rylan setelah permintaan maaf bertubi-tubi yang Papa paksa kukatakan. Setelah membersihkan diri dan memakai piyama pendek Monokurobo, aku merapikan barang-barang yang tersisa ke kardus untuk dipindahkan ke kamar baruku. Tahu-tahu saja Rylan lewat dan ikut campur.

Tapi, Rylan tetap mengangkat kotak kardus besar yang berisi barang-barangku di kamar yang dulunya pernah di bawah kekuasaanku—sekarang kekuasaan berada di tangan Lily. Ia sudah melepas pakaian formalnya, dan kini hanya memakai kaus lengan panjang dan celana jin. "Tidak apa-apa," katanya sambil mendongak dari atas kardus yang mencapai hidungnya. "Anggap saja sebagai rasa terima kasih karena telah memberiku tumpangan sementara."

Aku menggembungkan mulutku. Kalau Papa melihatnya, ia akan memberi ceramah-ceramah tambahan lagi. Lily yang sedang menunggu Rose mandi sambil berbaring di atas tempat tidurnya tertawa mengejek padaku.

"Ayo, harus dibawa ke mana kotak ini?" Rylan berbalik meninggalkan kamar, bersiap menuruni tangga.

"Kamarku di bawah." Akhirnya aku terpaksa ikut menuruni tangga setelah memberi tatapan mengancam pada Lily yang tertawa tidak jelas.

"Aku tidak akan memanggilmu 'Uncle', 'Uncle Rylan', atau semacamnya karena itu aneh, jadi jangan tersinggung," kataku dengan suara pelan, mengerling ke arah pintu kamar orang tuaku di lantai dua untuk memastikan kalau Papa tidak mendengarnya. Mama tidak pernah mempermasalahkan soal ini, tapi Papa dengan segala budayanya berkeras kalau kami tidak boleh memanggil orang yang pangkatnya lebih tua hanya dengan nama mereka.

Yang sebenarnya benar-benar merepotkan, karena aku lebih banyak mengingat nama kerabat Papa ketimbang panggilan dengan nada rumitnya. Kadang terdengar begitu menggelikan ketika aku harus memanggil orang yang hanya beberapa tahun di atasku dengan sebutan 'Paman' atau 'Bibi'. Aku tidak bohong, aku punya semacam bibi yang lebih muda satu tahun dariku.

"Aku setuju." Rylan mengangguk. "Itu memang aneh."

Kami berhenti di depan pintu kayu kamar Grandpѐre yang sekarang resmi menjadi kamarku. Lily sempat mengerjaiku dengan memasang kertas warna norak bertulis namaku di depan pintu dan membuatnya terlihat seperti pemilik kamar ini adalah psikopat, sebelum aku meremas kertas mengerikan itu dan melempar ke kamarnya. Sekarang kertas itu tertempel lagi di sini dengan kondisi kusut. Aku buru-buru menyobeknya saat sudut bibir Rylan berkedut.

"Maaf, bukannya tidak mengijinkanmu tidur di sini, maksudku kamar ini masih berantakan—" aku melambaikan tanganku pada lantai kamar penuh kotak kardus yang memang berantakan "—jadi kurasa ini tidak bagus untuk tamu."

Rylan hanya mematung di depan pintu. "Tidak masalah," katanya agak kaku, mungkin tercengang karena baru pertama kali melihat kamar gadis yang terlihat seperti gudang. Hei, bukan salahku jika aku baru memindahkan sebagian barangku pagi ini.

"Oke, jadi mungkin kau bisa menaruh kardus itu di situ?" Aku menunjuk ke samping tempat tidurku di dekat jendela.

"Mungkin di sini saja." Rylan menurunkan kotak kardus di dekat pintu. "Maaf, aku agak tidak terbiasa memasuki kamar gadis."

Aku mengerutkan dahi, tidak mengerti dengan bantuannya yang setengah-setengah. "Tadi kau masuk ke kamar Lily."

"Er ... maksudku, ini kamar pribadi, dan hanya kita berdua di lantai satu." Rylan menepuk telapak tangannya yang penuh debu dengan gugup, terlihat tidak terlalu yakin dengan ucapannya sendiri.

"Oke." Aku mengangguk hati-hati. "Terima kasih."

"Selamat malam, Daisy." Ia tersenyum singkat sebelum aku menutup pintu dan menguncinya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top