Bab 2
Baru saja setengah jam berdiam di toilet, Dave meneleponku, praktis menggedor pintu kamar mandi dan mengancam akan memanggil Papa jika aku pura-pura pingsan di dalam. Alhasil, aku terpaksa harus kembali menghirup udara luar penuh manusia.
"Kau melewatkan sesi foto-foto penting bersama Grandpѐre dan Grandmѐre tadi!" Dave, sepupuku yang dua tahun lebih muda dariku, melipat lengannya dengan gaya menghakimi.
Aku meringis ketika ia menyebut Joanne sebagai Grandmѐre.
Joanne memang tidak terbukti berpotensi menjadi penipu harta pria tua atau semacamnya, tapi rasanya tetap aneh memanggil orang yang baru kau kenal sebulan dengan panggilan semacam 'nenek'. Aku tidak pernah memanggil siapa pun yang masih bernapas dengan sebutan Grandmѐre atau semacamnya—bahkan nenek dari Papa juga sudah meninggal sebelum aku lahir—jadi bagiku itu terdengar surealis.
"Oh, ya?" seruku pura-pura terkejut. "Sayang sekali!"
Dave menyipitkan mata coklat terangnya padaku. Di antara semua keturunan-berdarah-campuran Grandpѐre, Dave menyimpan paling banyak gen Grandpѐre di kromosomnya—dia mirip Grandpѐre muda di foto hitam putih yang pernah kulihat di meja Grandpѐre di kamarnya. Dengan tinggi hampir menyamaiku, jas hitam yang membalut tubuhnya dengan pas, cowok itu sukses menarik lirikan puluhan gadis remaja di taman ke arah kami.
Aku penasaran apa mereka akan menatap Dave dengan cara yang sama jika tahu dia yang sebenarnya.
"Dia diare. Haihaihaihaihai ...." Lily dan Rose meniru tawa Mr. Krab yang tidak mirip di sampingku. Ya Tuhan, kenapa aku bisa punya adik seperti itu?
"Lihat, ini piringmu," kataku sambil mengangkat piring kosong yang baru kuambil ke depan Rose, "dan tidak akan ada ikan."
Rose merengek. "Bukan aku yang mengejekmu duluan!"
"Seolah dia memang benar-benar akan mengambilkanmu ikan," bisik Lily.
Aku melangkah untuk mengambil sendok dan garpu, lalu mengacungkannya pada Lily. "Kau juga."
Lily masih tertawa jail, sama sekali tidak terlihat gentar. "Aku tidak mau ikan dan lagipula aku bisa ambil sendiri. Haihaihaihai ..." Kemudian ia berjalan ke tumpukan piring bersih.
"Erce!" Rose memangil Lily dengan panggilan Cina. "Tunggu, aku ikut!"
Bagus. Sekarang dia meninggalkan kakak yang telah berkorban melawan hati nurani dan prinsip hidup demi menyenangkan adiknya dan berkomplot dengan kubu lain.
"Nah," kata Dave, menyambar sendok nasi lebih dulu ketika aku hendak mengambilnya. "Tidak usah mengelak lagi. Aku tahu kau kabur. Semua orang tahu kau benci Grandmѐre."
Aku meringis lagi mendengar kata 'Grandmѐre'.
"Tidak," bantahku. "Yeah, aku memang kabur. Tapi, aku tidak membenci Joanne. Aku hanya tidak terbiasa."
"Joanne," ulang Dave sambil menggeleng seolah aku telah melontarkan kata kasar, lalu berdecak.
"Dia yang memintanya," jawabku santai sambil menyendok sebongkah kecil nasi ke atas piring yang kutimpa di atas piring Rose. Aku menatap tumpukan daging yang berendam di kuah oranye pekat. Kuah santan berisi potongan daging sapi. Udang goreng tepung. Dan lebih banyak lagi potongan daging yang diolah dengan seribu cara paling mengerikan yang bisa kubayangkan sebelum disusun rapi di sepanjang meja bertaplak satin putih.
Aku tidak bisa makan apa-apa.
"Ayolah." Dave memutar bola matanya, lalu mengarahkan sendok berisi rendang ayam ke piringku, yang membuatku langsung menjerit.
"Tidak, tidak, tidak, aku tidak makan daging!" Aku berusaha menjauhkan piringku, tapi justru semakin panik menghindar, Dave semakin terdorong untuk melancarkan aksinya.
"Ups, hati-hati." Sebuah tangan besar menahan lengan Dave ketika kuah rendangnya hampir tumpah ke gaunku. Mengambil kesempatan itu, aku segera menjauhi sepupuku yang menyebalkan dan keluar dari antrean ... tunggu, sepertinya ada sesuatu.
Suara itu.
Aku berbalik tepat ketika dia berdiri di depan. Ia sekepala lebih tinggi, menunduk memandangiku dengan tatapan menilai dari mata hitam pekat di bawah alisnya yang tebal. Di sebelah tangannya terdapat segelas koktail berwarna hijau pucat dengan potongan tipis jeruk nipis di bibir gelas yang berbentuk kubah terbalik.
Si pria gila itu.
"Kau yang di dapur tadi." Suaranya terdengar tenang. Kini kemeja putihnya dibalut jas formal hitam berpotongan pas, menonjolkan bahu yang bidang.
Aku menelan ludah dengan gugup. Suara musik dan keramaian di sekitarku mendadak terdengar seperti berasal dari tempat yang amat jauh. Jadi dia tahu, dan merasa kalau aku telah mengetahui semua rahasia gelapnya. Barangkali tadi adalah percakapan paling berbahaya yang pernah kudengar. Si pria itu ternyata adalah pembunuh berdarah dingin yang sedang dikejar organisasi rahasia, dan tanpa sengaja aku telah memergokinya. Lalu, setelah ini ia akan membawaku ke tempat terpencil untuk dimutilasi sementara semua orang terlalu sibuk bersosialisasi untuk memperhatikan seorang gadis yang dituntun ke mobil berkaca gelap dengan sebilah pisau di belakang punggung.
"Benar. Aku sudah tahu semuanya," kataku, memegang erat piring ganda di tanganku untuk menyembunyikan gugup.
Dia tertegun, wajahnya tanpa ekspresi. Atau sebenarnya ia sedang berusaha menahan semua emosi di balik topengnya. Entahlah, kau tidak bisa menebak gestur psikopat.
"Aku juga sudah memberi tahu orang tuaku, dan sekarang kau sedang dicari seisi rumah," lanjutku, "jadi kalau kau bertindak macam-macam sedikit saja, aku tinggal menunjukkan sinyal dan mereka akan tahu kau di mana."
Ekspresinya berubah. Ia mengerutkan dahi sejenak, sudut bibirnya berkedut seolah menahan geli. "Memangnya apa yang kau tahu?" tanyanya, menantang.
"Kau penyusup," kataku, frustrasi akan betapa tenangnya ia sementara jantungku berdetak panik dan diam-diam berharap Dave bisa sedikit lebih cerdas untuk menyadari ada orang asing berbahaya yang mendekatiku. "Aku tidak tahu apa yang kau lakukan di pesta ini, tapi kau jelas ... um, penyusup."
Terdengar kurang cerdas.
"Menurutmu, bagaimana dengan semua orang yang berada di taman ini? Apa sekarang ada acara penyusupan besar-besaran dan terbuka?" tawanya.
Mataku menyipit. "Tidak ada tamu yang boleh masuk ke dapur rumah ini tanpa seizin keluargaku, Orang Asing."
"Tamu?" si Orang Asing mengangkat sebelah alisnya dengan santai. "Aku keluarga."
"Hei, maaf. Kau payah, deh." Baru kali ini suara itu terdengar sedikit melegakan. Dave, dengan sepiring penuh kalori, menghampiri kami dengan wajah polos seolah tadi dia tidak pernah berusaha mengotori gaunku. "Aku bilang kau, Daisy. Kau payah, loh," ulangnya ketika aku tidak merespon.
Anak itu benar-benar minta dihajar.
Mengabaikan komentar tidak nyambung sepupuku, aku berdeham dan berkata dengan suara senyaring mungkin, "Hei, Sepupu, apa kau mengenal salah satu 'keluarga' amat jauh kita di depan ini?"
"Oh, kau juga keluarga? Aku tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya. Kenapa tadi tidak ikut foto?" Dave yang tampaknya tidak menyadari nada sinisku malah mendongak kepada pria itu dengan antusias.
Dasar bodoh.
Si Orang Asing tersenyum tipis sambil menyesap minumannya. "Aku ada di paling ujung. Mungkin kau tidak melihatnya. Tapi, aku melihatmu. Salah satu Roche?"
"David Roche. Satu-satunya Roche muda yang tersisa." Dave membungkuk dengan dramatis. Seandainya ia tahu kalau pria di depannya kemungkinan adalah pembunuh bayaran.
"Oh, jadi dia bukan ...." Si Orang Asing menunjukku.
"Kau tidak akan percaya," kata Dave sambil tertawa, "namanya Daisy Wu."
"Dave," tegurku dengan tegas sebelum ia membongkar lebih banyak informasi pribadi seperti alamat rumah dan nomor kartu kredit yang akan membuat posisi kami berada dalam bahaya.
"Wu?" Pria itu tampak tertarik. "Seperti Daniel Wu, yang jadi Joe Kwan di film New Police Story?"
"Ya, 'Wu' yang sama," jawabku, walaupun aku tidak tahu siapa Daniel Wu yang ia maksud. "Hentikan. Dave, dia menyusup ke dapur Joanne dan merencanakan pembunuhan."
"Oh kasihan sekali, lihat piringmu." Aku melirik Joanne yang membelai punggungku lembut. Chan-chan, Chihuahua mungil galaknya, tampak tenang dalam pelukan wanita itu hari ini.
Saat kami membahas gaun pernikahan, Joanne berkata kalau ia menginginkan gaun sederhana yang membuatnya nyaman, mengingat usianya yang tidak lagi muda dan merasa tidak akan mampu bertahan lama dalam gaun yang terlalu berat. Jadi, setelah bergonta-ganti gaun yang direkomendasi Mama, ia akhirnya menyewa seorang desainer hanya untuk menghasilkan gaun putih panjang polos berbordir bunga-bunga oriental emas dengan selendang putih yang membungkus lengan terbukanya. Bunga yang sama menghiasi rambut pirangnya yang dikepal besar di atas kepala, juga pada Chan-chan dalam bentuk mahkota. Aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa membuat anjing itu mau memakainya.
"Paket vegetarian khususmu ada di dapur, Sayang," katanya sambil tersenyum dengan bibir yang dipoles gincu.
"Joanne," panggil si Orang Asing, kemudian memeluknya singkat dengan sebelah tangan. Pemandangan itu membuat darahku membeku, bukan karena Chan-chan mulai menggonggong keras dan mahkota bunganya tergelincir jatuh.
"Dia ...," tunjukku pada si Orang Asing, kehilangan kata-kata.
"Astaga, aku lupa memperkenalkannya pada kalian," kata Joanne meminta maaf, mengelus kepala mungil anjingnya supaya diam. "David, Daisy, ini Rylan Jenkins, putra angkatku yang baru saja menyelesaikan kuliah di Inggris."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top